x

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Rokok Kretek Bukan Warisan Budaya Bangsa

Rokok kretek bukan warisan budaya bangsa? Ini tiga alasannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Awal tahun ini muncul sebuah kontroversi mengenai penolakan rokok kretek sebagai sebuah bentuk warisan budaya bangsa. Ketika saya mengetahuinya saya paham pada hakikatnya ini bukan persoalan setuju atau tidak. Ada berbagai masalah kompleks di dalamnya sehingga membuat persoalan menjadi berada di garis abu-abu, bukan hitam atau putih. Untuk memberikan gambaran mengenai skala sulitnya memutus kecanduan itu ialah dengan membayangkan ada satu orang dalam keluarga Anda yang harus berhenti merokok. Lalu setiap orang di keluarga Anda bisa menyatakan sikapnya yang berbeda-beda. Dan mereka berargumen berbeda-beda pula. Sekarang bayangkan si pecandu bukan satu orang saja tetapi ratusan juta orang di seluruh dunia. Sehingga kita bisa pastikan banyaknya ragam pendapat yang terlontar setelah masalah ini mengemuka.

Rumitnya hubungan rokok dan manusia sendiri sebetulnya bukanlah hal baru. Saya sebagai orang Kudus, sebuah kota yang berjuluk kota kretek, sudah mengalaminya sendiri dalam tataran yang paling halus sejak saya lahir. Kakek saya seorang perokok. Hampir semua sosok laki-laki di keluarga saya adalah perokok berat atau ringan (yang merokok demi alasan melebur dalam pergaulan sosial).

Saat kakek saya tidak menyentuh rokok, kakek saya terasa begitu menyenangkan bagi saya. Saya ingat kadang kakek berkebun di halaman depan rumahnya, menanam bunga ini itu, lalu menyiangi gulma yang berada di sekitar tumbuhan kesayangannya. Ia membuatkan saya layang-layang, mengajak saya solat Jumat di hari suci, menemani saya menyaksikan film Barat di televisi pada malam hari. Ia sosok yang sangat dekat di hati dan saya sukai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, begitu rokok tersungging di mulutnya, kakek menjelma sebagai sosok lain. Ia larut dalam dunianya sendiri. Egois, beku dan tak terjangkau. Tembakau menyedot semua perhatiannya. Saya masih ingat di sebuah malam habis Isya, saya berusaha memulai sebuah percakapan sederhana. Setelah menemaninya selama beberapa lama, tak kunjung ada pertukaran kata yang bermakna karena di tangannya tersulut sebatang rokok kretek kesayangannya yang saya sempat kadang belikan di masa saya tinggal di sana di akhir pekan saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Menjelang akhir hidupnya, kakek mulai meninggalkan lintingan tembakau maksiat itu tetapi sudah terlalu terlambat. Sebelum saya merayakan kelulusan setelah menuntut ilmu di sebuah universitas selama empat tahun, saya melepas kakek selama-lamanya. Sempat saya bertanya apakah jika kakek tak menyedot rokok, beliau akan bertahan hidup lebih lama? Sungguh jawaban yang pelik bagi saya.

Mungkin pengalaman itulah mengapa saat membahas rokok, saya selalu emosional. Namun, sekarang saya mencoba untuk lebih rasional.

Ada beberapa alasan mengapa saya yakin bahwa rokok tidak boleh ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya bangsa ini. Sebagaimana kita ketahui, ada pihak-pihak yang menyatakan ketidaksetujuan dalam penetapan rokok kretek sebagai warisan budaya bangsa. Di antaranya ialah Hery Chariansyah (Direktur Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan / Raya Indonesia) yang menyatakan perlawanan terhadap wacana yang digulirkan di dalam Peraturan Menteri No. 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau 2015-2020. Bersama sepuluh lembaga lain, Raya Indonesia menuntut menteri Perindustrian Saleh Husin untuk meghapus secepatnya Peraturan Menteri tersebut di atas. Somasi itu sudah-- dilayangkan pada 4 Januari lalu. Komisi X DPR RI juga diberitakan sudah mencabut pernyataan rokok kretek sebagai warisan budaya bangsa Indonesia dalam rancangan UU tentang Kebudayaan. Saya patut mengapresiasi DPR RI tentang soal ini. Mereka tidak sepayah yang diberitakan media massa untuk kasus satu ini. Entah kasus lainnya.

 Alasan pertama mengapa rokok kretek tidak bisa ditetapkan sebagai warisan budaya bangsa mungkin sederhana: ia memperburuk kualitas hidup manusia pengisapnya. Itu sudah jelas. Saya seringkali disanggah saat menolak merokok dan memilih cara hidup lebih sehat. Begini kata mereka,”Toh kita juga semua akan mati!” Mereka betul. Saya juga yakin itu. Hanya saja kematian juga bisa ditentukan oleh cara hidup kita. Dan sekali lagi, menentukan rentang umur itu sepenuhnya hak Tuhan. Tetapi sekali lagi orang yang sehat dan produktif tetapi meninggal di usia 40 tahun karena kecelakaan di luar kuasanya saya anggap memiliki kualitas hidup yang lebih baik daripada seorang kakek perokok yang hidup sampai 100 tahun tetapi selama hidupnya sakit-sakitan dan bertahun-tahun hidup di tempat tidur dan memasung kemerdekaan anggota keluarga dan keturunannya dalam banyak hal. Berapa banyak biaya pengobatan generasi perokok tua yang seharusnya bisa dialokasikan untuk biaya pendidikan anak-anak muda yang lebih menjanjikan? Apa gunanya hidup lama tetapi menjadi beban bagi manusia lainnya? Tentu kedua kasus fiksi ini hanya contoh ekstrim saja.

Berikutnya, alasan mengapa rokok kretek tidak dapat ditetapkan sebagai warisan budaya bangsa ialah karena pendapatan masyarakat dari industri rokok kretek bisa digantikan oleh peluang bisnis lainnya. Hanya karena bangsa ini sudah termanjakan oleh laba menggiurkan dari cukai rokok yang menyumbang ratusan miliar rupiah itu, kita semua menjadi permisif terhadap rokok kretek. Kreativitas yang sudah dimiliki oleh para pelaku industri rokok bisa dan mungkin sekali dipindahkan ke sektor industri lainnya yang memiliki kadar manfaat lebih banyak daripada kerugiannya terhadap umat manusia. Maka dari itu, jika kita menjumpai alasan penolakan mematikan industri rokok hanya karena takut adanya lonjakan tingkat pengangguran di negeri ini, rasanya terlalu dangkal dan menggelikan. Orang Indonesia lebih tahu bagaimana bertahan hidup lebih dari yang kita kira.  Mereka lebih kreatif dalam bertahan hidup daripada yang kita pikir mereka bisa. Dan jika Anda mau mencermati, sekarang ini korporasi-korporasi penghasil rokok juga mulai meragamkan jenis bisnis mereka. Mereka mulai melirik sektor-sektor industri digital yang tergolong anyar di negeri ini. Tengok saja keluarga Hartono dari Djarum yang mendirikan modal ventura bernama GDP Venture yang mengucurkan dana ke startup-startup digital Indonesia dari Beritagar, Blibli, Kurio, sampai situs Kaskus yang terkenal itu (sumber: TechInAsia). Jadi bisa dikatakan inilah salah satu strategi mereka jika industri rokok benar-benar redup dan lenyap dari muka bumi. Sekarang masalahnya bukan risiko peningkatan jumlah pengangguran tetapi bagaimana kita bisa mengalihkan sumber daya manusia yang terlibat dalam industri rokok ke bidang industri lainnya yang lebih mendatangkan banyak manfaat sembari tetap menjaga bangsa ini sehat.

Alasan ketiga ialah karena rokok kretek saat ini sudah melenceng dari ‘fitrahnya’. Menurut buku Kretek yang disusun Mark Hanusz tahun 2000 dahulu di sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, rokok kretek muncul di kota kelahiran saya dalam bentuk yang alami. Konon kretek yang dibuat pertama kali oleh seseorang bernama Haji Djamari di akhir abad ke-19 di Kudus ini dianggap memiliki khasiat penyembuh sakit. Konon H. Djamari mencoba merajang cengkeh dan menggabungkannya dengan tembakau lalu mengemas bahan-bahan tadi menjadi sebatang rokok, sakit di dadanya sirna. Masyarakat menganggap kretek (yang berbungskus klobot alias daun jagung kering sehingga saat dibakar berbunyi halus ‘keretek keretek’) sebagai “obat”. Sayangnya dalam perkembangannya rokok kretek mendapat banyak modifikasi demi menarik lebih banyak konsumen. Bahan rokok kretek kini bukan cuma cengkeh, tembakau dan klobot saja. Dalam perkembangannya rokok kretek dicampuri saus rokok (tobacco flavor) buatan manusia yang kandungannya mirip essense dalam industri makanan. Untuk digunakan, ia harus dilarutkan dalam etil alkohol. Nantinya pengisap bisa menikmati berbagai rasa dari stroberi, nanas sampai durian di rokok mereka saat menikmati rokok. Akhirnya, rokok kretek yang ada sekarang sebetulnya sudah melenceng dari ciri-ciri rokok kretek di masa awal dulu. Apalagi sekarang tembakau yang dipakai di industri rokok kretek bukan tembakau sendiri, tetapi tembakau hasil impor dan produksinya dengan mesin otomatis (jadi alasan takut ada pengangguran massal terpatahkan dengan sendirinya).  

Jadi, masihkah berpikir bahwa rokok kretek bisa diterima sebagai bagian dari warisan budaya bangsa? (*)

 ======

Ditulis dalam rangka keikutsertaan penulis dalam workshop dan temu blogger "#Cukup Sudah Musikku Jadi Alat Promosi Rokok" di Tempo tanggal 12 Mei 2016 

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler