x

Iklan

Istigfaro Anjaz A

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reaktualisasi 'Sekolah Liar' Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara memberikan contoh bagaimana kita mengahadapi persoalan diskriminasi dalam pendidikan salah satunya melalui semangat 'sekolah liar'.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penciptaan manusia sebagai mahluk di bumi ini sesungguhnya memiliki keistimewaan dibandingkan mahluk lain yakni karena di dalam dirinya terdapat akal. Atas bekal yang Tuhan berikan kepada manusia, maka sudah seharusnya Akal manusia digunakan sebagaimana mestinya. Dengan begitu pendidikan sebagai proses adalah tuntutan dasar yang wajib manusia laksanakan sepanjang masih hidup. Lantas, pertanyaan yang muncul yaitu siapakah yang berkewajiban menghadirkan proses pendidikan tersebut?

Negara Indonesia sejak pembentukannya melandasi kemerdekaanya terhadap dua hal yaitu rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan Keinginan Luhur.[1] Salah satu tujuan penting didirikannya Negara Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.[2] Dengan demikian, konstitusi telah melimpahkan kewajiban atas “pencerdasan kehidupan bangsa” kepada negara. Artinya negara diposisikan sebagai elemen yang paling bertanggungjawab atas terwjudnya hal tersebut. Pertanyaan selanjutnya , sudahkah negara melaksanakannya?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada pendapat Confucius yang bisa kita ambil di awal pembahasan ini, “It does not matter how slowly you go as long as you do not stop.”[3] Sama hal nya dengan pendidikan, tidaklah penting bagaimana hasil itu didapat sepanjang prosesnya terus berkembang lebih baik. Tidak penting negara telah mampu atau belum untuk mewujudkan bangsa yang cerdas, sepanjang negara terus mengusahakan proses pendidikan bisa diakses oleh semua kalangan. Artinya tidaklah tepat jika kita menyalahkan negara atas belum terwujudnya seluruh rakyat yang cerdas, tetapi menjadi relevan jika kita menuntut negara untuk menghadirkan sistem pendidikan nasional yang menyetarakan kedudukan semua rakyat dihadapan akses pendidikan. Tidak ada alasan pembenar satupun yang bisa digunakan oleh negara untuk bertindak diskriminasi dalam pendidikan, apalagi diskriminasi atas dasar tingkat sosial dan ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Diskriminasi Kendalikan Pendidikan

Dunia mencatat bahwa telah banyak terjadi diskriminasi pendidikan dalam hal diskriminasi atas agama, usia, ras, disability, jenis kelamin, dan ekonomi.[4] Lalu, apas sebenarnya penyebab dari diskriminasi? Menurut Eko Prasetyo dan Arie Sujito,[5] terdapat serangkaian penyebab sistemik yang jadi akar dari diskriminasi, diantaranya kombinasi dari kultur (kepercayaan, adat,agama,dan symbol/mythos), kebijakan (peraturan perundang-undangan) dan struktur (birokrasi yang ototriter, militer/polisi yang tidak demokratis). Tiga-tiganya memberikan sumbangan yang amat penting bagi tumbuh-suburnya kegiatan diskriminasi.

Berbicara terkait diskriminasi dalam pendidikan maka menjadi menarik untuk membahas terkait salah satu kasus penting dalam sejarah pendidikan dunia yakni kasus Brown vs Board of Education.[6] Pada 17 Mei 1954, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa adanya sistem ‘separate but equal’ dalam sistem pendidikan Amerika Serikat bersifat inkonstitusional. Sebelumnya, prinsip terpisah tapi sederajat (separate but equal) dilegalkan untuk memisahkan siswa berkulit putih dan hitam di sekolah-sekolah atau universitas di negara tersebut. Sehingga orang kulit putih dan hitam tidak akan pernah duduk di dalam satu bangku meja pendidikan. Putusan kontroversial tersebut kemudian menjadi tonggak penting dalam sistem pendidikan di Amerika Serikat bahwa pendidikan tidak bisa dikotak-kotakan dalam hal apapun termasuk ras atau suku bangsa.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diharapkan bisa menjadi dasar pijakan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan nasional sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi pada praktiknya telah mengalami banyak koreksi melalui pengujian konstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Paling tidak terdapat dua putusan dari MK sebagai the guardian of constitution yang menganulir beberapa pasal dalam undang-undang tersebut dalam hal ini karena adanya diskriminasi terselubung dalam sistem pendidikan kita. Pertama, terkait Sistem Bertaraf Internasional (SBI) atau sering masyarakat kenal sebagai Sekolah RSBI. Ada dua alasan mengapa sistem RSBI dirasa menciptakan diskriminasi dalam pendidikan. Pertama, Sistem tersebut telah menjadi dasar kebijakan sekolah-sekolah untuk melegalkan pungutan yang jumlahnya cukup besar kepada para siswanya sehingga hanya anak-anak dari kalangan atas secara ekonomi saja yang bisa duduk di bangku sekolah dengan embel ‘internasional’. Alasan kedua yaitu adanya dana khusus yang diberikan oleh Kemendiknas pada saat itu telah berimplikasi semakin besarnya jurang pemisah antara sekolah yang diberi label “sekolah unggulan” dengan sekolah terbelakang. Hal ini melegitimasi keberadaan negara yang justru lepas tangan untuk memperbaiki kuliatas dari sekolah-sekolah yang seharusnya masih perlu dikembangkan. Untuk itu MK melalui Putusan Perkara Nomor 5/PUU-X/2012 telah membatalkan Pasal 50 ayat (3) UU.Sisdiknas yang menjadi dasar terselenggaranya sistem RSBI tersebut.[7]

Berikutnya, terkait dibatalkannya Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU.Sisdiknas yakni terkait penjelasan lebih lanjut dari Badan Hukum Pendidikan. Meskipun, pasal a quo tidak sampai dibatalkan, tetapi MK justru langsung membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang merupakan salah satu perwujudan delegative wetgeving dari UU.Sisdiknas. MK menilai UU.BHP telah mengalihkan tugas dan tanggungjawab pemerintah dalam bidang pendidikan. Mahkamah berpendapat “Dengan adanya UU BHP misi pendidikan formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia akan dilaksanakan oleh Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD).” Sehingga apabila suatu BHPP dan BHPPD dipailitkan karena tak sanggup melaksanakan tugas maka negara tak akan memikul tanggungjawab, hal ini menimbulkan pendidikan nasional kita telah diserahkan kepada mekanisme pasar tanpa perlindungan sama sekali. Sehingga, beberapa kecacatan yang ada dalam UU. Sisdiknas menimbulkan pertanyaan apakah undang-undang tersebut masih layak untuk digunakan atau sudah tidak pantas lagi dipertahankan?

UU Dikti dan Diskriminasi ‘Gaya Baru’

Diskriminasi gaya baru di sini memiliki makna adanya substansi pada UU.BHP yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK justru dihidupkan kembali dan dibungkus dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti). Hal ini terkait diberlakukannya kembali sistem otonomi pengelolaan pendidikan. Salah satu pendapat MK yang tidak diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR saat membentuk UU.Dikti yaitu terkait urgensi dari penyelenggaraan sistem otonomi pengelolaan pendiidikan. Mahkamah berpendapat “apakah untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut secara mutlak harus diperlukan otonomi pengelolaan pendidikan formal atau dengan kata lain otonomi pengelolaan pendidikan formal merupakan condition sine qua non bagi pencapaian tujuan pendidikan. Sehingga sistem otonomi pengelolaan pendidikan hakikatnya bukanlah hal yang mutlak diperlukan bagi kemajuan pendidikan kita dan lebih jauh MK jauh-jauh hari telah mempertanyakan apakah terdapat relasi positif antara otonomi pengelolaan pendidikan dengan tujuan pendidikan itu sendiri, dan yang terpenting bisa jadi otonomi pengelolaan pendidikan tinggi yang saat ini dibungkus melalui model Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN-BH) hanya sebatas spekulasi atau merupakan salah satu bentuk pelepasan tanggungjawab negara.

Pendidikan tingggi sebagai salah satu elemen terpenting dari sistem pendidikan kita masih dibayang-bayangi oleh diskriminasi ekonomi dan sosial pasca berlakunya UU.Dikti tersebut. Dengan adanya otonomi pengelolaan di bidang non-akademik maka memberikan kewenangan pada setiap PTN-BH untuk menetapkan norma dan kebijakan operasional salah satunya dalam hal keuangan (lihat Pasal 64 ayat (3) huruf b UU.Dikti). Walaupun, disebutkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut harus sesuai prinsip nirlaba (tidak untuk mencari laba), tetap saja kewenangan tersebut akan menimbulkan beban kepada peserta didik. Menurut Yura Pratama (2013) hal ini terjadi karena  adanya 3 hal yaitu (a) besarnya biaya untuk penyelenggaraan pendidikan, termasuk gaji pengajar dan staf administrasi, (b) pengadaan dan perawatan fasilitas pendidikan, dan (c) kemampuan PTN-BH untuk mendapatkan dana pendidikan dari usaha non-pendidikan.

Pada praktiknya perguruan tinggi akan kesulitan mencari dana yang berasal dari luar pemasukan jasa pendidikan yang diterima langsung dari peserta didik. Lingkup usaha yang dapat dimasuki oleh perguruan tinggi hanya ada dalam skala kecil karena dalam skala besar sudah dikuasai oleh korporasi yang membutuhkan padat modal dan teknologi tinggi. Bahkan seringkali perguruan tinggi akan ‘tunduk’ kepada suatu korporasi agar dapat bekerjasama dan memperoleh sumbangan atau kerjasama yang bisa saling menguntungkan. Lebih jauh lagi, peserta didik akan menjadi pihak yang menanggung beban tersebut. Hal ini dapat kita perhatikan dalam hal penentuan nilai Uang  Kuliah Tunggal (UKT) yang terus mengalami  kenaikan signifikan setiap tahunnya. Tidak cukup sampai di situ, adanya Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) menciptakan suatu inkonsistensi norma dan berimplikasi timbulnya diskriminasi ekonomi dalam pendidikan. Pada pasal 8 Pemenristekdikti tersebut disebutkan bahwa, PTN dilarang memungut uang pangkal dan/atau punguutan lain selain UKT dari mahasiswa baru baik program sarjana dan program diploma. Tetapi, Pasal 9 justru mengatur sebaliknya, PTN diberikan kesempatan untuk memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT untuk beberapa kriteria mahasiswa tertentu, salah satunya mahasiswa yang melalui seleksi jalur mandiri. Tentunya dengan ada ketentuan tersebut membuat mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri dan berasal dari keluarga tidak mampu atau berpenghasilan cukup akan mengalami kesulitan dalam hal pendanaan tersebut. Dan hal tersebut menunjukan diskriminasi ekonomi dalam pendidikan semakin tumbuh subur di negeri yang sangat kaya ini.

 

“Sekolah Liar” dan Antitesis Diskriminasi Pendidikan

Ekonomi pasca Perang Dunia-1 dan depresi ekonomi yang hebat pada tahun 1930-an mengakibatkan pemotongan belanja (subsidi) pemerintah Hindia Belanda untuk sektor pendidikan. Sehingga memaksa orang-orang hindia untuk mengalihkan minat bersekolahnya ke sekolah-sekolah  yang independen (tak diakui oleh pemerintah), yang disebut sebagai sekolah-sekolah liar (Ingelson, 1975:205).

Bapak Intelektual gerakan taman siswa, Ki Hadjar Dewantara (Soerwadi Soerjaningrat), telah menghakimi kecenderungan para ‘kaum borjuis’ pribumi yang memuja kepakaran barat dan kefasihan dalam penguasaan tata budaya Belanda. Dia mencela para parvanue (orang kaya baru) Jawa yang seolah-olah ingin menunjukan materi, tetapi tidak mampu menghargai bentuk pendidikan yang tidak menyertakan Bahasa Belanda. Guru-guru jawa mendirikan dan mengendalikan sekolah-sekolah liar semacam itu secara mandiri tanpa subsidi atau campur tangan pemerintah kolonial Belanda. Salah satu sekolah liar pertama yaitu taman siswa dibangun di Yogyakarta pada tahun 1922 dan kemudian menyebar sangat pesat ke luar jawa tengah [8]

Dari dua pemaparan di atas dapat dilihat bahwa terdapat dua intensi utama mengapa Ki Hadjar Dewantara mendirikan sekolah liar yang terus berkembang pesat, Pertama untuk menemukan solusi atas keadaan sitem pendidikan yang pada saat itu membatasi akses pendidikan kepada kaum pribumi yang berada di taraf ekonomi rendah, sebagaimana diketahui bahwa anak-anak Hindia yang bisa bersekolah ini kebanyakan berasal dari keluarga yang ayahnya bekerja sebagai pegawai pemerintah, hanya sebagian kecil dari siswa-siswa ini yang ayahnya bekerja sebagai pegawai pada perusahaan-perusahaan swasta eropa, apalagi yang berasal dari keluarga petani, nelayan, atau pedagang.[9] Sehingga sekolah liar ini telah menghindarkan diskriminasi pendidikan yang didasarkan atas alasan ekonomi, hal ini ditujukan dengan  meningkatnya jumlah peserta didik hingga tahun 1930-an sejumlah 142.000 siswa yang tersebar pada 2.200 sekolah liar yang mayoritas berasal dari kaum pribumi.

Kedua, yaitu berkaitan dengan alasan landasan kultural dan semangat nasionalisme-patriotisme yang dibangun untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah tersebut. Pada hakikatnya sekolah liar memiliki prinsip yang harus dibangun secara konsisten dan tidak mau diintervensi oleh kepentingan manapun. Dasar yang dijadikan pembentukan kepribadian anak didik di sekolah liar yaitu melalui gerak bebas spiritual dan fisik di bawah pengawasan pamong yang diistilahkan tutwuri handayani. Sesuai dengan wataknya, pendidikan nasional lembaga pendidikan Taman Siswa menanamkan cinta terhadap bahasa dan kebudayaan nasional kepada anak didik, namun tidak buta akan kebaikan kebuayaan asing yang datang dari barat. Untuk menerapkan sistem yang demikian tersebut, Suwardi Suryaningrat menolak bantuan pemerintah Hindia Belanda karena bantuan itu akan mengakibatkan campur tangan pemerintah dalam ke-Taman Siswa-an. Hal ini yang membedakan dengan ‘Lembaga Pendidikan Ksatria’ yang bersedia menerima bantuan pemerintah. Demikianlah, berdasarkan hal tersebut berdiri sekolah Taman Siswa dalam bentuk yang sangat sederhana dan sangat murah sesuai dengan kemampuan rakyat pada waktu itu..[10]

Ki Hadjar Dewantara Membangkang

Semakin berkembangnya Taman Siswa dalam menguasai bidang pendidikan di seluruh tanah air membuat pemerintah Hindia Belanda merasa terancam. Hal ini disebabkan keberadaan taman siswa sebagai salah satu sekolah liar telah menunjukan adanya kemerosotan besar pendidikan kolonial yang diusahakan oleh pemerintah dan yang paling strategis yaitu membahayakan kewibawaan pemerintah. Untuk itu dengan cepat pemerintah Hindia Belanda akan melakukan penilaian ulang terhadap sekolah-sekolah yang tidak memperoleh dana dari pemerintah. Tahun 1923 dikeluarkan suatu peraturan tentang pengawasan terhadap sekolah-sekolah liar dan aturan ini bersifat represif karena adanya sanksi pencabutan hak menidirkan sekolah apabila terbukti pendidikan yang diselenggarakan membahayakan ketentraman umum. Kemudian pada 1932, Gubernur Jendral De Jonge mengeluarkan ordonansi sekolah liar yang bersifat prefentif dimana sekolah liar tidak akan diberikan izin apabila ada dugaan bahwa pendidikan yang akan diselenggarakan bersifat membahayakan.[11]

Peraturan terkait sekolah liar tersebut diatur dalam suatu ordonansi. Padahal sebelumnya peraturan mengenai sekolah liar diajukan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk Undang-Undang tetapi ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga dikeluarkanlah ordonansi untuk mengatur terkait sekolah liar tersebut. Tindakan dari pemerintah Hindia Belanda yang terlihat sangat authoritarian menimbulkan gejolak pada diri Ki Hadjar Dewantara. Hingga akhrinya Ki Hadjar mengirimkan surat kepada Gubernur Jendral yang isinya secara tegas menolah peraturan ordonansi tersebut tepat di hari akan berlakunya ordonansi tersebut. Penolakan tersebut disertai dengan ancaman bahwa Taman Siswa akan melakukan lidelijk verzet jika ordonansi tersebut tidak dicabut. Yang dimaksud dengan lidelijk verzet yaitu tindakan membakang terhadap peraturan ordonansi dan bersedia menjalani segala akibat atau sanksi yang ada. Tindakan tersebut didukung penuh oleh beberapa pihak di antaranya Perguruan Kebangsaan Indonesia di Jakarta, kemudian Moh.Hatta juga menganjurkan untuk melakukan konsolidasi terhadap pembangkanagan tersebut, dan Soekarno memberikan petunjuk untuk melakukan pembangkangan dengan member contoh seperti apa yang dilakukan oleh Gandhi sebagai pemimpin gerakan Hindustan dalam mengahdapi monopoli garam. PPPKI, Partindo dan Muhammadiyah juga ikut serta mencela peraturan ordonansi tersebut.[12]

Reaktualisasi, Bangkitnya Kembali Semangat Itu

Penggunaan kata reaktualisasi didasarkan bahwa kebutuhan negara kita saat ini yaitu tidak lagi pada bagaimana kita mencari dan merumuskan kembali suatu sistem dasar yang di kemudian hari akan ditemukan lagi penyimpangan-penyimpangan yang terus berulang dan akhirnya tidak ditemukan manfaatnya kembali. Dalam KBBI, Reaktualisasi (re-ak-tu-a-li-sa-si) memiliki makna sebagai suatu proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali; penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Sehingga sudah jelas yang menjadi suatu keharusansekarang yaitu bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai. Merumuskan nilai berarti tidak hanya persoalan terkait kesadaran tetapi juga tentang perjuangan.

            Ki Hadjar Dewantara dengan ‘sekolah liar’nya telah menjadi riwayat sejarah yang nilai-nilainya sangat relevan untuk kita aktualisasikan kembali saat ini. Tidak perlu mengambil suatu gerakan revolusi dari bangsa lain jika pada hakikatnya Si Bapak Pendidikan Nasional kita telah berhasil memberikan gambaran bagaimana suatu keberanian untuk sanggup melakukan perubahan dilkukan cukup dengan dua hal yaitu Kemandirian dan Keberanian. Akan sangat sulit membayangkan bagaimana sekolah-sekolah liar pada saat itu beroperasi tanpa memperoleh sokongan dana dari pemerintah, dan sulit untuk merasakan bagaimana batas keberanian seorang Ki Hadjar Dewantara yang tetap membangkang kepada pemerintah colonial saat itu dengan mengetahui konsekuensi besar yang tiba-tiba bisa merengut nyawanya.

            Pertanyaan yang patut kita tujukan pada diri kita masing-masing adalah sanggupkah nilai-nilai di atas kita hidupkan kembali saat ini. Dan siapakah yang akan mampu mengawali untuk mengobarkan semangat sekolah-sekolah liar itu di abad ke-21 ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,salah satu petikan pepatah jawa dapat menjadi kunci untuk membuka kebuntuan ini, ”Ojo rumongso biso, nanging bisoho rumongso”, maknanya kita diminta untuk memulai semua ini bukan dengan kepercayaan diri semata, tetapi kita harus membersamainya dengan bisa saling merasa dan saling memahami. Tidak ada yang bisa berubah secara tiba-tiba, tapi semuanya bisa berubah secara menyeluruh jika persatuan mengiringi suatu langkah awal suatu perjuangan.

 Sumber foto :sekolah zaman doeloe, beritajogja.id 

CATATAN KAKI

 

[1] Lihat Alinea 3 Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[2] Lihat Alinea 4 Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[4] http://civilrights.findlaw.com/discrimination/discrimination-in-education.html

[5] Eko Prastyo dan Ari Sujito, “Yogyakarta Rimba Diskriminasi”, Makalah, Workshop II Penyusunan Strategi Kampanye Anti Diskriminasi, Hotel Jayakarta, 2003. Dapat diakses di http://pusham.uii.ac.id/upl/article/id_Eko%20Prasetyo&Ari%20Sujito.pdf

[6] http://www.history.com/topics/black-history/brown-v-board-of-education-of-topeka

[7] Lebih lanjut bisa baca http://www.antikorupsi.org/id/content/rsbi-harus-dihapus-karena-ingkari-kesamaan-akses-terhadap-pendidikan

[8] Frances Gouda, 1995, Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942, GMD, hlm. 177.

[9] Yudi Latief,2005 , Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Mizan, Jakarta, hlm.226-227.

[10] Slamet Muljana, 2008, Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan Jilid 1, LKis, hlm. 108.

[11] Ibid, hlm. 109.

[12] Slamet Muljana, Ibid, hlm.110-111

Ikuti tulisan menarik Istigfaro Anjaz A lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu