x

Komjen Pol Tito Karnavian (tengah) melambaikan tangan seusai mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di ruang Komisi III DPR, Jakarta, 23 Juni 2016. DPR menyetujui Komjen Pol Tito Karnavian menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Pol Badrodin Haiti. ANTA

Iklan

umbu pariangu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Antibodi Politik Jokowi

Menerjemahkan program keamanan berbasis sumber daya sosial yang menentukan implementasi kebijakan kesejahteraan oleh pemerintah, bukanlah hal mudah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Komjen Pol Muhammad Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri menuai “pujian”. Akpol lulusan 1987 itu merupakan figur yang teruji secara trisep (tiga kemampuan) dari 430 ribu anggota Polri: integritas, kapabilitas dan profesionalisme. Tidak heran, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Maarif, Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Mudhofi Khamid, hingga Ketua Umum Badan Pengurus Pusat HIPMI, Bahlil Lahadalia turut mendukung penetapan perwira tinggi berbintang tiga itu sebagai calon tunggal Kapolri.

Jokowi sadar, dalam dinamika politik yang alot, penuh riak tarik-menarik, dibutuhkan aktor-aktor penyokong kebijakan yang sevisi, solid dan memiliki akseptabilitas dari publik. Menerjemahkan program keamanan berbasis sumber daya sosial yang menentukan implementasi kebijakan kesejahteraan oleh pemerintah, bukanlah hal mudah. Perlu dukungan gagasan transformatif orang-orang di dalam lingkaran untuk menciptakan barikade sosial terhadap efektifitas proses implementasi program-program Presiden sehingga Nawa Cita dapat diwujudkan secara nyata.

Secara reflektif, putusan Jokowi di atas jelas memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin transformatif yang tetap berjangkar pada agenda dan keinginan rakyat. Ia tidak saja membiarkan rakyat bebas mewacanakan aspirasinya tetapi juga memberikan stimulasi rasionalitas kepada publik terkait pilihan-pilihan yang akan diambilnya (Gerald Greenberg & Robert A Baron, Behaviour in Organization, 2003).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berkaca pada ahli politik Jane Bennett (dalam Gaus & Kukatahas, 2013:137), dengan meminjam pilihan matematis, dalam kasus penetapan Tito setidaknya menunjukkan kematangan intensional Jokowi. Dari pilihan berbasis individual yang sarat dengan kalkulasi dan pertimbangan pribadi, yang kerap kali mengabstraksikan kriteria etika dan moral. Atau pertimbangan formalisme yang lebih menitikberatkan pertimbangan kepangkatan, angkatan atau senioritas, Jokowi akhirnya lebih mendasarkan pilihannya pada pertimbangan rasional yang lebih melihat pada unsur kecakapan integritas dan kompetensi serta kepentingan nyata negara.

Meskipun di sisi lain mungkin ia sadar kelak akan ada gejolak penolakan psikologis akibat penetapan yang tidak linear dengan kaedah umum promosi di tubuh Polri. Namun rakyat bersyukur, Jokowi tidak membatalkan sekalipun upayanya melayani preferensi masyarakat yang semakin merindukan hadirnya terutama kepemimpinan lembaga Polri yang jujur, bersih, profesional, yang kelak tidak menghabiskan masa jabatannya hanya untuk berurusan dengan institusi hukum.

Cara itu pula yang ditempuh Jokowi ketika secara opsional memutuskan pengelolaan Blok Masela secara onshore ketimbang offshore, meskipun secara formalisme ataupun individualisme, pilihan tersebut berpotensi memengaruhi revenue (pendapatan) negara, termasuk menghadapi ekses ketika ‘mengusik’ sarang mafia migas. Namun manfaat pengembangan kawasan Timur Indonesia sebagai penjabaran dari diktum kebijakan “membangun Indonesia dari pinggiran” (yakni masyarakat miskin, tidak punya akses ke sumber daya esensial perawatan kesehatan, sedikitnya pendidikan dasar, tidak dapat berdiri tegak sama tinggi secara ekonomi, politik dan sosial)-lah yang menuntun Jokowi secara mantap melahirkan putusan populis tersebut.

Secara fundamental Jokowi melalui fenomena di atas sudah melakukan empat prinsip bagi penguatan politik demokrasi. Pertama, merawat nalar publik, dengan mendasarkan opsi keputusan pada keinginan dan rasionalitas publik, bukan pada kepentingan parsial atau perseorangan (personhood). Jokowi sadar sepenuhnya, ancaman demokrasi sejatinya bukan berasal dari luar, tetapi justru dari dalam berupa budaya kekebalan terhadap nilai-nilai deliberasi dan suara rakyat.

Kedua, spirit langkah Jokowi di atas sejatinya juga pengejawantahan dari sebuah strict obligations (kewajiban total) yang tak bisa dikompromikan oleh seorang pemimpin untuk mengurus hal-hal urgensi terkait jaminan keamanan publik. Masalah sekuritas publik (teroris, narkoba, maraknya korupsi, konflik agama, dll) memiliki implikasi luas, tidak saja bagi mobilitas sosial, ekonomi publik, tetapi juga bagi peruntuhan kepercayaan sosial publik terhadap pemimpin.

Ketiga, secara praktis ada spirit serius Jokowi untuk menyinambungkan upaya reformasi di tubuh kepolisian dengan memperbaiki format pelayanan terhadap publik dengan basis integritas dan profesional dan memperbaiki manajemen SDM-nya, di mana Tito sosok adekuat dan ‘darah segar’ untuk itu.

Keempat, kesimpulan dari tiga poin di atas, Jokowi sedang membangun antibodi politik bagi dirinya untuk keluar dari kungkungan sumber informasi dan pertimbangan yang bersifat politis. Jokowi nampaknya tak mau memberi ruang bagi desakan-desakan keinginan segelintir pihak atau kelompok yang menjauhkan ia dari kejernihan berpikir dan menimbulkan benih resistensi dari publik terhadap performa pemerintahannya. Antibodi (daya tahan) politik Jokowi inilah yang juga tengah dinantikan publik ketika harus merumuskan sikap nyata negara dalam menghadapi koruptor kelas kakap yang ingin merampok aset negara, para gembong narkoba dan teroris, para provokator dan aktor di balik konflik sosial, agama dan aneka kejahatan sosial lainnya.

 

Oleh: Umbu TW Pariangu

Dosen FISIPOL Undana, Kupang

Ikuti tulisan menarik umbu pariangu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB