x

Iklan

Fajar Pebrianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Akhir Perang Harga Minyak dan Krisis Pangan

Artikel No. 2

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jakarta, 2016

Belum satupun yang bisa memprediksi sampai kapankah perang harga minyak ini akan berakhir ? popularitas Shale Oil nya Amerika Serikat begitu hebat sehingga mampu membuat negara-negara produsen minyak mempertahankan harga minyak mereka tetap rendah, produksi terus berjalan bahkan telah melebihi permintaan pasar, lantas apakah hal yang akan terjadi selanjutnya ?

Dalam kondisi seperti ini, agak mustahil bagi negara-negara produsen minyak untuk bermanuver lebih jauh, jika harga yang mereka tetapkan terlalu tinggi, Shale Oil akan lebih diminati, sementara jika mereka tetap bertahan dengan harga rendah seperti hari ini, mimpi buruk tengah mengintai. Dapat dipastikan ekonomi mereka dalam kondisi darurat, karena kebanyakan negara-negara produsen minyak menggantungkan pendapatan mereka dari penjualan minyak, lihatlah bagaimana 90 % pendapatan nasional Kuwait berasal dari penjualan minyak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa kemungkinan situasi bisa terjadi, pertama, harga minyak akan terus turun sementara produksi terus berjalam sehingga akan terjadi banjir minyak seperti yang pernah tejadi di tahun 1986 sehingga minyak lebih murah harganya dari air mineral, kedua, permintaan minyak akan ditingkatkan secara paksa dan dengan cara apapun, caranya ? salah satunya adalah dengan menciptakan perang ? perang secara langsung akan meningkatkan permintaan akan minyak sebagai sumber energi, semakin banyak perang yang tercipta maka akan semakin besar permintaan terhadap minyak.

Analis perekonomian UGM, Tony Prasetiantono pernah berujar bahwa konflik politik dan perang menyebabkan harga minyak dunia naik, karena konflik terjadi di kawasan produsen minyak. Sehingga instalasi minyak di bom, supply berkurang, sehingga harganya naik. Sejarah mencatat, di tahun 1973, harga minyak naik akibat perang Arab-Israel, lalu di tahun 1986 harga minyak turun karena banjir minyak. 5 tahun setelah itu harga minyak dunia kembali naik akibat Perang Irak Kuwait. Setelah itu tahun 2006, harga minyak kembali naik namun lebih disebabkan oleh tindakan spekulasi, dan hari ini, semenjak tahun 2014 harga minyak dunia terus turun akibat ditemukannya potensi Shale Oil yang cukup besar oleh Amerika Serikat, sekalipun sedang terjadi perang besar-besaran di wilayah Suriah. Namun, hal lain yang juga ikut menentukan yaitu pertumbuhan ekonomi global yang diikuti oleh pertumbuhan industri, hal ini tentu akan semakin meningkatkan pertumbuhan akan minyak dunia, namun yang hari ini terjadi adalah ekonomi dunia secara global mengalami perlambatan.

Dari Krisis Minyak ke Krisis Pangan

Saya sepakat dengan pendapat jenderal TNI Gatot Nurmantyo, dalam tuilsan Tantowi Yahya di Koran Sindo, bahwa konflik akan berpindah dari kawasan Timur Tengah yang kaya akan minyak ke kawasan yang kaya akan sumber pangan salah satunya adalah Indonesia. Tantowi mengutip penelitian dari British Petroleum tahun 2011 bahwa minyak dunia akan habis pada tahun 2056. Kondisi ini berbarengan dengan terjadinya overpopulation di dunia sekitar 50 tahun lagi, sehingga kebutuhan akan pangan pun menjadi meningkat drastis. Jika hal ini benar-benar terjadi maka negara-negara Khatulistiwa yang kaya akan sumber pangan akan menjadi epicentrum dari konflik dan perang di dunia.

Hal ini adalah dua kondisi yang menurut saya akan menjadi fenomena yang beriringan, setelah beberapa puluh tahun yang lalu epicentrum konflik dunia berpusat di negara-negara Timur Tengah, lalu hari ini terjadi perang harga minyak yang membuat harga minyak menjadi jatuh akibat kehadiran Shale Oil, lalu perang harga ini akan berakhir, krisis minyak akan terjadi di negara-negara produsen minyak terutama di Timur Tengah, lalu barulah krisis baru terjadi yaitu krisis pangan, dan sesuai dengan argumentasi Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, krisis pangan akan membuat negara-negara kaya akan sumber pangan seperti Indonesia menjadi epicentrum konflik.

Lalu bagaimana dengan Amerika Serikat ? Amerika Serikat memang selalu memiliki standar ganda dalam kebijakan luar negerinya, terutama terhadap ide demokrasi. Korea Utara dan Iran diserang habis-habisan ketika Arab Saudi dirawat dengan baik. Namun dengan kondisi ini, besar kemungkinan Amerika Serikat akan mulai menjauh dari Arab Saudi dan mendekat ke negara-negara khatulistiwa yang kaya akan sumber pangan.

Saya percaya bahwa tidak mungkin Jokowi tidak sadar akan bahaya ini, namun yang menjadi pertanyaan adalah sudahkan kita bersiap untuk menghadapi situasi ini ? kondisi ini merupakan ancaman besar bagi keamanan dan ketahanan nasional kita, kita tentu tidak ingin negara kita menjadi lahan proxy war bagi negara-negara besar nantinya yang berebut memperoleh sumber pangan bagi negara mereka. Namun jika pertahanan dan keamanan kita kuat, kedaulatan pangan tercapai, hal ini malah akan menjadi peluang besar bagi kita untuk menjadi “pemberi makan” bagi dunia ini nantinya.

Ikuti tulisan menarik Fajar Pebrianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler