x

Iklan

marwan mas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kerugian Keuangan Negara

Kerugian keuangan negara secara nyata tidak diperlukan selama didukung oleh bukti-bukti yang mengarah pada "adanya potensi kerugian negara".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

       Dalam membuktikan akibat dari suatu perbuatan tindak pidana korupsi (korupsi) acapkali menjadi perdebatan dalam praktik. Ini terjadi akibat perbedaan persepsi terhadap makna tindak pidana atau delik korupsi. Terutama pembuktian telah terjadi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 3/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi).

       Rumusan kedua pasal tersebut sesungguhnya menganut ‘delik formil’, yaitu tindak pidana korupsi dianggap sudah terjadi apabila unsur-unsur perbuatan yang dilarang sudah terpenuhi, tanpa memperhitungkan timbulnya suatu akibat. Hal itu dapat dilihat pada kata "dapat" merugikan keuangan dan perekonomian negara dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi. Korupsi dianggap telah terjadi apabila perbuatan tersebut ‘berpotensi’ menimbulkan kerugian keuangan negara. Ada atau tidaknya kerugian keuangan negara secara nyata dan pasti jumlahnya, tidak menjadi ukuran telah terjadinya korupsi, bahkan tidak perlu dibuktikan di sidang pengadilan.

       Kerugian keuangan negara secara nyata tidak diperlukan selama didukung oleh bukti-bukti yang mengarah pada "adanya potensi kerugian negara". Dalam ilmu hukum dikenal asas “lex specyalist derogat legi generale” atau peraturan khusus yang diutamakan berlakunya daripada peraturan umum dalam mengatur hal yang sama. Dengan demikian, desain UU Korupsi mengenai ketentuan kerugian keuangan negara seharusnya mengeyampingkan ketentuan UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagai Ketentuan Umum yang mengatur hal yang sama.

       Dalam Pasal 1 butir-22 UU Perbendaharaan Negara mengartikan kerugian keuangan negara sebagai "kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai". Dalam teori hukum pidana, pengertian tersebut termasuk "delik materiil” lantaran memberi syarat adanya kerugian negara "yang benar-benar nyata dan pasti jumlahnya" sebagai akibat suatu perbuatan yang dilarang dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pembayaran Uang Pengganti

       Makna "keuangan negara" dalam Pasal 1 butir-1 UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara adalah "semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut". Pada dasarnya UU Korupsi memberi penekanan bahwa korupsi selain identik dan melekat pada jabatan pegawai negeri dan penyelenggara negara, juga melekat pada penerimaan dan pengeluaran dana APBN/APBD serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

       Untuk mengembalikan keuangan negara (asset recovery), Pasal 18 Ayat (1) huruf-b UU Korupsi mengatur pidana tambahan berupa "pembayaran uang pengganti" yang jumlahnya sebanyak dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Termasuk perusahaan milik terpidana di mana korupsi dilakukan, serta harga dari penggantian barang-barang tersebut. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti dalam jangka waktu satu bulan sesudah putusan hakim berkekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi pembayaran uang pengganti.

       Sebetulnya ketentuan itu mendesain pemiskinan koruptor (terpidana), karena jumlah kerugian negara yang dikorupsi harus diganti. Apalagi dijatuhi juga "pidana denda" sehingga terpidana terkuras hartanya selain dari harta yang dikorupsi. Namun, Pasal 18 Ayat (3) UU Korupsi kembali mementahkannya dan memberi toleransi. Jika terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, diganti (subsidair) dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya yang ditentukan dalam putusan hakim.

       Di sinilah penyidik dan penuntut umum mengharuskan adanya hasil audit BPK atau BPKP mengenai kepastian jumlah kerugian negara yang diduga dikorup. Tujuannya agar hakim dapat dengan pasti menjatuhkan pidana "pembayaran uang pengganti" sesuai jumlah kerugian keuangan negara yang terbukti dikorupsi. Seharusnya tidak perlu dibuktikan penuntut umum di depan sidang pengadilan karena rumusan deliknya termasuk ‘delik formil’ dengan adanya frasa "dapat" dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi.

Penerapan Pencucian Uang

       Untuk mencegah agar dana atau harta hasil korupsi bisa ditelusuri dan digunakan untuk membayar hukuman uang pengganti, seyogianya penyidik menerapkan UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Pencucian Uang). Penyidik dapat menelusuri harta yang disembunyikan tersangka yang ditransfer atau disimpan di rekening orang lain. Termasuk yang disembunyikan tanpa melalui proses bank.

       Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang dapat dijerat pencucian uang jika hasil korupsi dialihkan kepada orang lain (manusia dan korporasi) dengan maksud untuk disamarkan seolah-olah bersih. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Pencucian Uang sebagai tindak pidana asal. Unsur terpenting dalam pencucian uang terletak pada “mengetahui atau patut menduga” uang yang diterima atau ditransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, atau membawa ke luar negeri merupakan hasil tindak pidana.

       Itu salah satu cara mengantisipasi kelihaian koruptor menyamarkan asal-usul harta kekayaan hasil korupsi. Syarat untuk dijerat pencucian uang, bukan hanya tersangka atau orang yang mengalirkan hasil korupsi, melainkan juga yang menerima hasil korupsi. Sayaratnya, orang yang menerima mengetahui atau patut menduga uang tersebut berasal dari korupsi. Ini merupakan salah satu langkah progresif membongkar korupsi kelas kakap hingga akar-akarnya.

       Penyidik juga bisa mengandeng PPATK untuk meminta data transaksi keuangan tersangka yang mencurigakan. Setidaknya ada lima kelebihan menerapkan UU Pencucian Uang dalam membongkar jaringan korupsi yang semakin sistematis dan masif. Pertama, dari segi pelaku, tentu saja akan banyak yang terjerat, bukan hanya orang tetapi juga korporasi. Malah dapat mengungkap dengan cepat kemana saja aliran dana hasil korupsi disembunyikan pelaku melalui bantuan PPATK. Penyidik bisa dengan cepat meminta kepada bank untuk memblokir rekening tersangka.

       Kedua, dari aspek pemidanaan. Hakim dapat menjatuhkan pidana yang lebih berat dengan menggabungkan perkara, sehingga pidana ditambah sepertiga dari ancaman pidananya. Ini dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku sekaligus menimbulkan rasa takut bagi calon koruptor di berbagai institusi negara untuk melakukan korupsi. Ketiga, dari segi pengembalian keuangan negara (asset recovery) akan jauh lebih efektif, baik yang disembunyikan di luar negeri maupun dana yang disembunyikan pada pihak ketiga.

       Keempat, dari aspek pengamanan dana atau harta hasil korupsi. Dana hasil korupsi yang disembunyikan pelaku dapat secepatnya disita penyidik, termasuk memblokir rekening tersangka. Tindakan tegas dan cepat itu berfungsi sebagai "pengamanan" agar tidak terjadi transaksi pemindahan hak kepada pihak lain. Kelima, dari segi pembuktian juga signifikan. Sebab Pasal 77 UU Pencucian Uang menggunakan "pembuktian terbalik" yang dilakukan dalam sidang pengadilan.(*)

Makassar, 5 Juli 2016

 

Oleh Marwan Mas

Guru Besar Ilmu Hukum dan Pengajar Tindak Pidana Korupsi

Universitas Bosowa, Makassar

 

Ikuti tulisan menarik marwan mas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu