Agar Bersepeda Tak Seperti Menonton The Conjuring 2

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengguna kendaraan bermotor cenderung memandang pesepeda sebagai sesuatu yang ada-tapi-tiada, gangguan, atau bahkan lawan. Perlu jalur khusus pesepeda.

Bersepeda di Jakarta, juga di kota-kota lain di Indonesia, sebetulnya bisa dibilang memenuhi kondisi yang digambarkan John Forester sebagai vehicular cycling. Forester adalah ahli rekayasa transportasi dengan moda sepeda. Melalui buku-bukunya yang terbit pada 1970-an, antara lain Effective Cycling (1976), dia berpendapat bahwa "pesepeda mendapat manfaat terbaik manakala mereka bertindak dan diperlakukan sebagai pengemudi kendaraan".

Forester menggunakan istilah vehicular cycling untuk menamai "gaya" bersepeda di negara asalnya, Inggris, yang berbeda sama sekali dengan yang berlaku di Amerika Serikat. Di Inggris, orang biasa bersepeda dengan cara yang memenuhi kaidah berkendara di jalan pada umumnya--bahwa pengguna jalan sama-sama mematuhi peraturan yang diberlakukan untuk mengendalikan lalu lintas. Menurut Forester, pesepeda mesti merasa dan bertindak layaknya pengemudi kendaraan bermotor, sekalipun kendaraannya--ya, sepeda itu--kecil dan bertenaga rendah.

Gagasan Forester laku, bahkan di Amerika, tempat dia kemudian bermukim. Banyak kota di sana yang tak mementingkan jalur khusus. Pesepeda dan aktivis sepeda menganut anjuran Forester sedemikian rupa hingga istilah "mengambil alih jalur" jadi slogan kampanye. Di banyak negara pesepeda masih diwajibkan berkendara di posisi paling tepi, tapi pengikut Forester dengan gagah berani mengambil jatahnya di jalan; mereka yang gowes di depan barisan mobil, seakan-akan tak ciut nyali oleh pekikan klakson di belakangnya, jadi pemandangan umum.

Di Jakarta, mungkin juga di kota-kota lain di Indonesia, memang ada jalur khusus sepeda. Tapi, selain sangat sedikit jumlahnya, jalur-jalur itu tak bersifat eksklusif--tanpa pembatas permanen, hanya ada garis yang dibuat dengan cat; malah sering diserobot jadi area parkir, atau tempat menggelar barang dagangan. Jadi, dalam keadaan apa pun, pesepeda mau tak mau harus berbaur dengan pengendara lain, berbagi ruang. Takut bukanlah pilihan.

Jika mengikuti Forester, layaknya pengendara di jalan, pesepeda di Jakarta mestinya juga bisa bermanuver sebagaimana yang umumnya berlaku dan dibolehkan (menurut aturan, tentunya), di samping wajib mengalah atau memilih jalur sesuai kecepatan. Pesepeda jelas bisa berbagi jalur, mengambil alih jalur, pindah jalur, dan lain sebagainya. mereka juga bisa, kalau berani, berzig-zag demi mempertahankan laju sepeda.

Dalam kenyataannya Jakarta bukanlah kota di Amerika atau negara-negara lain yang pengguna jalannya, pada umumnya, bisa tak semau gue. Mereka yang biasa bersepeda di jalan raya di Jakarta, khususnya yang setia menjalani bike to work, pasti sanggup merasakan bagaimana pengguna kendaraan bermotor cenderung memandang pesepeda sebagai sesuatu yang ada-tapi-tiada, gangguan, atau bahkan lawan; pesepeda jadi terus-menerus seperti sedang menonton The Conjuring 2 selama di jalan. Inilah yang berlaku, mau diakui atau tidak.

Kondisi itu memang pahit, jika bukan menyakitkan. Tapi, bagaimanapun, sepeda tak bakal hilang total dari pilihan moda transportasi. Di samping mereka yang memang sudah "beriman"--percaya bahwa bersepeda adalah cara bepergian yang rasional, untuk alasan apa pun--sebetulnya ada kalangan yang punya keinginan menjadikan sepeda sebagai alternatif alat transportasi tapi belum percaya diri mengingat kondisi lalu lintas yang mirip medan perang itu.

Tak ada cara lain, untuk mengakomodasi keinginan itu, pemerintah mesti mengutamakan pengadaan dan pembangunan prasarananya. Jika pemerintah juga punya keyakinan bahwa pergerakan orang di kota seperti Jakarta hanya bisa leluasa jika dilakukan dengan alat transportasi umum--bus, kereta, MRT--mendahulukan dan menyegerakan pengadaan dan pembangunan prasarana untuk mewujudkannya adalah langkah yang mesti ditempuh. Sepeda bisa menjadi bagian dari langkah itu: kebutuhan akan jalur khusus mesti dilayani.

Kenapa jalur khusus? Karena, di Jakarta, juga kota-kota lain di Indonesia, itulah yang paling masuk akal. Lupakan anjuran Forester. Lagipula anjuran itu juga bakal jadi peninggalan sejarah: bahkan di Amerika, terutama di Los Angeles, kota yang tergolong paling lama menganut vehicular cycling, jalur khusus sepeda dengan pemisah permanen mulai tampak digunakan.

Jika pemerintah juga punya keyakinan bahwa pergerakan orang di kota seperti Jakarta hanya bisa leluasa jika dilakukan dengan alat transportasi umum, mendahulukan dan menyegerakan pengadaan dan pembangunan prasarana untuk mewujudkannya adalah langkah yang mesti ditempuh.

*) Tulisan ini, sudah dengan sedikit editing di sana-sini, sebelumnya diunggah sebagai sebuah Notes di Facebook.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Dear Capres, Gausa Banyak Janji!

Selasa, 27 Juni 2023 20:16 WIB
img-content

Maartje, Sepeda, dan Bandung

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler