x

Kondisi Vihara Tri Ratna yang rusak pasca kerusuhan yang terjadi, di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 30 Juli 2016. ANTARA/Anton

Iklan

Martin Rambe

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

'Polusi Suara' dan Ancaman Kebhinnekaan

Pembakaran rumah badah di Tanjungbalai kembali mengingatkan kita bahwa aturan pengeras suara di rumah ibadah harus segera diatur dan dilaksanakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kebhinnekaan Indonesia kembali tercemar. Sekali lagi, “polusi suara” yang bersumber dari rumah ibadah adalah penyebabnya. Sebuah peristiwa yang semakin menambah deretan sikap kurang tegasnya pemerintah mengelola kemajemukan.

Bermula dari volume suara adzan yang dianggap keterlaluan, peristiwa memilukan itu pun terjadi. Rumah ibadah pengikut Sidharta Gautama di Tanjungalai, Sumatera Utara hangus oleh api amukan massa. Setidaknya dua vihara, delapan klenteng, dan satu yayasan sosial menjadi korban pembakaran. Pembakaran yang terjadi sejak Jumat malam hingga Sabtu dini hari, 29-30 Juli itu disinyalir adanya seorang warga Tionghoa meminta pengurus masjid mengecilkan pelantang suara karena dianggap terlalu mengganggu.

Ada yang mengatakan baru kali itu pengeras suara di Masjid AL-Maksum, Jalan Karya itu berlebihan, hingga mengganggu ibu M, warga Tionghoa yang rumahnya dekat masjid itu. Ada juga yang mengatakan bahwa ibu M telah beberapa kali merasa terganggu dan meminta pengeras suara masjid itu dikurangi volumenya. Entah mana yang benar, yang pasti kejadian itu menunjukkan bahwa standar volume pengeras suara di masjid urgen untuk diatur.     

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rupanya beberapa petinggi negeri ini juga telah lama memikirkan hal itu. Sebut saja mantan Wakil Presiden Boediono.  Tahun 2011, ia telah mengimbau Dewan Masjid Indonesia (DMI) agar segera mengatur soal pengeras suara di masjid. Ketua DMI, Jusuf Kalla, pada tahun 2013 juga pernah menyebutkan bahwa DMI sedang membahas detil dan konsep pengurangan volume suara di masjid.

Langkah ini dianggap penting. Seperti kata Masdar Mas’udi, Wakil Kepala DMI pada 2013, menyebutkan bahwa suara yang terlalu keras dari masjid bahkan mengganggu sesama muslim, seperti mereka yang sedang sakit atau sulit tidur. Jusuf Kalla bahkan menyebutkan pemutaran kaset pengajian menjelang waktu shalat melahirkan ‘polusi suara’ (dikutip dari situs bimasislam.kemenag.go.id).

Namun, meski penting dan telah lama dihimbau atau dibahas, hingga sekarang belum juga mewujud hasilnya. Hingga kasus pembakaran Vihara di Tanjungbalai terjadi. Ini menambah deret kasus berisukan SARA di Indonesia. Terutama soal pengeras suara di rumah ibadah, yang juga terjadi di Tolikara, tahun lalu.

Selama ini aturan penggunaan pengeras suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla berpedoman pada Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Terdapat lima aturan pokok. Salah satunya berbunyi “Dipenuhinya syarat-syarat dimana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau mushala selain berarti seruan taqwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya”.

Sekilas, bunyi aturan tersebut menimbulkan ambigu. Kalimat “…dimana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap…” tidak jelas menunjuk siapa. Apakah yang dimaksud hanya orang Islam atau semua orang tanpa membedakan agama. Kalau yang dimaksud hanya orang Islam, maka perlu diatur sedemikian rupa agar yang mendengarnya mereka saja. Kalau yang dimaksud siapa pun tanpa terkecuali, maka suara tidak boleh keluar masjid jika ada yang tidak siap mendengar, kecuali azan.        

Mungkin, keambiguan makna itu salah satu pendorong Jusuf Kalla mengimbau agar DMI segera mengatur konsep pengaturan pengeras suara di masjid. Ditambah sanksi dan penerapan aturan itu memang belum jelas. Karena jika dirunut ke belakang, tak sedikit orang yang meminta volume pengeras suara di masjid dikecilkan, justru berujung tragis.    

Misalnya, Haji Sayed Hasan bin Sayed Abbas, seorang kakek berusia 75 tahun asal Banda Aceh. Tahun 2010, pasca divonis dokter mengidap penyakit jantung koroner, ia harus banyak istirahat. Namun, pada bulan Ramadhan tahun itu, ia sulit tidur di malam hari karena pengeras suara di masjid mengganggunya hingga pukul 4 dini hari. Dia berusaha berdialog dengan imam masjid, bahkan hingga ke Majelis Permusyawaratan Ulama Propinsi Banda Aceh. Hasil dialog pada tahun itu mengecewakannya. Pada tahun 2011 dan 2012 kebisingan masjid setiap bulan Ramadhan terus mengganggunya. Setelah berbagai usaha dilakukan dan gagal, akhirnya ia memperkarakan kasus pengeras suara tersebut ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Akibat tindakannya itu, malah massa mendatangi rumahnya. Ada yang berteriak “bakar”, “bunuh”, ada pula yang mengatakan ia sesat karena melarang shalat dan adzan. Padahal ia hanya meminta volume pengeras suara kalau malam hari dikecilkan.

Kasus yang terjadi di Tolikara juga diisukan disebabkan persoalan pengunaan pengeras suara di masjid. Ini merupakan contoh-contoh kasus yang muncul ke permukaan. Lain lagi yang tidak diliput media. Jika mau menelisik pribadi ke pribadi, hampir dapat dipastikan banyak juga orang merasakan keberatan yang sama soal pengeras suara di masjid atau rumah ibadah lainnya.

Pengalaman saya, ketika menempuh pendidikan SMA di Kota Pematangsiantar (2008-2011), Sumatera Utara, tentang pengeras suara di rumah ibadah bukan hanya persoalan umat Islam. Secara pribadi, saya juga merasa terganggu dengan pengeras suara yang digunakan oleh gereja HKBP yang terletak di Jalan Gereja, Kampung Kristen, kala itu. Jika sampai sekarang gereja tersebut masih menggunakan pelantang suara yang seperti dulu, sudah saatnya gereja juga mulai berbenah.       

Karena masalah pengeras suara di rumah ibadah juga bukan hanya terjadi di satu negara, seperti Indonesia. Arab Saudi, misalnya, telah secara tegas menerapkan peraturan soal pengurangan volume suara di masjid, sejak 2014. Melalui Kementerian Urusan Islam, Arab Saudi memerintahkan pengurus masjid untuk memelankan volume pengeras suara agar tidak mengganggu masyarakat yang tinggal di sekitar masjid.

Kita, yang dibalut oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan berdasar Pancasila seharusnya lebih tanggap pada persoalan seperti ini. Dewan Masjid Indonesia, Bimbingan Masyarakat Islam, Majelis Ulama Indonesia, dan Kementerian Agama harus segera bertindak. Aturan yang mengatur volume suara di masjid harus segera dirumuskan. Diputuskan, disosialisasikan, lalu dijalankan berikut sanksi bagi pelanggarnya. Karena menunda-nunda hanya akan menumpuk bola salju yang kapan saja bisa meledak. Ancamannya jelas, kebhinnekaan.

Meski demikian, pengaturan volume pengeras suara di rumah ibadah hanya bagian kecil dari instrumen toleransi. Maka, menanamkan nilai-nilai toleransi adalah yang utama. Karena sikap toleran adalah aset terpenting dalam kehidupan berbhinneka.

Kunjungi blog saya di https://www.tumblr.com/blog/martinrambe

Ikuti tulisan menarik Martin Rambe lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB