x

Ilustrasi - catur. ITS juarai kompetisi catur nasional. dok. KOMUNIKA ONLINE

Iklan

Taufiq Saifuddin

Penikmat Kopi yang sedang jadi peneliti di Pusat Polling Indonesia (PUSPOLL Indonesia)
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Asthabrata Kepemimpinan Nusantara

Rakyat Indonesia sangat membutuhkan seorang pemimpin yang mampu memberi semangat, motivasi, inspirasi, dan keteladanan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Panggung sandiwara, seperti itulah cara menyederhanakan hiruk pikuk kehidupan. Masing-masing kita punya peran dan perangai dalam menentukan laju peradaban, seperti itulah hidup untuk menghidupi.

Asthabrata adalah sekelumit dari beragam local wisdom di negeri ini. Ia bertautan erat dengan ajaran kepemimpinan. Khasanahnya diambil dari lakon “Wahyu Sri Makutha Rama”, mengambil simbol dari delapan ajaran alam raya. Kedelapan kahasanah tersebut

mencakup; bumi (tanah), maruta (angin), samodra (laut/air), candra (bulan), surya (matahari), akasa (langit), dahana (api) dan kartika (bintang). Seperti itulah kandungan di dalamnya, sebagaimana Astha dapat diartikan delapan dan Brata berarti laku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terdapat keterkaitan antara delapan komponen alam raya dengan manusia sebagai pelaku utama dalam kehidupan. Pemahaman yang mendalam terhadapnya akan melahirkan keseimbangan dalam hubungan manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan lingkungannya. Dapatlah dikatakan bahwa kearifan ini adalah bagian dari filsafat nusantara yang hampir kehilangan eksistensinya dalam pergulatan abad-21. Ia hanya ditampilkan dalam pertunjukan namun tiada tampil dalam kehidupan, layaknya tontonan tak menjadi tuntunan.

Bumi atau tanah menyimbolkan sifat kuat sekaligus murah hati. Ini bermakna bahwa pemimpin hendaknya berwatak sentosa, teguh dan murah hati, senang beramal dan senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya. Maruta atau angin. Selalu ada dimana-mana tapi tak berpihak siapa-siapa selain manusia itu sendiri. Darinya tak ada beda satu dengan lainnya, semua ruang kosong diisinya dengan kesejukan. Ini bermakna bawah pejabat publik hendaknya dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, serta menyuarakan dan melaksanakan keinginan masyarakat.

Samodra atau laut/air. Sebagaimana kita ketahui bersama luasnya samudra, senantiasa mempunyai permukaan yang rata, bersifat sejuk menyegarkan. Memberikan makna bahwa negarawan sejati selalu mampu menempatkan semua orang pada derajat dan martabat yang sama, sehingga dapat berlaku adil, bijaksana dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya. Candra atau rembulan. Pancaran sinarnya memberi penglihatan di kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberikan dorongan atau motivasi untuk membangkitkan semangat rakyatnya, walau dalam kelamnya duka karena bencana.

Surya atau matahari yang memancarkan sinar sebagai sumber kehidupan, darinya semua mahluk tumbuh dan berkembang. Nilai ini mengharuskan seorang pejabat publik untuk mengembangkan daya hidup masyarakat untuk membangun kejayaan. Angkasa atau langit yang luas tak terbatas. Ia mampu menampung apa saja yang datang padanya. Maksudnya pemimpin harus memiliki keluasan pikiran serta hati, kemampuan mengendalikan diri yang kuat. Dengan begitu ia dapat dengan sabar menampung keaneka ragaman pendapat dan keinginan masyaraka..

Dahana atau api yang mempunyai kemampuan untuk membakar habis segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Ini artinya seorang yang mendapatkan amanah haruslah berwibawa dan berani menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas, tuntas dan tanpa pandang bulu. Kartika atau bintang. Berada sangat jauh di langit, namun masih menunjukkan cahayanya. Ini menunjukkan jiwa keteladanan yang harus ada dalam diri pemimpin. Tiada keraguan dalam menjalankan putusan bersama, dan tidak gampang terpengaruh atas kekuatan yang lain.

Pancasila sebagai filsafat dan azas Negara hampir-hampir tidak pernah lagi kita dengarkan dalam keseharian kita, dari mulai pidato kenegaraan sampai pembelajaran di sekolahan. Asthabrata pada dasarnya terserap dalam kandungan sila-sila dalam Pancasila kita, yang secara nilai terhubung dengan prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Potret kepemimpinan kita haruslah setidaknya memiliki kaitan dengan kelima dasar tersebut.

Tidaklah mengherankan jika kini masyarakat Indonesia mengalami degradasi wawasan nasional, terjadi semacam erosi jatidiri nasional. Kearifan lokal tergantikan oleh pop culture, reformasi kemudian muncul dengan demokrasi liberal yang hanya aktual dalam tatanan dan fungsi pemerintahan. Ini artinya kita dihadapkan pada praktek budaya oligarki, bahkan sebagian besar masyarakat kita mempraktekkan budaya anarkhisme. Akhirnya tanpa disadari nasionalisme menjelma menjadi primordialisme kesukuan dan kedaerahan.

Kita pun sebenarnya telah sadar betul akan kemajemukan agama, etnis dan beragam perbedaan yang lain. Namun itu tidak cukup untuk ukuran Negara kepulauan seperti Indonesia, kita tetap harus berupaya untuk memperkokoh demokrasi sehingga kita mampu keluar dari jeratan disintegrasi. Salah satu yang tidak kalah pentingnya dalam upaya ini adalah sistem demokrasi presidensial. Setidaknya, pasca Pemilu 2014 terdapat dua pilihan yang bisa dijadikan alternatif perbaikan. Pertama, memantapkan sistem demokrasi mayoritas dan sistem demokrasi presidensial agar terbangun stabilitas pemerintahan. Kedua, menyelaraskan sistem demokrasi multi partai dengan nilai-nilai Pancasila.

Ini artinya, proses konsolidasi dan koalisi dapat dilakukan sebelum proses Pemilu dilakukan, sehingga dapat memfasilitasi pembentukan koalisi permanen dalam pemilihan pimpinan eksekutif. Efeknya, dalam medan legislatif kita walaupun jumlah Fraksi beragam namun secara koalisi politik hanya terdapat setidaknya dua koalisi yang secara konsisten “bertarung” hingga priodenya berakhir. Hal ini dapat meminimalisir perseteruan pejabat Negara yang secara terbuka mencengangkan bagi kita semua. Begitupula sifat antagonistis elit politik dan semangat kedaerahan setidaknya dapat diantisipasi melalui usaha-usaha kembali pada nilai Pancasila kita.

Hal yang juga sering menjadi paradoks adalah dalam proses Pemilu kita, seringkali dalam sekejap mata dana berhamburan entah darimana asalnya. Setelah proses Pemilu selesai, dalam sekejap pula kondisi kembali seperti “biasa” (baca: tidak ada perubahan), yang miskin tetap saja kesulitan dalam bidang kesehatan, pendidikan dan sebagainya.

Sekelumit problem diatas membuat berbagai kalangan kembali menyorot dan menggali khasanah dari sumbangsih pemikiran masa lampau. Seperti konsep Islam Nusantara yang dikemukakan oleh Nahdatul Ulama (NU). Bahkan M. Yamin sebagai salah satu pendiri bangsa, memperutuh konsep tentang Indonesia melalui dua ‘negara’ besar Nusantara, Majapahit dan Sriwijaya. Beliau memunculkan figur Gajah Mada sebagai simbol dalam perbincangan Nasionalisme.

Kita telah melewati masa emas kemerdekaan sejak mula Indonesia didirikan. Dalam pengalaman bernegara, kita pun telah melihat bagaimana ekperimentasi demokrasi yang dipraktikkan Sukarno serta demokrasi Pancasila yang diterapkan Suharto, masih belum berhasil mengkonsolidasikan wujud demokrasi kita. Hal ini jugalah yang berimplikasi pada belum terbentuknya jati diri seorang pemimpin berwawasan Nasional serta diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

Untuk keluar dari krisis multidimensional ini, rakyat Indonesia sangat membutuhkan seorang pemimpin yang mampu memberi semangat, motivasi, inspirasi dan keteladanan. Hal inilah sebenarnya yang termaktub dalam khazanah Asthabrata. Kedelapan karakter tersebut, juga sangat erat kaitannya dengan ragam Kepercayaan Agama masyarakat Indonesia, sehingga sangat mungkin untuk dikembangkan dalam modernitas Indonesia.

Konsep dasar kepemimpinan nasional kita sejatinya tidak luput dari kekayaan khasanah kearifan lokal Nusantara. Mengkontekstualisasikan gagasan tersebut merupakan ciri dari modernitas Keindonesiaan kita. Oleh karenanya kita harus sadar betul, bahwa terdapat ruh kearifan lokal yang dapat diwujudkan secara nyata di bidang politik, produk barang dan jasa, pendidikan dan ragam bidang kehidupan lainnya.

Oleh: Taufiq Saifuddin

Peneliti di Azkia Institute Jakarta dan Aliansi Indonesia Damai. 

Ikuti tulisan menarik Taufiq Saifuddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini