x

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengunjungi ruangan kerja kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 28 Juli 2016. TEMPO/Danang

Iklan

Fadly Rahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pendidikan Nasional dari Anies ke Muhadjir

Jika pencopotan Anies disebabkan tak melakukan gebrakan cepat, maka “gebrakan” Muhadjir justru dapat berakibat blunder bagi pendidikan nasional

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

… bahwa yang paling dibutuhkan oleh negara ialah pembangunan bangsa dan pembangunan watak. Untuk mencapai tujuan ini tentu saja politisi yang loyal jauh lebih disukai dari pada intelektuil yang terdidik dan terlatih, berfikir bebas” (SeloSoemardjan).

 

 

Mengecewakan! Itulah ekspresi banyak orang terkait dicopotnya posisi Anies Baswedan dari posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Anies telah menjadi “korban” reshuffle kabinet yang ditengarai sarat nuansa politis. Sebagai profesional yang menaruh perhatian terhadap dunia pendidikan ditambah ia bukan diusung partai politik manapun, pencopotan Anies bakal memunculkan problema baru terkait akan dibawa ke mana arah pendidikan nasional?

Dan masalah baru itu mulai tampak ketika Mendikbud baru Muhadjir Effendy, menyarankan penerapan sistem full day school bagi pendidikan dasar dan menengah. Menurutnya, sistem ini mampu menjadi solusi membangun generasi penerus berkualitas. Ia menganggap generasi sekarang masih banyak yang bermental lembek dan tidak tahan banting.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika pencopotan Anies terlalu prematur karena dinilai tak melakukan gebrakan cepat selama menjabat sebagai Mendikbud, maka “gebrakan” Muhadjir justru dapat berakibat blunder bagi dunia pendidikan. Pendidikan semestinya membebaskan nalar anak-anak didik dari kekangan sistem pembelajaran yang menumpulkannya, bukan justru mengekangnya melalui sistem belajar sehari penuh. Hal ini justru hanya akan mengurangi waktu anak berada di rumah di mana ia seharusnya berkumpul, bermain dan belajar di lingkungan keluarganya

Pendidikan yang Humanis

Sebagai seorang pemikir pendidikan, Anies paham, bahwa permasalahan pendidikan yang paling mengkhawatirkan adalah ketika pendidikan makin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Maka itu, yang diprioritaskan untuk dibenahinya adalah mengubah mental di lingkungan pendidikan untuk lebih menjunjung nilai-nilai kejujuran ketimbang mengejar nilai tinggi tapi dinodai praktik kecurangan seperti kerap didapati dalam pelaksanaan Ujian Nasional.

Selain itu, langkah Anies untuk menghapus dan menindak tegas praktik perpeloncoan yang selama ini jadi persoalan dunia pendidikan, menunjukkan sikap humanis Anies dalam memutus akar-akar kekerasan dan tatanan feodal yang telah banyak memakan korban jiwa di kalangan anak didik. Pun, kebijakan Anies menganjurkan orang tua agar mengantarkan anak-anaknya pada hari pertama mereka masuk sekolah adalah gerakan penting dalam membangun mental dan paradigma ideal, bahwa lembaga pendidikan yang paling utama sebelum seorang anak belajar di sekolah adalah keluarga, bukan sekolah seharian penuh.

Menanamkan nilai-nilai humanisme memang perlu ditanamkan di lingkungan pendidikan. Untuk menanamkannya, peran aktif orang tua dan guru jelas perlu ditingkatkan agar tercipta pendidikan berkarakter yang mengedepankan nilai-nilai kecendekiaan anak didik. Sejak mula diamanahi mengemban jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo, visi misi Anies terasa mengarah ke pewujudan nilai-nilai itu.

 

Dikawal, Dikontrol, Dikritisi

Perlunya nilai-nilai kecendekiaan tertanam dalam mental dan pikiran anak-anak didik memang diperlukan sebagai basis untuk membangun karakter bangsa. Urgensi itu setidaknya sudah lama dibahas secara mendalam dan menyeluruh oleh para pakar pendidikan sebagaimana buktinya tercermin dalam jurnal Prisma edisi November 1976 yang memuat edisi khusus bertajuk Cendekiawan Digugat. Salah satunya pernyataan dari Selo Soemardjan dalam artikelnya “Peranan Cendekiawan dalam Pembangunan” yang dikutip dalam avantpropos tulisan saya ini, bahwa fondasi penting sebuah negara berpijak pada bagaimana karakter dan mental bangsanya dibangun.

Apa yang dimaksud sang begawan ilmu sosial ini dengan istilah “pembangunan watak” ialah watak bangsa yang terdidik, terlatih, dan bebas dalam berpikir. Tiga unsur ini mencerminkan karakter intelektual yang sedianya terlahir dari rahim dunia pendidikan. Tapi kenyataannya, spirit untuk berpikir bebas sebagai salah satu ciri karakter intelektual sekarang ini telah redup dari degup pendidikan kita. Anak-anak didik hanya dididik menjadi terdidik dan terlatih, tapi dalam hal berpikir bebas yang dapat membuat mereka berpikir kritis dan bernalar tajam, boleh dibilang kondisinya mengkhawatirkan. Mereka terpenjara dalam sistem pendidikan yang menumpulkan nalar dan menjauhkannya dari karakter intelektual.

Maka itu, kekhawatiran pasca pencopotan Anies adalah kemunduran berbagai program pendidikan yang berlandas pada pemikirannya sebagai seorang intelektual. Mungkin masih ada yang menaruh asa terhadap Muhadjir Effendi untuk membenahi permasalahan pendidikan nasional. Meski dalam hal penerusan program-program yang diikhtiarkan Anies, peran dan intelektualitas Muhadjir tampaknya harus terus dikawal, dikontrol, dan dikritisi.

 

FadlyRahman[1]

[1]Sejarawancumpedagog.StafpengajarDepartemenSejarahUnpad.

Ikuti tulisan menarik Fadly Rahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB