x

Warga Bukit Duri yang Direlokasi Bertambah

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Praktik Eco-Fasis di Balik Jargon Relokasi

Celakanya, kini penggusuran disamarkan dengan kata relokasi oleh media massa arus utama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta sebentar lagi. Menjelang pilgub DKI kali ada baiknya kita mengingat janji-janji Gubernur DKI Jakarta yang terpilih pada Pilgub DKI tahun 2012. Sudahkah janji itu dilaksanakan? Atau justru praktiknya bertolak belakang dari janji yang pernah diucapkannya?

Pembangunan itu menggeser bukan menggusur warga miskin kota. Sebuah janji yang popular menjalang Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 2012 silam. Adalah Joko Widodo (Jokowi) yang berpasangan dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang mempopularkan janji tersebut pada saat itu.

Janji itu mendapat sambutan dari warga DKI Jakarta. Terbukti pasangan Jokowi-Ahok berhasil memenangkan Pilgub DKI pada saat itu. Pembangunan yang menggeser bukan menggusur warga miskin kota menyimpan harapan baru warga kota untuk mengakhiri praktik kejam pembangunan Kota Jakarta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Harapan akan lahirnya Jakarta baru, yang manusiawi, tentu bukan hal yang berlebihan. Bagaimana tidak, selama ini pembangunan Kota Jakarta selalu saja diwarnai dengan aksi penggusuran yang disertai kekerasan oleh aparat keamanan.

Di Jakarta, penggusuran warga miskin kota hampir memiliki pola yang sama dan terus berulang. Setidaknya ada dua pola dalam setiap penggusuran di Jakarta. Pertama, dengan memberikan stigma bahwa warga miskin adalah warga liar.

Kedua, munculnya surat perintah bongkar (SPB), tanpa didahului dengan dialog dengan warga untuk memberikan solusi terbaik bagi warga korban penggusuran.

Sebelum krisis ekonomi 1998, penggusuran lebih banyak dilakukan terhadap pemukiman-pemukiman miskin dengan alasan kepentingan umum. Kepentingan umum adalah sebuah kata lain dari kepentingan bisnis para konglomerat. Tanah dan tempat tinggal kaum miskin digusur untuk dijadikan lokasi bisnis, perkantoran ataupun pemukiman mewah. Kini alasan kepentingan umum telah bergeser menjadi alasan penegakan hukum demi ketertiban, kebersihan dan keindahan. Meski bergeser rumusannya, namun substansinya tetaplah sama yaitu, menggusur warga miskin kota.

Sejak Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, kita memang jarang lagi mendengar atau membaca berita mengenai penggusuran di Jakarta. Namun, itu tak berlangsung lama. Sejak Jokowi berpindah kantor dari Balai Kota ke Istana Negara, berita-berita penggusuran warga miskin kota kembali menghiasi media massa yang terbit di Ibukota. Celakanya, kini penggusuran disamarkan dengan kata relokasi oleh media massa arus utama. Dan segelintir intelektual kelas menengah pemuja sang Gubernur DKI Jakarta Ahok pun mengamininya dan mencari sejuta alasan untuk membenarkan penggusuran yang terjadi.

Kini, pengganti Jokowi kembali mengulangi pendekatan pembangunan seperti Gubernur DKI Jakarta. Membangun dengan menggusur, sama seperti di era Gubernur sebelumnya. Dengan mengatasnamakan perluasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan normalisasi sungai, penggusuran pun dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Model pembangunan menggeser bukan menggusur di saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta seakan tinggal kenangan.

Warga miskin kota pun kembali menerima stigma sebagai warga liar yang menyerobot RTH dan daerah sepandan sungai. Tindakan warga miskin kota ini dinilai hanya merusak lingkungan hidup. Stigma sebagai perusak lingkungan hidup itu kemudian menjadi pembenar untuk menggusur mereka.

Penggusuran warga miskin kota dengan mengatasnamakan lingkungan hidup ini sejatinya adalah perwujudan nyata dari praktek ideologi eko-fasis, yaitu sebuah ideologi yang membenarkan adanya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan dengan dalih pelestarian lingkungan. Dalam prakteknya, ideologi ini sering kali hanya ditujukan kepada warga miskin kota yang tidak mempunyai akses terhadap modal dan kekuasaan. Sementara itu, orang-orang kaya yang memiliki akses terhadap modal dan kekuasaan, meskipun merusak lingkungan, tidak akan tersentuh olehnya. Dan praktik itu tengah terjadi Jakarta saat ini.

Data pengurangan area RTH di Jakarta misalnya, secara jelas menunjukan berbading lurus dengan penambahan kawasan komersial baru. Target luasan RTH dalam tata ruang Jakarta terus dikurangi dari 37,2 persen dalam Rencana Induk 1965-1985 hingga 13,94 persen dalam RTRW 2000-2010. Sedangkan tambahan pasokan ruang komersial begitu hebatnya—3.046.000 meter persegi pada 2000-2006, sedangkan pada 1960-1999 hanya 1.454.000 meter persegi. Data ini menunjukkan bahwa RTH dan daerah resapan air di Jakarta sebenarnya justru banyak dialihfungsikan menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar, bukan oleh para pedagang kecil dan penduduk miskin lainnya.

Hutan kota di kawasan Senayan seluas 279 hektare kini berubah fungsi menjadi kawasan komersial dan apartemen untuk kelas menengah. Hutan kota Tomang juga menalami nasib sama. Sebelumnya kawasan itu rencananya menjadi sabuk hijau kota. Kini, hutan itu berubah menjadi kawasan komersial dan apartemen milik kelas menengah di Jakarta.

Jika benar, penggusuran warga miskin kota di berbagai wilayah di Jakarta saat ini untuk pelestarian lingkungan hidup tidak dilakukan di kawasan RTH dan daerah resapan air yang dirampas oleh pemilik modal untuk perumahan orang-orang kaya dan kawasan komersial di Jakarta?

Sulit berharap Pemprov DKI Jakarta akan menggusur pemilik modal yang telah merubah kawasan hutan kota, RTH dan daerah resapan air menjadi pemukiman mewah dan kawasan komersial. Para pemilik modal melakukan penghancuran ekologi di Jakarta secara legal. Tata ruang kota yang semula diperuntukan untuk hutan kota, RTH dan daerah resapan air sudah lebih dahulu ‘diputihkan’ menjadi kawasan komersial dan pemukiman mewah. Sedang warga miskin kota tidak memiliki akses untuk ‘memutihkan’ tata ruang kota sebagai dasar legal bagi pemukiman mereka.

Di tengah ketidakseimbangan relasi antara warga miskin kota dan pemilik modal terhadap tata ruang kota itulah, praktik eco-fasis terus menerus dipraktikan di Ibukota. Praktik eco-fasis ini sebenarnya, ingin dikoreksi Jokowi saat menjadi Gubernur DKI dengan model pembangunan menggeser bukan menggusur. Sayang, upaya Jokowi itu kini kandas di tangan penggantinya. Ahok tidak menuruskan pembangunan tidak menggusur dari Jokowi. Kini Ibukota kembali mempraktikan eco-fasis, entah sampai kapan.

Firdaus Cahyadi

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler