x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tak Cukup Bebas Berpikir

Kebebasan berpikir tidaklah cukup. Kemandirian berpikirlah yang kian kita butuhkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Saat ini, satu hal yang meresahkan saat menikmati pagi ialah keseragaman. Percakapan yang simpang-siur ihwal beragam soal di media publik kita membuat pagi terasa kurang nyaman. Bukan lantaran beragamnya pikiran yang melatari percakapan itu, melainkan justru keseragaman. Kita menemukan topik yang sama, sudut pandang serupa, yang bercakap pun itu-itu juga. Begitu sempitkah dunia kita?

Keseragaman menjadikan kita berpikir bahwa apa yang ditemukan dengan sudut pandang tertentu itulah kebenaran yang mesti dianut, diperjuangkan, dan dibela. Dan tatkala kepentingan sudah membungkus mata dan pikiran kita, kian sukar bagi kita untuk melihat dari sudut-sudut yang lain. Apa lagi memilih sudut pandang lawan—dengan mengakui bahwa ada kebenaran dalam pandangan lawan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mari kita agak mengambil jarak sejenak dari media. Yang terlihat adalah saban hari media arus-utama kita dibanjiri teks, gambar, dan suara; namun, betapa aneh, begitu tidak mudahnya kita menemukan teks, gambar, dan suara yang mencerahkan, yang membuat kita berani menghadapi sulitnya hidup, yang membuat kita tak putus berharap, yang membuat kita yakin bahwa lorong yang gelap ini segera berujung terang. Dan betapa seragamnya semua itu, dalam bentuk dan dalam isi.

Andaikan kita mau mengusik, apa yang disebut percakapan itu pun kerap tak membukakan horizon baru bagi kita yang berdiri di luar arena pertarungan kepentingan. Kita dipaksa menonton percakapan yang merepresentasikan jalan pikiran yang linier, yang tak punya keberanian untuk melompati batas-batas. Kita belum melihat sebuah arena di mana ide-ide dipertarungkan bagi terbukanya mata hati kita; yang membuat kita ikut berpikir, terdorong untuk bergerak, bukan sekedar menonton—yang bertepuk tanganpun tidak.

Kita barangkali sudah menikmati kebebasan berpikir, hingga derajat tertentu, dalam ruang tertentu. Namun kebebasan itu dibatasi oleh kepentingan sebagian orang untuk berkuasa yang menghegemoni percakapan. Klaim kebenaran dipegang mutlak tanpa sedia membuka percakapan yang sejati seperti diajarkan oleh mereka yang memperjuangkan kebebasan berpikir, yakni terbuka bagi kemungkinan diri sendiri keliru. Kita semestinya mengakui bahwa pemahaman kita tentang dunia yang kita tinggali ini secara inheren tidak sempurna (falibel).

Di dunia politik, tempat kebijakan kerap diputuskan dan mengikat orang banyak, perkara falibilitas ini menjadi rumit. Para politikus tidak cukup berani dan berbesar hati untuk sanggup mengakui bahwa dirinya bisa salah; bukan hanya bisa benar. Barangkali ini memang perkara harga diri, tapi sekaligus menandai kejumudan pikiran. Dalam politik, seperti kata George Soros dalam The Age of Fallibility, gagasan-gagasan yang salah bisa menang.

Kebebasan berpikir juga terpasung oleh semacam, meminjam istilah manajemen, group think. Apabila sekelompok orang bersatu dalam pikiran yang sama, maka itulah kebenaran yang harus diterima. Pintu ditutup bagi pikiran lain. Orang menjadi enggan untuk berpikir berbeda, dan sebagian lagi memang lebih suka ikut berbaris dalam keseragaman. Massa yang bertikai—astaga, nyaris setiap hari kita menyaksikan di layar televisi—adalah kerumunan yang menutup diri dari pikiran lain; alih-alih pikiran lawan bertikai. Berpikir lain dianggap keluar dari kelompok.

Teks dan gambar yang lalu-lalang di media arus-utama juga menyiratkan keterperangkapan kita dalam primodialisme pikiran. Ada semacam pemujaan pada pikiran tertentu, cara berpikir tertentu, yang diwakili tokoh tertentu. Primodialisme pikiran menjebak kita untuk tidak beranjak dari pikiran-pikiran yang berlaku, yang dianut oleh kerumunan. Meresahkan, primodialisme itu menjangkiti berbagai ranah kehidupan, dalam teori maupun praktik—seperti bagaimana partai-partai dikelola, ormas-ormas dijalankan.

Ada pula sejenis ketakutan untuk berpikir berbeda, dengan cara berbeda, dan isi pikiran yang berbeda. Kita lebih suka berlindung di balik pikiran orang lain, terutama yang menjulang. Kita cemas berdiri sendirian, sebab angin akan menerpa begitu kencang dari berbagai arah. Inilah yang membuat kita tak berani berpikir jujur menurut apa yang kita angankan, yang kita inginkan, yang menurut kita benar dan baik. Kita mungkin tak bisa tidak berdiri di atas pundak-pundak raksasa yang lampau, tapi itu tak mesti membuat kita takut untuk kemudian meretas jalan sendiri.

Kebebasan berpikir, pada akhirnya, tidaklah cukup. Kemandirian berpikirlah yang kian kita butuhkan agar pagi kita menjadi berwarna-warni. Setiap kali kita bangun, kita bisa menyaksikan percakapan yang mengasyikkan sebab orang-orang melihat sesuatu dari pikiran yang berbeda dan itulah yang membuat hidup jadi jauh lebih kaya. Dan bukankah kita sendiri yang menanggungkan apa yang kita pikirkan? Tak banyak, dalam sejarah republik ini, orang-orang yang demikian berani berpikir mandiri, dan kian sulit kita menemukannya sekarang.

Berpikir mandiri memang butuh keberanian. Sebab, seperti kata Ibn Bâjjah (abad ke-12 Masehi) dalam Panduan Kesendirian (Tadbîr al-Mutawahhid), berpikir adalah fungsi manusia tertinggi, tapi berpikir juga ikhtiar yang penuh bahaya. Berpikir mandiri memang berbahaya, tapi berpikir seragam niscaya lebih berbahaya. (sumber foto ilustrasi: bugout.news) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu