x

Iklan

Abdul Munir A.S

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dilema PDIP Pasca Ahok-Jarot

Jadi pilihan PDIP yang jatuh ke Ahok-Jarot, lebih pada logika politik kalkulatif, menimbang survei Ahok yang belum mampu terkejar oleh para kontestan calon

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Abdul Munir A.S (Ketua Badan Humas dan Media Masa DPP BM PAN)

 

Bagi analis politik, para politisi serta mereka-mereka yang pro dan kontra pada Ahok, menunggu detik-detik sikap politik PDIP di Pilkada DKI, sungguh mendebarkan. Sikap PDIP itu berada di balik riak dan gemuruh yang menyeruak antara yang pro dan kontra terhadap Ahok.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lagi-lagi, Ahok menjadi episentrum diskursus publik dalam menimbang kenapa PDIP harus menjatuhkan dukungan pada Ahok. Tentu sebagai partai politik, hidup dalam demokrasi pasar, pastilah berhadap-hadapan dengan pilihan hitungan menang-kalah sebagai ukuran determinan suatu kontestasi politik. Ihwal demikianlah yang perlu kita mafhumi atas sikap PDIP pada Pilkada DKI.  

Jadi pilihan PDIP yang jatuh ke Ahok-Jarot, lebih pada logika politik kalkulatif, menimbang survei Ahok yang belum mampu terkejar oleh para kontestan calon gubernur lainnya di Pilkada DKI Jakarta yang sebentar lagi dihelat. Kendatipun begitu, sikap PDIP itu menuai tantangan hebat, baik internal ataupun yang datang dari eksternal. Tapi apa mau dikata, PDIP yang tengah mengalami defisit kader dan kepemimpinan, harus angkat topi dan menyerahkan dukungannya pada pasangan Ahok-Jarot, bukan Jarot-Ahok.  

 

PDIP Terbelah?

Terbelahnya sikap politik sebahagian kader PDIP terhadap dukungan pada Ahok, adalah sisi penting yang harus ditakar, karena dukungan pada Ahok, bukan cuma soal secarik kertas Surat Keputusan DPP PDIP pada Ahok-Jarot, tapi dukungan tersebut harus memiliki dampak psikologis yang masif terhadap kader PDIP yang ada di DKI Jakarta.

Terbelahnya sikap politik PDIP itu, terlihat ketika Ketua Plt DPD PDIP DKI Bambang Dwi Hartono dinonaktifkan dari jabatannya akibat menolak Ahok. Bisa jadi, terbelahnya sikap kader-kader PDIP di lapisan elit PDIP itu, turut membelah lapisan akar rumput, dan hal tersebut berdampak masif terhadap akseptabilitas Ahok secara elektoral pada kantung-kantung suara PDIP di Jakarta.

Tentu harus diingat, bahwa faktor kemenangan Jokowi-Ahok dan Ahok-Jarot sangat berbeda variabelnya. Pada Pilgub DKI 2012, Faktor Jokowi dengan representasi dan segmentasi ke-Jawa-an-nya yang kuat, sangat berpengaruh terhadap 35,16 persen populasi etnis Jawa yang ada di Jakarta. Begitu pun profil individu Jokowi yang merakyat, sederhana dan santun, adalah karakter yang diametral dengan profil petahana Fauzibowo kala itu yang keras dan culas. Faktor ini dikonstruksi media secara masif pada Pilgub 2012. Akibatnya; Jokowi memanen citra positif dan Fauzibowo perlahan-lahan tergerus kefiguran dan citranya.  

Meski kemudian Ahok-Jarot mencoba me-reply memori warga Jakarta dengan baju kotak-kotak pada Pilkada DKI 2017 nanti, hal itu tak mudah membentuk imajinasi warga Jakarta, setelah melihat dan merasakan bedanya karakter kepemimpinan Jokowi dan Ahok. Baju kotak-kotak bukanlah jembatan simbol yang mudah mendekatkan figur Jokowi dan Ahok per se. Karakter kepemimpinan Jokowi berbeda bagaikan lagit dan bumi dengan karakter kepemimpinan Ahok. Apalagi Ahok sendiri tak di-branding dengan suatu kemasan citra yang bisa menyapu rata imajinasi warga Jakarta, seperti ketika Jokowi dengan mobil SMK.

 

Pasca Ahok-Jarot

Pasca dukungan PDIP terhadap Ahok-Jarot, pukulan internal dan eksternal akan semakin kencang menghantam Ahok. Belum lagi simbol-simbol minoritas pada Ahok, menjadi alat gebukan yang tak bisa dihindari dalam kultur politik sektarian yang masih lekat di isi kepala masyarakat dan politisi saat ini.

Akseptabilitas Jokowi yang kuat di masyarakat Jakarta pada Pilgub 2012 dan akseptabilitas Ahok yang lemah di Pilgub DKI 2012, memaksa mesin PDIP harus bekerja ektra. Belum lagi munculnya penolakan terhadap Ahok di kantung-kantung suara PDIP yang memaksa PDIP memiliki pekerjaan tambahan merapikan kembali basis suaranya di Jakarta. Terlebih-lebih PDIP yang harus ektra menangkis pukulan bertubi-tubi yang datang menyoal identitas primordial Ahok. PDIP pasca Ahok-Jarot, sungguh bukan pekerjaan yang mudah.

 

    

 

 

Ikuti tulisan menarik Abdul Munir A.S lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler