x

Iklan

marwan mas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Etika Pejabat Negara

Menjaga etika bagi pejabat negara dalam melaksanakan amanah rakyat, merupakan keniscayaan di tengah semakin runtuhnya kepercayaan publik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Etika Pejabat Negara

Oleh Marwan Mas

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

       Objek kajian atau pembahasan etika bertumpu pada “perilaku”. Setiap perilaku manusia senantiasa menampakkan berbagai model pilihan atau keputusan yang masuk dalam standar penilaian. Apakah perilaku itu mengandung kemanfaatan atau kerugian, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Menguji etika seseorang dalam berperilaku, terlebih pejabat negara amat bergantung pada tindakan yang dilakukan itu sesuai dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat.

       Etika juga berfungsi sebagai instrumen untuk mencegah seseorang melakukan perbuatan yang tidak etis, tetapi menurut ukuran dan nilai (value) yang baik. Pejabat negara yang mengemban amanah rakyat memberi label betapa terhormatnya mereka. Tidak gampang meraih predikat terhormat sebagai “pejabat negara” karena selain harus menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, melaksanakan amanah rakyat dengan baik, juga diikat oleh norma etika. Ungkapan tersebut menggambarkan apa yang menimpa Irman Gusman, mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

       Setelah terjerat operasi tertangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jabatannya sebagai ketua DPD diberhentikan oleh Badan Kehormatan DPD. Kenapa diberhentikan? Lantaran dinilai melanggar etika sebagai pejabat negara yang sangat dihargai. Tanpa bermaksud mengabaikan asas praduga tak bersalah karena sedang diproses hukum di KPK, tetapi langkah cepat Badan Kehormatan DPD patut diapresiasi. Anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat harus mampu menjaga perilakunya dari perkataan dan perbuatan tercela.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kredibilitas Institusi

       Salah satu yang ingin ditegakkan DPD adalah menjaga marwah institusi. Sebab status “tersangka” yang disandang Irman Gusman dapat memengaruhi kredibilitas DPD di mata publik. Ketidakpercayaan publik kalau tetap memimpin DPD bisa semakin tergerus di tengah upaya anggota DPD memperjuangkan penguatan kewenangannya dalam perubahan UUD 1945. Padahal, selama ini publik begitu percaya kalau DPD merupakan institusi negara yang tanpa cela, meskipun belum memiliki kewenangan yang setara dengan DPR dalam proses legislasi.

       OTT yang dilakukan KPK dalam kasus dugaan suap impor gula tidak mungkin sepenuhnya dipisahkan dari DPD selaku lembaga negara. Kendati dugaan menerima suap sebesar Rp100 juta dari seorang distributor inpor gula merupakan perbuatan individu, tetapi statusnya sebagai Ketua DPD tidak mungkin lepas begitu saja dari institusi. Ketua DPD berposisi sebagai penyelenggara negara, maka isyarat itulah yang diukur sebagai perbuatan korupsi dalam UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi).

       Status penyelenggara negara atau pejabat negara yang disandang saat diduga menerima suap yang menyebabkan KPK menangkapnya. Sekiranya tidak menyandang penyelenggara negara, maka UU Korupsi tidak berlaku baginya. Maka itu, tidak mungkin dipisahkan sepenuhnya dari eksistensi lembaga DPD meskipun perbuatan itu dilakukan secara individu. Itulah yang membenarkan ketegasan rapat paripurna DPD memberhentikan dari jabatan Ketua DPD untuk menjaga citra dan kredibilitas institusi.      

       Ternyata menyandang jabatan suatu lembaga negara tidak sepenuhnya bebas dari godaan duniawi. Sebetulnya tidak ada kaitan kewenangan anggota atau pimpinan DPD dengan urusan inpor gula. Itulah yang disoal sebagian kalangan, sebab tidak ada kewenangan yang disalahgunakan, tetapi dalam pertemuan itu ada sejumlah uang yang ditemukan KPK. Memang tidak ada kewenangan di situ, tetapi unsur Pasal 12 huruf-a UU Korupsi yang diterapkan KPK adalah “menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”.

       Kewajiban apa yang harus dijaga oleh penyelenggara negara? Setidaknya menjaga etika dan integritas dengan tidak menerima sesuatu yang dapat memengaruhi tugas dan kewajibannya. Ada juga pengamat yang menyebut sebagai upaya “memperdagangkan pengaruh atau trading in influence” atas jabatannya. Artinya, jabatan seseorang bisa dijadikan alat untuk memengaruhi kebijakan pejabat di instusi lain yang bertentangan dengan kewajibannya dengan menerima uang. Itulah yang disebut menerima hadiah (suap) dalam UU Korupsi yang diancam pidana.

Tidak Lagi Steril

       Tidak mungkin lagi disangkal kalau negeri ini betul-betul berada dalam kubangan korupsi. Perilaku korup telah menjalar dari pusat sampai daerah, dari pejabat kelas rendahan sampai pejabat negara berlabel tinggi. Hampir-hampir tidak ada lagi institusi negara yang pejabatnya steril dari penyakit korupsi. Ada oknum anggota DPR, oknum pejabat eksekutif, oknum aparat penegak hukum seperti hakim dan hakim konstitusi, jaksa, polisi, advokat, dan oknum komisioner Komisi Yudisial.

       Jika Ketua DPD ikut terjerat korupsi yang selama ini anggota DPD dinilai bersih dari godaan korupsi, lantas institusi mana lagi rakyat akan menggantungkan kepercayaannya? Tentu sangat banyak penyelenggara negara dan aparat penegak hukum yang bersih dari perilaku korup. Namun, publik biasanya mengacu pada pepatah “nila setetes merusak susu sebelanga”. Dari situlah sebetulnya para penyelenggara negara dan aparat penegak hukum berkaca betapa pentingnya etika dan integritas dalam melaksanakan amanah.

       Seharusnya gelar terhormat pejabat publik dijaga dalam berinteraksi dengan berbagai kepentingan tertentu. Di pundak merekalah direkatkan kehormatan melaksanakan amanah rakyat yang penuh dengan pesan-pesan moral. Harus berani menghindar dari perbuatan tercela, terlebih perilaku korup. Kita tidak ingin perilaku korup menimbulkan persepsi keliru bagi anak-anak muda penerus bangsa gara-gara menganggapnya “sebagai budaya” sehingga ramai-ramai menirunya. Artinya, korupsi disebut membudaya karena telah merambah pada hampir semua  institusi negara dari pusat sampai daerah

       Kita ingin ada paradigma baru pemberantasan korupsi yang berorientasi pada kepentingan bangsa dan rakyat. Tidak boleh membiarkan KPK, kepolisian, dan kejaksaan berjalan sendiri memberantas korupsi, terutama pada upaya pencegahan. Apalagi korupsi tergolong sebagai kejahatan kemanusiaan akibat merampas hak rakyat untuk hidup lebih baik. Sekiranya uang negara yang akan digunakan menyejahterakan rakyat tidak dikorup oleh koruptor, boleh jadi tidak banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Maka itu, korupsi harus diperangi secara bersama dan dilakukan secara luar biasa.(*)

Makassar, 22 September 2016

Ikuti tulisan menarik marwan mas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB