x

Iklan

Gusrowi AHN

Coach & Capacity Building Specialist
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Persaingan Kacamata dalam Pilkada DKI

Tidak hanya politisi dan pendukungnya yang sibuk jualan. Para penjual 'kacamata' juga mendapat berkah di dalam perhelatan Pilkada DKI 2017. Cekidot!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suhu media sosial mulai memanas nih. Apalagi jika bukan karen gempita jelang pilkada serentak tahun 2017. Publik-pun akan kembali dipapar dengan berbagai agitasi, provokasi, cerita-cerita pencitraan, tebaran kebencian, ekspresi dukungan dan perlombaan meraih perhatian publik.

Atas semua hal diatas, saya tertarik mengulik dan memahami: behind the scene tentang apa yang membuat seseorang mendukung kandidat tertentu. Alasan yang melandasi dukungan menjadi lahan eksplorasi yang menarik, khususnya dalam hal sudut pandang yang melandasi pilihan.

Sudut pandang itu seperti “kaca mata”. Pilihan warna kaca mata yang di pakai akan mempengaruhi warna panorama yang akan dilihat. Jika memilih warna biru, maka birulah pemandangan yang dilihat. Jika hitam, maka hitamlah pemandangannya, dan seterusnya. Karena itu, tidak ada yang salah dari sebuah ‘kaca mata’. Demikian juga bagi yang memilih kacamata, apapun pilihan warnanya, harus siap atas efek warna yang akan ditimbulkan pada obyek yang akan dilihat.   

Sejauh pengamatan saya, di setiap perhelatan politik seperti Pilkada DKI, ada banyak warna kacamata yang beredar. Semakian mendekati hari penentuan, warna-warna kaca mata yang dijajakan semakin beragam. Publik pun dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Karena tidak ada kacamata yang bisa “one fits for all’. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Warna kacamata yang pasti muncul dan tidak pernah absen adalah kacamata agama. Ketika agama dijadikan sebagai kacamata, maka ajaran-ajaran agama menjadi nilai dan rujukan dalam menentukan pilihan. Kebaikan apapun yang dimiliki oleh kandidat yang ada, tidak akan pernah menjadi fokus perhatian, selama unsur terkait nilai agama yang diyakini tidak terpenuhi. Rasionalitas menjadi perhatian penting bagi kelompok ini. Namun, itu semua akan mental ketika ada ajaran agama yang mengatakan sebaliknya.

Kacamata lain, tentunya yang berwarna ‘sekuler’. Menganggap politik di luar ranah agama. Pola pikir yang dibangun biasanya mengacu kepada nilai-nilai universal. Tentang integritas, komitmen, konsistensi, prestasi, keberpihakan, moral, kepedulian, kemanusiaan dan sebagainya. Apapun agamanya, tidak menjadi fokus dan perhatian. Rasionalitas menjadi pertimbangan utama, dibanding ujaran dan ajaran agama.  

Manifestasi dari kedua warna kacamata tersebut sangatlah luar biasa. Banyak cerita-cerita perdebatan, ketegangan, permusuhan, perubahan hubungan dari sahabat menjadi musuh, yang disebabkan oleh perbedaan warna kacamata; ketidak-hati-hatian menggunakannya; dan kesalahan memahami aturan pakai kacamata yang dibeli.

Sebelum menentukan warna kacamata yang akan memandu kita memilih, kita musti menyadari adanya kepentingan-kepentingan dari penjual kacamata. Yang jelas, mereka hanya melihat kita sebagai pendulang keuntungan bagi mereka. Ketika kacamata laku keras, jayalah mereka. Kita? bisa jadi masih berkutat dengan tingkah saling ejek dengan orang yang berbeda kacamata dengan kita. Apesnya, tidak ada penjual kacamata yang bisa diminta pertanggungjawaban bukan?.  

Disinilah pentingnya kita berhati-hati dalam menggunakan kacamata yang kita pilih. Saling menghargai dan mengapresiasi pilihan kacamata masing-masing rasanya lebih arif dan bijak dibanding menghabiskan energi untuk saling memprovokasi, mencari-cari kesalahan dan kelemahan. Keragaman warna kacamata yang ada idealnya mendatangkan dinamika sosial-politik yang aman, nyaman dan mendatangkan kedamaian bagi semua. #gusrowi.

Ikuti tulisan menarik Gusrowi AHN lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler