x

PDIP Kunci Pilkada DKI

Iklan

umbu pariangu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pilgub DKI Harus Menginspirasi

Kemunculan dua pasangan terakhir merupakan resultante dari makin sempitnya ruang pencarian politik partai untuk menemukan lawan Ahok

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Layar lebar politik kandidasi Pilgub DKI Jakarta akhirnya menyodorkan tiga pasangan yang akan berlaga di Pilgub 2017, yakni Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang diusung PDIP, Nasdem, Hanura, Golkar; Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang diusung Partai Demokrat, PAN, PPP dan PKB; serta pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang didukung Gerindra dan PKS.

Tiga pasangan ini muncul dari kronologi kandidasi “yang khas”. Ahok-Djarot baru “dikawinkan” di menit-menit terakhir, setelah hasil survei elektabilitas Ahok mampu meyakinkan elite Lenteng Agung. Padahal Mei lalu, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto sempat mengatakan, sulit bagi PDIP mencalonkan Ahok karena ia telah memilih jalur independen. Pasangan Anies-Sandiaga mencuat setelah terjadi reposisi, di mana Sandiaga konon “meminta” Anies menjadi calon gubernur, meski 9 bulan terakhir ia telah mensosialisasikan dirinya sebagai calon gubernur DKI. Yang mengejutkan, munculnya pasangan Agus-Sylviana. Meski nama Agus telah diperbincangkan sejak tiga minggu sebelum dilakukan pertemuan di Cikeas (21/9), namun versi Partai Demokrat, ia alternatif terakhir dari nama lain seperti Yusril Ihza Mahendra, Anies maupun Sandiaga.

Kemunculan dua pasangan terakhir di atas merupakan resultante dari makin sempitnya ruang pencarian politik partai untuk menemukan lawan Ahok. Memang Ahok belakangan seperti masuk dalam labirin politik negatif, teriimpuls oleh persepsi publik yang mengidentikkan kepemimpinannya dengan karakter arogan, kasar, tidak humanis. Bahkan Poltracking Institute (6-9 September) memperlihatkan penurunan elektabilitasnya di bawah 50 persen (36,92 persen). Namun, posisinya masih memimpin calon lain seperti Risma-Sandiaga. Dalam trend kultur politik pemilih, publik memang lebih suka memilih petahana. Pada pilkada 2015 lalu di 9 provinsi dan 264 daerah misalnya, kemenangan justru diborong oleh petahana. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun itu tak berarti peluang penantang Ahok menipis. Faktor determinasi program yang berbeda dan baru dibanding petahana, karakter personal dan kemampuan mengaktivasi modal sosial untuk membangun political trust menjadi amunisi yang bisa digunakan untuk melawan petahana. Jika hal tersebut bisa dikapitalisasi oleh penantang Ahok, proses kompetisi di Pilgub Ibu Kota kelak akan lebih konstruktif dan ugahari. Selain itu, akan mengikis kesan politik oposisional ekstrim dengan epitome “asal bukan Ahok”, karena yang disuguhkan adalah kontestasi ide, program, dan visi kebaruan, bukan pertunjukan mengulik personalitas calon.

Di atas semuanya,rakyat berharap pilgub menjadi sentrum perubahan yang menginspirasi bangunan politik lokal di daerah-daerah dalam mewujudkan nilai-nilai demokrasi yang berbasis kontestasi partisipatif, meritokratis dan rasional. Pertanyaannya, mungkinkah Pilgub DKI menjadi panggung populis, di mana rakyat benar-benar menjadi tuan rumah pesta politik. Di sinilah persoalannya.

Pertama, dalam proses penentuan kandidat di Pilgub DKI kemarin, sosok Megawati, SBY dan Prabowo harus diakui merupakan tokoh sentral, pemegang veto politik di balik munculnya Trio A (Ahok, Anies dan Agus). Sedangkan suara akar rumput belum mendapat tempat dalam proses penentuan pemimpin. Faktor kalkulasi politis, popularitas maupun ekonomi kerap menjadi alat kalkulasi partai dalam menentukan kandidat. Konsep dari konvensi Montevideo tahun 1923 bahwa (suara) rakyat merupakan salah satu dari dari faktor konstitusi negara, belum terlihat di Pilgub DKI. Ini makin meneguhkan tesis Gaetano Mosca (1858-1941) bahwa demokrasi identik dengan demokrasi elitis, di mana suara merekalah penentu pelaksanaan pemerintahan, sedangkan rakyat sendiri terbatas dalam hal memiliki dan menjalankan kekuasaan.

Kedua, proses pemunculan pasangan calon kepala daerah DKI kemarin sepertinya “terburu-buru” sehingga minim ruang deliberasi politik yang aspiratif dalam menyeleksi kandidat. Memang di satu sisi merekrut kader potensial di luar partai tidak sepenuhnya disalahkan, namun mengingat filosofi lahirnya partai antara lain sebagai mesin kaderisasi, pola tersebut membuat regenerasi di tubuh parpol tersendat karena terlalu bergantung pada kader-kader luar partai yang tingkat loyalitasnya terhadap ideologi partai diragukan. Padahal Han Feizi (280-233 SM), pemikir politik Tiongkok kuno mengatakan bahwa setiap generasi menghendaki pemecahan masalah yang sesuai dengan kebutuhan (rakyat)nya.

Ketiga, tidak beraninya parpol mengusung kadernya sendiri kemungkinan karena efek Golkar di Pilkada 2015 lalu. Meskipun Golkar menjadi partai yang terbanyak mengusung kadernya, namun partai ini mengalami kekalahan dramatis di pilkada baik di jawa maupun di luar jawa. Banyak yang menduga, karena Golkar kurang siap mengusung kadernya. Padahal karena konflik kepengurusan di internal Golkar yang membuat lahir friksi dan dualisme loyalitas.  

Intinya, proses Pilgub DKI harus dikawal penuh oleh rakyat sehingga rasionalitas demokrasi tidak terus diborong oleh kekuatan politik dominan yang kerap mudah tergoda jalan pintas dan uang, sebab menurut Juergen Habermas, kekuasaan bisa didemokratiskan, tetapi uang tidak bisa (dalam Kusumohamidjojo, 2015).

 

Oleh: Umbu TW Pariangu

Dosen FISIPOL Undana, Kupang

Ikuti tulisan menarik umbu pariangu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB