x

Iklan

Muhammad Rois Rinaldi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nuansa Sufistik dalam Rengginang Sayang

Membaca kumpulan puisi bertajuk Rengginang Sayang karya Betet Qordowi (Mang Yayat Al-kublesy) adalah membaca kegelisahan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Oleh Muhammad Rois Rinaldi

I/

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Membaca kumpulan puisi bertajuk Rengginang Sayang karya Betet Qordowi (Mang Yayat Al-kublesy) adalah membaca kegelisahan yang mempertanyakan eksistensi diri dalam pusaran dimensi ruang dan waktu. Setidaknya hal tersebut digambarkan melalui beberapa puisi, di antaranya dalam “Sekian % Rindu” dan “Fana”. Ada juga pernyataan ke-aku-an yang begitu kuat di dalam “Aku Ada”. Pernyataan tegas yang sesungguhnya hendak menunjukkan kesadaran ihwal penciptaan makhluk (baca: manusia) di antara keberadaan dan ketiadaan serta keabadian dan kefanaan. Selain itu, Rengginang Sayang adalah kumpulan puisi yang menyuguhkan hasil dari pembacaan penyair terhadap semesta batin, sebagaimana digambarkan dalam “Gaibnya Sepi”.

Dari pergerakan tema-tema yang diangkat serta memperhatikan titimangsa masing-masing puisinya, baik yang tampak profan maupun yang transenden, dapat ditilik proses penciptaannya. Ada perubahan-perubahan tema yang signifikan dari waktu ke waktu. Begitu pula pada pola pembentukan bait, enjabemen, tingkat kecanggihan berbahasa, kemampuan dalam memperdalam makna, serta hal-hal teknis dan non-teknis lainnya. Ini menunjukkan betapa manusia (yang sehat), termasuk penyair (yang sehat), senantiasa menjalani proses dan proses, lazimnya, linier dengan progres.

Proses dan progres seorang penyair sangat ditentukan oleh perjalanan yang ia lakukan. Perjalanan yang saya maksud adalah perjalanan badaniah dan rohaniah. Perjalanan badaniah dan rohaniah ini sengaja dibedakan, meski melihat manusia secara utuh tidak dapat memisahkan badan dan rohnnya. Karena perjalanan badan berarti akan selalu berkaitan dengan perpindahan tempat sedangkan perjalanan batin tidak selalu berkaitan dengan perpindahan tempat.

Oleh karenanya, puisi yang didasarkan pada pengalaman badaniah (saja) akan tampak kosong hilang isi. Tidak lebih dari sekadar potret-potret mati yang tidak memberikan kesan. Tidak lebih dari kerangka-kerangka yang hanya menunjukkan bentuk, tidak menunjukkan kehidupan. Lain hal jika puisi diciptkan dari perjalanan badaniah yang searah dengan perjalanan batiniah, ia akan melampaui hal-hal yang ditangkap oleh indra manusia. Misalkan menjadikan dada sebagai goa pertapaan sebagaimana dalam puisi “Goa Dada”.

kubolakbalik pandang dari timur ke barat

juga sebaliknya

ke seletan setelah ke utara dan seperti itu pula

dari bawah ke atas lantas ke tengah dada

ternyata hanya pada dada aku terpana

persetan dengan buaian-bualan ribuan igauan

kubusungkan dadaku tidak untuk angkuhku

aku hanya ingin mengaku bukan untuk diakui

inilah dadaku yang menjadi goaku

di setiap letih-perihku

Dalam naskah-naskah yang berisi kisah atau cerita masa lalu, baik naskah Islam, Kejawen, Hindu, Budha, maupun agama atau keyakinan lainnya, ada (untuk tidak mengatakan banyak) yang menuturkan tentang pertapaan. Tujuannya secara umum sama, dikaitkan dengan kebatinan. Akan tetapi, istilah, pengertian, dan prakteknya berbeda-beda. Pertapaan biasanya berkaitan dengan dimensi ruang. Ruang pertapaan sangat identik dengan goa (gua). Tetapi, Betet berusaha meniadakan ruang. Ihwal simbol dada, sekilas baca kita akan menilai sebagai ruang juga.

Meski dada dan goa sama-sama ruang, ianya sudah berbeda makna. Karena “dada” dalam teks ini bermakna konotatif. Ada konsep peniadaan ruang yang ditunjukkan melalui pencarian dari ruang menuju ruang, hingga akhirnya menafikan ruang. Peniadaan ruang dapat dilakukan karena menghadirkan simbol “dada” sebagai “yang tidak terhitung sebagai ruang”. Logika sederhananya, dalam matematika kita sudah sangat hafal dengan bilangan tidak terhingga. Bilangan tidak terhingga adalah bilangan yang tidak menunjukkan adanya angka.

Selain itu ditemukan upaya untuk keluar dari sifat-sifat kemanusiaan—yang bagi kalangan tasawuf sebagai sebuah kekeliruan—agar memudahkan diri menemukan diri yang sesungguhnya. Orang umum menyebut mengenali diri sendiri. Lebih jauh, perkenalan dengan diri sendiri adalah proses yang perlu ditempuh untuk sampai pada Sang Khalik. Karena dalam diri manusia, baik lahir maupun batin, menyimpan tanda-tanda yang tidak terhitung. Tanda-tanda itu harus dikenali, diidentifikasi, didalami, dipahami, dan dihayati.

II/

Penyair yang merupakan garda pemuda Al-Khairiyah ini, sepertinya, sudah menemukan panggonan dan pegangan bagi setiap gejolak di dalam dirinya. Sehingga puisi-puisinya—di luar teknis kepenulisan karena di luar pembahasan—terlihat tenang, terukur, dan matang. Ketenangan, keterukuran, serta kematangan pula dapat ditemukan dalam puisi “Sadari”.

tetapi hiruk-pikuk dunia adalah kenyataan hidup

seumpama malam bertabur bintang dalam galaksinya

maka berhentilah menyiksa diri dengan keriuhan hati

sebab kesemerawutan gemintang indah dalam tenang

ada orbit menata surya jika saja mata tak membuta

ada takdir menata dada jika saja pikir terbuka

juga maka menarilah dalam sadar di penjara

Larik pertama dan kedua adalah rentetan pandangan tentang kenyataan atau fakta hidup dalam kefanaannya (dunia). Maksud kenyataan di sini adalah hal yang sungguh ada (bukan sesungguhnya ada); berbentuk konkret dapat ditangkap pancaindera; dan dapat diakui kebenarannya (Gazalba dalam Sofyan, 2010:425). Dapat pula dimaknai sebagai kenyataan yang subjektif. Di mana kenyataan tidak dapat diakui manusia pada umumnya, karena berpijak pada pandangan-pandangan serta konsep-konsep pribadi.

Pada larik ketiga, “keriuhan hati” adalah gambaran dari kurangnya penerimaan seorang manusia terhadap hidupnya. Kurang ridho terhadap kenyataan bahwa hidup di dunia (fana) memiliki konsekuensi yang sederhana, serba tidak kekal. Penderitaan, kebahagiaan, kemiskinan, kecantikan, dan sebagainya adalah yang disifati rusak seiring berjalannya waktu. Oleh karenanya, betapa merugi disiksa oleh kenyataan hidup yang fana, sementara ada kehidupan yang kekal setelahnya.

Khusus larik keempat, ianya dihadirkan untuk perbandingan atau bahan renung manusia (pembaca). Bahwa bintang (yang) semrawut (dilihat dari kejauhan, karena pada dasarnya bintang-bintang telah ditata dengan sempurna oleh pencipta) tampak indah dan tenang, bahkan memesona seluruh penghuni bumi. Maka secara tidak langsung puisi ini hendak berkata bahwa manusia harus mampu menikmati hidupnya, termasuk menikmati setiap penderitaan atau cobaan yang ada.

Larik kelima dan keenam sebenarnya masih menempati fungsi yang sama, perbandingan-perbandingan. Kehadirannya disengaja untuk menekankan atau menguatkan pesan yang hendak disampaikan. Pola seperti ini kadang diperlukan, kadang tidak. Kadang dapat menguatkan dan kadang dapat melemahkan puisi. Jika tidak hati-hati menentukan porsi yang proporsional, dapat merusak puisi. Dalam kaitannya, pada puisi ini, penekanan memang diperlukan dan hasilnya memang memperkuat teks dan makna puisi.

Kemudian larik ketujuh hadir dengan fungsi yang berbeda. Ianya adalah paradoks yang harus diurai kembali maksudnya. Menari di dalam penjara tidak dapat diterima akal. Karena menari lazimnya sebagai bentuk kegembiraan, kebebasan, atau kemerdekaan. Sifatnya berlawanan dengan penjara yang identik dengan pengekangan dan keterkungkungan. Jika digabung maknanya menjadi menari dalam keterkungkungan atau penderitaan. Lebih rumit lagi menemukan garis hijau antara kemerdekaan dan penjara. Kemerdekaan semacam apa?

Kemerdekaan yang dimaksud dalam puisi ini, terutama larik ketujuh, adalah kesadaran akan adanya aturan-aturan yang mengikat manusia semenjak dilahirkan di dunia. Lebih sederhananya, larik ketujuh hendak menuturkan bahwa aturan-aturan yang datang dari Tuhan tidak dapat dilawan. Ia harus diterima dan dijalankan sepenuh hati. Semakin melawan atas nama kemerdekaan akan semakin terpenjara di dalam kerangkeng napsunya keinginan itu. Semakin kuat menolak kenyataan, akan semakin tersiksa oleh ilusi-ilusi yang diciptakan dalam pikiran dan jiwa sendiri. Semakin bersikeras memberontak keyakinan tentang adanya yang tidak tersentuh dalam Ke-Mahagaib-an, akan semakin terjerat dalam perbudakan akal manusia yang terbatas.

Konsep-konsep penerimaan dalam “Sadari” ini kurang lebih sejalan dengan konsep-konsep yang ditulis oleh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam: “Di antara tanda keberhasilan pada akhir perjuangan adalah berserah diri kepada Allah semenjak permulaan”.

III/

Di dalam Rengginang Sayang cukup banyak puisi yang menggunakan tamsil-tamsil atau perumpanaan-perumpamaan yang menyerap dari hadist Rasulullah, Al-Qur’an, sejarah Islam, dan kitab-kitab klasik (kitab kuning). Bahkan sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Hamzah Fansuri di dalam syair-syair Melayu-nya, pada beberapa puisi Betet dengan sengaja tidak menghadirkan padanan kata untuk istilah-istilah berbahasa Arab, di antaranya dalam puisi “Samsara Cinta”.

Dengan demikian tidak berlebihan jika kumpulan puisi dengan tajuk ringan ini dinilai sebagai kumpulan puisi yang bernuansa sufistik, meski tidak semua puisi bermuatan sama. Ini menandakan kesediaan atau kesadaran Betet Qordowi untuk melanggengkan warisan Islam yang adiluhung sekaligus menghadirkan kembali khazanah intelektual Islam yang kental dengan puisi. Terlebih di era sastra siber ini, selepas Emha Ainun Najib, Abduh Hadi W.M, Danarto, Kuntowidjoyo, puisi-puisi sufistik atau kesufian mulai jarang disentuh dengan sungguh-sungguh.

Demikianlah kiranya yang dapat saya paparkan sebagai pengantar Rengginang Sayang. Selebihnya, saya serahkan kepada segenap pembaca untuk menelusuri setiap lekuk puisi Betet Qordowi. Barangkali pembaca dapat menemukan nuansa-nuansa yang lain serta getaran-getaran yang berbeda. Ada beberapa puisi Jawa Banten yang diselipkan di dalam buku ini.

Selamat membaca!

Muhammad Rois Rinaldi, Presiden Lentera Internasional.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Rois Rinaldi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu