x

Iklan

Muhammad Rois Rinaldi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kecenderungan Sajak-sajak Hamizun Syah

Apabila saya memperhatikan, mencermati, dan memberi catatan bagi sajak-sajak yang diciptakan penyair Malaysia masa kini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(SEKILAS ANALISA UNTUK BUKU MASUK KE DALAM)
 
Oleh Muhammad Rois Rinaldi

 

***

pada sunyi – pada risau

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

memancing sebutir petanda keabdian.

 

Laman itu, cerah bulan berkembang

bayang tanah menyuluh pulang

moga siang, matahari masih terang.

 

(Hamizun Syah, Sebutir Bulan Berkembang)

 

Apabila saya memperhatikan, mencermati, dan memberi catatan bagi sajak-sajak yang diciptakan penyair Malaysia masa kini, saya menemukan pergeseran bentuk sajak. Mulanya sajak-sajak di Malaysia didominasi oleh sajak-sajak lirik dengan “ke-aku-an” yang begitu kentara serta pemilihan kata yang cenderung padat dan begitu mementingkan bentuk, kini beralih menjadi naratif. Rupanya demikian pula ketika saya mencermati kumpulan sajak Hamizun Syah, penyair Malaysia yang mulai menunjukkan itikad baiknya terhadap dunia kesusastraan dan proses penciptaan karya sastra. Dalam kumpulan sajak yang ia beri tajuk Masuk ke Dalam tampak sifat-sifat naratifnya. Meski demikian, yang paling dominan ternyata sajak-sajak lirik yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya. Semisal sajak berikut ini:

 

TUNGGU AKU DI LANGIT

 

aku hanya tahu menggolek tayar juang

merentas ceruk cerita penuh calar

kurang bijak memastikan bunga bahasa

berbentuk sekeping nota syahdu

merayu ke sukma sepimu.

jauh di langit ragu, kau sudi berkerdip

belum tentu setia menunggu.

 

aku, penggelek sajak-sajak lecah suara manusia.

 

pun begitu, aku siap siaga sebagai wiramu

bukan selaku perampas – malah bertambah seri

ke rindu bulan, bakal menjadi tempat beradu.

 

mulai hari ini, aku mesti gigih belajar mencorak

madah secukup manja, moga kau pun akur

tentang risau tersimpan di mata dan di hatiku

 

 

Selain bentuknya yang lirik, sajak “Tunggu Aku di Langit”, dilihat dari gaya ucap dan semangat ideologinya, juga mengingatkan saya pada sajak Chairil Anwar, penyair legendaris Indonesia, bertajuk “Aku”:

 

AKU

 

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

 

Tak perlu sedu sedan itu

 

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

 

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

 

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

 

Hingga hilang pedih peri

 

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

 

 

Ada suara yang meradang dan menerjang; keakuan yang begitu kental dan perspektif aku yang seolah tidak dapat ditawar lagi; tawaran sebuah pandangan dan ketegasan menunjukkan sikap di tengah sikap lain yang berseberangan adalah “nilai” yang hendak ditawarkan Hamizun sebagaimana yang ditawarkan Chairil—pada kesempatan ini saya tidak membicarakan kemampuan teknis, karena Chairil tentu sudah memiliki teknis yang teramat matang. Perbedaannya, Chairil benar-benar meradang hingga berdarah-darah dan menerjang hingga pertarungan habis-habisan, sedangkan Hamizun memilih menyampaikan dengan nada rendah dan volume yang riuh redam. Barangkali kesadaran mengenai esensi perspektif manusia yang tidak mutlak (nisbi) sebagaimana yang digambarkan dalam larik: “kurang bijak memastikan bunga bahasa” menjadi landasannya.

Perspektif yang merupakan hasil dari penyerapan berbagai dimensi, katakanlah 3 dimensi ruang+dimensi waktu (ala Albert Einstein) dan + dimensi 5 yang diduga ada dan hadir tapi tak tampak atau metafisik, yang menahan Hamizun untuk tampil lebih heroik. Malah, ia lebih memasrahkan kemungkinan meski tidak memasrahkan sikap sebagaimana digambarkan pada dua larik berikut ini: “mulai hari ini, aku mesti gigih belajar mencorak/madah secukup manja, moga kau pun akur”. Sebuah harapan yang pada akhirnya dikembalikan kepada “kau” lirik (“kau” lirik adalah tokoh dalam sajak yang berhadapan dengan “aku” lirik, tokoh aku dalam sajak).

 

Pada umumnya, sajak-sajak lirik cenderung disiplin menerapkan rima akhir, seperti rima pantun, tapi Hamizun rupanya memilih untuk tidak mendisiplinkan rima akhir dalam sajaknya. Ini saya sebut sebagai pilihan dan setiap pilihan selalu layak dihormati dan diapresiasi secukupnya. Meski tidak mendisiplinkan rima akhir, tidaklah perlu mengkhawatirkan sajak-sajak Masuk ke Dalam kehilangan musikalitasnya. Karena bagaimanapun, sajak tetap menawarkan musikalitas, sekali pun sajak bebas. Bahkan pada sajak “Tak Perlu Melaung Lagi”, ada yang menarik untuk diperhatikan dengan seksama.

 

 

Andai arif, apa itu ‘sayang’

sedar selalu

kesetiaan tak punya bayang.

 

Tak perlu sebarang laungan

cukup aku seorang yang tahu

Kau, sentiasa tak sesaat pun berpaling.

 

Pada penggalan sajak di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia telah memainkan rima akhir pada bait awal, kemudian terjadi pergeseran mencolok pada bait berikutnya. Penyebab pergeserannya dimungkinkan pada 3 (tiga) hal. Pertama, kesengajaan yang dilandasi oleh pilihan untuk tidak mementingkan rima akhir. Kedua, usaha untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa sajak tidak harus berima akhir. Ketiga, ketidaksadaran penyair terhadap pergeseran nada dalam sajaknya. Dari ketiga kemungkinan yang dipaparkan, saya lebih mempercayai Hamizun telah melakukannya dengan sengaja.

 

Selain itu, Hamizun juga tidak melakukan eksperimen enjabemen, sebagaimana yang, pada abad 21 ini, begitu genjar dilakukan penyair-penyair Indonesia. Enjabemen adalah tata kalimat dari akhir baris di atasnya ke awal baris berikutnya. Di dalam puisi/sajak, enjambemen diartikan sebagai larik sambung, larik yang secara sintaksis melompat, bersambung ke larik berikutnya. Yang dimaksud eksperimen enjabemen adalah pemenggalan yang tidak lazim, kadang satu larik yang kalimatnya tidak selesai dipenggal begitu saja oleh penyairnya dengan tujuan menguatkan musikalitas, pemaknaan, atau tujuan-tujuan estetik lainnya. Misalnya pada penggalan sajak “Dan Kematin Makin Akrab” karya Subagio Sastrowardoyo berikut ini.

 

 

Kita selalu

berada di daerah perbatasan

antara menang dan mati. Tak boleh lagi

ada kebimbangan memilih keputusan :

Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.

Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,

Juga kehormatan bagi manusia

dan keturunan. Atau kita menyerah saja

kepada kehinaan dan hidup tak berarti.

 

 

Berbeda dengan sajak-sajak Hamizun yang lebih memilih lurus-lurus saja, misalnya enjabemen sajak “Semalaman di Malam Nanti” ini:

 

Malam nanti, sekujur syukur rebah, di musala rindu.

Malam nanti, risau doa merangkak, menyelak suhuf diri.

Dan; Malam nanti,

kerdip istighfar, jangan sekelip pejam pun terpadam

meski sekian semalaman, telah pun tertumpas.

 

Tetapi perlu diketahui, eksperimen enjabemen bukanlah kewajiban yang harus diterapkan semua penyair, itu hanya pilihan yang boleh diambil dan boleh ditinggalkan.

 

Mengenai penyimpangan, penyimpangan yang dilakukan oleh Hamizun ada pada penggunaan huruf kapital setelah titik (.) atau tanda baca lain yang mengharuskan menggunakan huruf kapital dalam penggunaan bahasa yang baku, misalkan pada sajak “Di Mana Suara Air dan Mas”

 

barangkali belum melukut alpa ke gigil suara air dan mas

meraba tanya ke warna dan nama sang hijau berpelepah

sujud dalam mihrab ruhul kuddus. salam; saudara.

 

salam saudara? saudara sayakah itu, setia tak rela tirani

mata maghrifah, ketika merak majnun satu lagi muncul

mengepak sayap brahma melewati lapangan injil

tanpa manjur nama dan mungkas warna, biru tersembunyi.

 

 

Penyimpangan penggunaan bahasa yang dilakukan penyair sudah menjadi barang lazim. Meski bagi kaum strukturalis penyimpangan bahasa merupakan dosa besar, tapi pada kenyataannya, penyimpangan bahasa masih menjadi pilihan untuk sampai pada tingkatan estetik tertentu. Seperti apa capaian estetik yang hendak diciptakan oleh penyair, tentu saja berbeda-beda.

 

II

Selanjutnya mari membaca kecenderungan lain dalam sajak-sajak Hamizun. Pada beberapa sajak, Hamizun menunjukkan kecenderungannya pada sajak naratif yang lebih bertutur, memiliki tegangan-tegangan setting baik ruang, waktu, maupun suasana, serta tokoh dan penokohan dalam rangkaian peristiwa yang menciptakan suatu kisah demi menyampaikan amanat dan motif ideologis lainnya. Perhatikan sajak “Semenanjung Sejarah Emak”.

 

 

emak bertahan teguh, enggan membunuh sejarah

lima tahun usia anak pertama terseret bersama

luka-luka penceraian berbekas siksa seluruh sukma.

 

dari hujung semenanjung tanpa bergelar isteri

menggalas selaksa beban amat berat

ke utara tanah tumpah bersabung untung.

 

emak mengharung segala, enggan menghina sejarah

beberapa kali bernikah, bukan rungutan tak penting

ada yang lebih wajip untuk anak-anak mengerti.

 

 

 

Pada sajak tersebut, Hamizun menghadirkan tokoh “Emak” sebagai tokoh utama yang harus menghadapi keadaan yang teramat berat bagi perempuan mana pun di muka bumi ini, yakni perceraian. Mengenai pilihan untuk menikah yang bukan semata rungutan atau kehendak pribadi yang egois, melainkan karena hal lain yang lebih penting yang harus dimengerti oleh anak-anaknya. Nah, apa yang perlu dimengerti rupanya tidak ditulis. Mungkin ini disengaja agar pembaca menerka sendiri, nilai apa yang dapat diambil dari tokoh “Emak”, lengkap dengan tegangan, pergulatan, dan pilihan-pilihan yang harus diambil di tengah keadaan yang teramat sulit. Sajak ini boleh juga saya anggap sebagai sajak yang cukup baik. Pada bait terakhir saja yang saya tidak paham fungsi kehadirannya dan saya serahkan kepada segenap pembaca untuk memaknainya: “emak! terima kasih tak terhingga/ampunkan kami, begitu bersalah dan sering lupa/bermusim dikau, memikul tanggungan abah.”.

 

Sajak “Perlimau” di bawah ini juga dapat menjadi rujukan untuk membaca kecenderungan Hamizun Syah pada bentuk-bentuk sajak naratif.

 

Ayah! Tanah ini pusaka nenek moyangkah?

Sahih!

Telah memperlimau jiwa para wira

*Tok Janggut – Mat Kilau – Tok Bahaman*

Ramai pendekar Melayu tak mudah goyah

darah sekaligus nyawa menjadi taruhan

perhitungan hidup-mati. ~Nyah!~

Sang penjajah, usah memeras menindas

nafas peribumi.

Mereka berdoa: “Ya!Tuhan, bahagiakan

cucu-cicit sentiasa selesa bertauhid.”

 

 

Mengapa Hamizun memasuki wilayah naratif juga, padahal ia menulis sajak dalam bentuk lirik? Ini yang saya sebut sebagai usaha pencarian bentuk. Sebuah proses pastinya menghadirkan banyak pilihan, dan pada saat ini Hamizun memilih bentuk lirik dan naratif.

 

Demikian kiranya sekilas analisa mengenai bentuk-bentuk sajak dalam Masuk ke Dalam karya Hamizun Syah. Saya harap Hamizun tidak lelah untuk terus berproses, bergerak, dan mewarnai dunia kesusastraan di Malaysia. Bagaimanapun, sastra memang layak dijadikan jalan keempat untuk menemukan kebenaran, setelah agama, sains, dan filsafat.

 

Banten, Indonesia, Januari 2016

 

Muhammad Rois Rinaldi, penyair yang telah menerima berbagai penghargaan sastra tingkat Internasional, di antaranya Anugerah Puisi Dunia (Nusantara Melayu Raya, 2014), Anugerah Penyair Siber (E-Sastra Malaysia, 2014 & 2015). Bukunya yang bertajuk Sastracyber: Makna dan Tanda menjadi buku terbaik 2005-2015 di Malaysia (E-Sastera Malaysia, 2015). Dapat dihubungi melalui email: rois.rinaldi.muhammad@gmail.com.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Rois Rinaldi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu