x

PEMILIHAN GUBERNUR JAKARTA

Iklan

Ikhsan Darmawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membangun Jakarta Minus Konsep

Artikel ini menguraikan mengenai bagaimana pembangunan Jakarta dalam hal transportasi dan infrastruktur tidak sesuai konsep yang jelas dan benar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penulis tahun lalu terlibat dalam sebuah riset tentang sistem transportasi publik terintegrasi di Jakarta. Riset tersebut didanai oleh dana hibah kampus tempat penulis mengabdi.

Salah satu temuan penting hasil riset adalah bahwa kepala daerah inkumben tidak memiliki konsep yang jelas dan benar dalam membangun transportasi publik terintegrasi. Praktik implementasi kebijakan transportasi publik yang terlihat selama ini seperti berjalan sendiri.

Padahal, seharusnya pembangunan yang baik dipayungi oleh sebuah konsep yang mengarahkan bagaimana semestinya kebijakan dijalankan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut Yiu Kwok Kin Antonio (2005), transportasi publik terintegrasi dapat didefinisikan sebagai transportasi yang menyediakan perjalanan kepada penumpang dengan memberi koneksi pelayanan yang baik, waktu tunggu untuk pergantian moda yang reasonable, informasi yang komprehensif, dan tiket yang terintegrasi antar moda transportasi berbeda. Hemat kata, sistem transportasi publik terintegrasi wajib sifatnya menyediakan perjalanan yang terintegrasi menggunakan seluruh moda transportasi publik sehingga cocok dengan rute seluruh penumpang.

Dalam berbagai kesempatan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menekankan bahwa untuk mengatasi kemacetan Jakarta, sistem transportasi publik terintegrasi diwujudkan dengan cara menambah jumlah bus Transjakarta.

Pertanyaannya, apakah kebijakan Transjakarta itu sejalan dengan konsep transportasi publik terintegrasi? Penulis masih belum yakin dengan hal itu.

Dengan menggebu-gebu dan terburu-buru, Ahok telah menjalankan kebijakan pembukaan 17 trayek baru Transjakarta di tahun ini. Persoalannya, transportasi publik terintegasi bukan sekedar kuantitas. Aspek kualitas juga perlu menjadi pertimbangan.

Kualitas itu, seperti disebutkan Antonio, antara lain apakah memudahkan perpindahan antar moda, berapa lama waktu tunggu, informasi yang komprehensif, serta tiket yang terintegrasi antar moda.

Secara kasat mata, perpindahan antar moda di titik tertentu ada yang relatif memudahkan, tapi tidak mempertimbangkan aspek lainnya untuk memudahkan itu.

Sebagai contoh, pada Transjakarta rute Palmerah-Sudirman tempat bus di dekat Stasiun Palmerah ditempatkan di badan jalan. Padahal, sebelum ada Transjakarta, jalan di sebelah Stasiun Palmerah sudah macet. Apalagi dengan ditambah adanya bus Transjakarta di situ, sehari-hari jalanan di situ semakin tidak dapat lepas dari kemacetan.

Selanjutnya, untuk waktu tunggu dan informasi yang komprehensif, penulis belum memiliki data spesifik soal hal itu. Namun, berdasarkan pengamatan lapangan pada dua rute, yaitu Depok-Cawang dan Palmerah-Sudirman seringkali terlihat sepi. Ini boleh jadi ada kaitannya dengan soal waktu tunggu dan kurang terinformasinya secara menyeluruh mengenai rute-rute baru Transjakarta ini.

Berikutnya, mengenai tiket yang terintegrasi antar moda masih bersifat terbatas dan bahkan cenderung tidak diusahakan untuk dapat terintegrasi. Sejak awal diterapkan e-ticketing di Transjakarta, kartu yang bisa dipakai hanya Flazz BCA. Pertanyaan-pertanyaannya ialah: Mengapa tidak bisa seperti di Beijing di mana satu kartu bisa dipakai di moda transportasi bus, kereta, dan moda transportasi lain? Mengapa sampai saat ini, untuk Transjakarta belum juga dikoneksikan dengan tiket berlangganan kereta api Commuterline?

Selain di pembangunan transportasi publik, pembangunan minus konsep terlihat pada kegiatan penggusuran di sejumlah wilayah di Jakarta. Secara konseptual, pembangunan ditujukan untuk memberikan kesejahteraan untuk seluruh warganya. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam kasus penggusuran yang terus terjadi.

Penulis menangkap maksud dari Gubernur DKI Jakarta melakukan penggusuran adalah untuk membuat Jakarta seperti Singapura. Dengan demikian, pembangunan diartikan olehnya sebagai perwujudan dari modernitas semata.

Pertanyaannya, apakah infrastruktur modern seperti Singapura merupakan kebutuhan dan untuk mensejahterakan (baca: membahagiakan) mayoritas masyarakat Jakarta? Sayangnya, hal itu tidak pernah ditanyakan kepada publik. Seakan-akan imajinasi bagaimana sebaiknya pembangunan diwujudkan adalah hak mutlak dari gubernur semata.

Selama ini Singapura di satu sisi memang membanggakan pembangunan infrastruktur, di sisi lain berhadapan dengan kondisi di mana tingkat dan jumlah bunuh diri warganya relatif tinggi. Menurut Menteri Pembangunan Sosial dan Keluarga Singapura, Tan Chuan-Jin, selama kurun 2010-2014, di Singapura rata-rata setiap tahunnya ada 400 kasus bunuh diri dan 1000 kasus percobaan bunuh diri. Sangat mungkin hal itu berkaitan dengan pembangunan di Singapura yang selama ini lebih cenderung berorientasi kepada infrastruktur daripada kebahagiaan manusia.

Seakan sejalan dengan itu, dalam kasus penggusuran di Jakarta, Ahok hanya berambisi membangun infrastruktur dengan cara melakukan penggusuran, tapi tidak memikirkan bagaimana dengan manusianya. Kita bisa melihat setidaknya setelah masyarakat yang digusur dipindahkan ke rumah-rumah susun, banyak yang tidak sanggup membayar iuran bulanan. Artinya, kebijakan penggusuran itu bermasalah. Belum lagi, masyarakat itu terpaksa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya dan mencari penghidupan yang baru.

 

*) Penulis adalah dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Dimuat di Koran Tempo, 1 November 2016

Ikuti tulisan menarik Ikhsan Darmawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu