x

ahok2

Iklan

Iqbal Arif Siregar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Di Balik Kasus Ahok

Penulis merupakan Peneliti di Study Center Laboratorium of Politics, Universitas Andalas

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di Balik Kasus Ahok

Oleh : Iqbal Arif Siregar

Peneliti di Study Center Laboratorium of Politics, Universitas Andalas

 

Mencuatnya kisruh mengenai penistaan agama yang membawa nama BTP, menuai banyak respon dari masyarakat, khususnya masyarakat muslim di Indonesia. Aksi damai pada 4/11 kemaren menjadi buktinya, bahwasanya persoalan itu bukan persoalan kecil. Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan unsur SARA, dapat mempengaruhi stabilitas nasional.

Ancaman Nasional

Akan tetapi, kita sebagai masyarakat Indonesia tidak bisa begitu saja luput dari persoalan-persoalan lainnya, seperti persoalan daerah rawan konflik, misalnya di wilayah perbatasan. Indikasi adanya konflik perbatasan di negara kita dengan beberapa negara yang bersangkutan seperti Cina dan Australia dikuatkan oleh pernyataan panglima TNI beberapa hari yang lalu dilansir oleh RiauBook (11/11). Dikatakan panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo “saat ini semua pihak harap mewaspadai potensi ancaman yang muncul diwilayah perbatasan Indonesia. Saat ini ada dua wilayah perbatasan yang memiliki potensi ancaman dari negara luar, yakni Laut Cina Selatan dan perbatasan dengan Australia disekitar pulau Masela”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pulau Masela merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang jaraknya hanya 475 Km dari Darwin, Australia. Di Pulau Masela, terdapat sebuah blok yang menyimpan kekayaan minyak yang luar biasa. Daerah tersebut menjadi perebutan antara Indonesia-Australia, jika blok tersebut dikuasai oleh pihak Darwin (Australia), maka dapat dikatakan kita mengalami kerugian yang sangat besar, karena satu wilayah dengan kekayaan minyak yang luar biasa tersebut tidak lagi milik Indonesia.

Sementara itu, di Darwin pihak Australia meningkatkan kekuatan marinirnya dengan mendatangkan personel dari negara sekutu (USA). Saat ini, ada 1.500 marinir USA dan akan ditingkatkan menjadi 2.500. “Australia sedang membangun kapal pendarat, hal ini patut diwaspadai” ujar Gatot (panglima TNI) di Universitas Trisakti, Jakarta Barat, Jumat (11/11).

Potensi ancaman lain, berasal dari wilayah Laut Cina Selatan. Cina saat ini tengah memberlakukan zona pertahanan udara di wilayah itu. Kebijakan tersebut dapat menimbulkan konflik di negara-negara sekitar. Tak hanya memberlakukan zona pertahanan udara, Cina juga memberlakukan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah perairan sekitar Natuna. ZEE merupakan wilayah negara pantai yang mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Beberapa waktu yang lalu, ada nelayan Cina sedang mencari ikan dengan dikawal oleh kapal penjaga pantai. Dengan demikian secara tersirat, Cina menganggap wilayah perairan Natuna tersebut bagian dari wilayahnya.

Postur Nasional

Namun dalam beberapa bulan ini, Indonesia telah memperkuat kehadiran militernya di Natuna, sebuah pulau yang kaya akan gas alam. Natuna menjadi wilayah yang statusnya tumpang tindih antara Indonesia dengan China. Para pengamat mengatakan langkah Indonesia ini merupakan tanggapan terhadap apa yang diaggap sebagai "ancaman Cina" terhadap kedaulatan Indonesia di pulau ini, yang cepat atau lambat akan berdampak pada Indonesia.

Pihak militer mengatakan, sedikitnya ada tambahan satu batalion untuk memperkuat pangkalan angkatan laut yang sudah ada di Natuna. Angkatan Darat, yang sekarang mengerahkan 800 prajurit di Natuna, akan menambah jumlahnya hingga 2.000 di tahun 2016. Angkatan Udara juga akan menambah pesawat tempur di wilayah itu. Natuna saat ini kekurangan fasilitas untuk mengakomodasi sejumlah besar pesawat. Angkatan Laut telah mengirim tujuh kapal perang ke perairan Natuna bulan lalu untuk berkeliling dan "menjaga kedaulatan", menurut juru bicara AL, Laksamana Pertama M. Zainudin.

Bulan ini, Angkatan Laut mengirim 14 kapal perang untuk mengawasi Laut Cina Selatan. Sektor pertahanan udara juga mengerahkan radar di beberapa bagian pulau untuk melakukan operasi pengawasan selama 24 jam. Sebagai tambahan, Indonesia menandatangani perjanjian dengan Jepang awal bulan ini untuk menerima teknologi dan peralatan militer, yang sebagian besarnya dikirim untuk digunakan di Pulau Natuna. Tapi semua itu masih menjadi keresahan seperti yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan Indonesia, Ryamirzad Ryacudu mengatakan tak aman untuk mengabaikan kemungkinan ancaman di masa depan, sekalipun situasi tampaknya meningkat dalam beberapa bulan terakhir.

Selain dari wilayah perbatasan, potensi ancaman juga muncul dari kerja sama pertahanan Five Power Defence Arrangements (PFDA) yang digagas oleh negara-negara persemakmuran Inggris yaitu Inggris, Australia, Singapura, Malaysia dan New Zealand. Jumlah kekuatan gabungan PFDA sangatlah besar, sehingga kerjasama pertahanan itu patut diwaspadai juga karena tiga negara PFDA tersebut berada sangat dekat dengan wilayah perbatasan bangsa ini. Makanya kerjasama dalam bentuk kekuatan militer itu, sangat pantas kita (baca: masyarakat Indonesia) pantau pergerakan dan ketetuan kebijakannya yang nantinya dapat memicu konflik yang sangat merugikan kita sendiri. Jangan sampai nanti saat mereka diberikan masuk, dengan adanya kebijakan Indonesia mengenai MEA, mereka bertindak dalam bentuk imperialisasi wilayah dan mengambil keuntungan sepihak saja.

Kondisi badan-badan pertahan kita saat ini seperti TNI dan Polri masih saja terfokus dalam menangani kasus “penistaan agama” yang baru saja meledak di republik yang kita cintai. Dengan tidak me-nafi-kan juga bahwa permasalahan tersebut dapat mencipkatakan kondisi instabilitas politik yang akan berlangsung. Terlibatnya pihak pertahanan didalamnya menjadi sebuah indikasi bahwa memang benar kasus tersebut nantinya akan dapat memecah-belah ketentraman kehidupan bermasyarakat karena bersinggungan dengan perihal agama yang itu sangatah sensitif apabila ada yang mencoba mencerai-beraikannya.

Penutup

Penulis beranggapan, bahwa ada persamaan antara kedua permasalahan diatas (problematika penistaan agama dan konflik perbatasan). Berangkat dari kacamata konflik, ketika adanya sesuatu yang dapat memicu ancaman konflik, baik itu kondisi internal dan hubungan luar negeri, maka kita semua dan bahkan setiap element yang ada di Indonesai harus siap dan tetap siaga terhadap semua kemungkinan yang akan terjadi nantinya.

Ketika Aksi Damai 4/11 disandingkan dengan kasus perbatasan rawan konflik, keduanya memiliki dampak yang sangat berpengaruh terhadap kondisi keamanan dan stabilitas negara. Disatu sisi, kita dihadapkan dengan permasalahan yang melibatkan kita secara langsung dan terjadi di internal bangsa ini, dan disisi lain kita mendapatkan ancaman yang berasal dari luar yang meyangkut persoalan terancamnya pertahanan negara.

Dengan demikian, kita dituntut untuk menyikapi persoalan-persoalan tersebut dengan sikap yang cermat dan penuh dengan pertimbangan yang matang. Terkhusus kepada lembaga-lembaga negara yang menangani perihal pertahanan dan keamanan, sehingga dapat mengambil sikap yang memiliki dampak positif dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang akan menciptakan equilibrium bagi masyarakat dan negara.

Ikuti tulisan menarik Iqbal Arif Siregar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler