x

Seniman asal Kota Bogor memberikan penghormatan sebelum melakukan aksi seni dalam memperingati hari Pahlawan, di Taman Makam Pahlawan (TMP) Dreded, Kota Bogor, Jawa Barat, 10 November 2016. ANTARAFOTO

Iklan

Carin Effendy

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nasionalisme Nasi Padang

Hari Pahlawan mengajak kita mempertanyakan mengapa bisa-bisanya memilih makanan Jepang ketimbang makanan Padang diartikan sebagai tindakan tidak nasionalis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Makna nasionalisme menyimpan ironi yang belum kunjung terselesaikan. Di sebuah ulangan Kewarganegaraan tingkat sekolah dasar (SD), terdapat sebuah soal pilihan ganda yang berbunyi seperti ini, "Di antara tindakan berikut ini, mana yang menunjukkan sikap nasionalisme?" Jawaban dari pertanyaan itu adalah, "Lebih memilih makanan Padang daripada makanan Jepang." Pilihan kuliner jelas tidak bisa dijadikan tolak ukur nasionalisme seseorang. Pertanyaan ini menunjukkan begitu dangkalnya pemahaman akan nilai-niai kepahlawanan yang seharusnya terkandung dalam pendidikan sejak dini. Kedangkalan pemahaman bisa berdampak pada dua kenyataan yang sama pahitnya: rasa nasionalisme berlebihan atau hilangnya rasa nasionalisme. Di hari Pahlawan ini, mari mengembalikan makna nasionalisme.

 

Dulu dan Kini

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam Jajak Pendapat "Kompas" yang mengangkat isu kepahlawanan masa kini, lebih dari 60% responden mengatakan bahwa nilai kepahlawanan di Indonesia masih lemah. Hasil ini bisa jadi merujuk pada kondisi masa kini yang berbeda dari kondisi sebelum kemerdekaan. Sebelum republik ini meraih kemerdekaannya, nasionalisme diartikan sebagai usaha pembelaan bangsa, seperti perjuangan mengangkat senjata, maupun perjuangan secara intelektual, seperti menjadi negosiator untuk mencapai kemerdekaan. Para pahlawan kemerdekaan berhasil menyatukan seluruh perbedaan untuk melawan para penjajah. Pasca kemerdekaan, Indonesia tidak lagi memiliki musuh yang terlihat secara fisik untuk dilawan. Akibatnya, rasa nasionalisme itu mulai luntur. Yang menjadi tren justru adalah usaha-usaha memecah belah dengan mencari musuh bersama yang tidak sejalan cara pandangnya, maupun rasa apatis untuk membangun Indonesia. Ini tentu menghancurkan apa yang sudah susah payah dibangun oleh pada pendahulu kita.

Meskipun demikian, banyak perbaikan yang mencerminkan meningkatnya rasa nasionalisme. Semakin bertambahnya kepala daerah yang mencetak prestasi dan membuat gebrakan untuk pembangunan daerah menunjukkan bahwa harapan, sekecil apapun itu, adalah bahan bakar yang terus menyulut kepercayaan pubik akan masih adanya pemerintahan yang pro rakyat. Begitu pula dengan prestasi-prestasi yang dicetak dengan semangat kebhinekaan, seperti kemenangan Liliyana-Tontowi di ajang Olimpiade 2016, yang turut memberi kepercayaan bahwa rakyat Indonesia tetap bisa hidup berdampingan di tengah perbedaan suku, agama, ras, dan golongan.

 

Pentingkah nasionalisme?

Benedict Anderson pernah menelurkan sebuah teori nasionalisme yang relevan hingga kini, yaitu imagined community (komunitas khayalan). Dalam argumennya, beliau menyebut bahwa rasa nasionalisme ada konstruksi sosial (khayalan) yang digunakan untuk membangun sebuah komunitas, yang kemudian disebut bangsa. Orang-orang tinggal memilih, komunitas mana yang ingin mereka asosiasikan sebagai kelompok mereka.

Itu sebabnya, banyak orang mempertanyakan mengapa perlu berjiwa nasionalis terhadap bangsa yang merupakan khayalan. Jawabannya sederhana. Sebagai makhluk sosial yang beradab, manusia hidup untuk memberi kebaikan kepada orang lain. Di sinilah jiwa kepahlawanan dan rasa nasionalisme berperan. Perlu dicatat bahwa tidak semua pernyataan bernada nasionalisme adalah bukti nasionalime. Pernyataan anti negara lain karena merasa merasa mereka mencuri budaya kita, misalnya, adalah nasionalisme yang berlebihan. Jika merasa budaya kita terancam akan diklaim negara lain, lakukan pelestarian budaya, bukan menyerang bangsa lain. Begitu pula pernyataan yang membanggakan Indonesia hanya karena kekayaan alam dan budayanya, atau pernyataan cinta Indonesia saat hari kemerdekaan di sosial media. Keduanya tidak cukup untuk membuktikan rasa nasionalisme. Untuk memberi kebaikan pada orang lain, diperlukan semangat "Kerja Nyata". Inilah dasar dari rasa nasionalisme, sebuah semangat bekerja sungguh-sungguh, tulus, dan tanpa prasangka.

Ada sebuah buku yang salah satu karakternya berkata kira-kira begini, "Saya tidak jadi sekolah ke luar negeri soalnya lebih enak di Indonesia. Sudah lahir di sini, memakai tanahnya, minum airnya, masa tidak ada rasa terima kasih?" Meminjam perkara nasi Padang di awal tulisan tadi, memilih makanan Jepang bukan berarti seseorang tidak nasionalis, sama halnya dengan lokasi menuntut ilmu yang tidak bisa dijadikan tolak ukur rasa nasionalisme. Maka bagi mereka yang ingin sekolah ke luar negeri, lakukanlah! Tapi ingat, jangan lakukan itu karena kau membenci negerimu, tapi karena kau membenci permasalahan di negeri ini dan ingin memperbaikinya. Tidak ada yang lebih berharga daripada perasaan puas karena telah bekerja nyata untuk memberi makna bagi di hidup orang lain yang sangat membutuhkan pertolonganmu.

Percayalah, Indonesia membutuhkan pertolonganmu.

Ikuti tulisan menarik Carin Effendy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler