x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 16 Mei 2019 17:27 WIB

Navigasi Bugis

Pengetahuan dan praktik navigasi Bugis sebelum ada sistem navigasi laut modern

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Navigasi Bugis

Judul Asli: Bugis Navigation

Penulis: Gene Ammarell

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Nurhady Sirimorok

Tahun Terbit: 2016

Penerbit: Ininnawa

Tebal: xiv + 313

ISBN: 978-602-71651-5-1

 

Kehandalan pelaut-pelaut Sulawesi Selatan tidak perlu diragukan lagi. Mereka sudah menguasai perdagangan laut sejak abad 13. Bekerjasama dengan Majapahit, pelaut-pelaut Bugis menguasai perairan timur-utara Nusantara. Puncak kejayaan pelaut-pelaut Bugis adalah saat Kerajaan Goa-Tallo di abad 16. Kerajaan Goa-Tallo menguasai perdagangan antarpulau di wilayah utara-timur. Mereka telah menjalin kerjasama dengan berbagai bangsa untuk berdagang. Mereka berdagang dengan bangsa Cina dan bangsa-bangsa Barat. Pelaut-pelaut Bugis ditemukan di berbagai pelabuhan dagang di berbagai pantai di dunia.

Bukan hanya pelautnya, teknologi kapal pun orang Sulawesi Selatan sangat dikenal. Phinisi adalah jenis kapal tanggung yang bisa berlayar jauh. Sedangkan Sandeq adalah kapal cepat untuk jarak pendek.

Sebagai komunitas bahari, orang-orang Sulawesi Selatan, khususnya Bugis tentu memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam pelayaran. Sebelum teknologi modern, yaitu kompas dan peta dipakai dalam pelayaran dunia, orang Bugis telah memiliki sistem pengetahuan yang membawa mereka mampu menaklukkan lautan.

Buku ini bercerita tentang bagaimana orang Bugis, khususnya mereka yang tinggal di Pulau Balolaoang mengembangkan sistem navigasi sehingga mampu melayani perdagangan antarpulau, dari Ujungpandang sampai ke Papua.

Orang Balobaloang dalah pemukim Bugis di Pulau Balobaloang yang berada di wilayah Flores. Pemukim ini tiba pada abad 19. Para pemukim ini berasal dari Maros. Pada tahun 1870, H. LaHammade’ dan pengikutnya bermukin di pulau ini. Kelompok H. LaHammade inilah yang kemudian menjadi penghuni Pulau Balobaloang. Mereka mengandalkan hidup dari laut. Mereka membawa kapal untuk mengangkut barang-barang dari Ujungpandang ke pulau-pulau di wilayah timur, sampai ke Ambon, bahkan sampai ke Papua.

Bagaimana mereka bisa menjadi pelaut handal, padahal saat itu mereka belum memiliki teknologi kompas dan peta? Para pelaut desa Balobaloang memiliki pengetahuan kelautan yang memuat mereka mampu berlayar jarak jauh. Mereka menguasai pengetahuan tentang arus laut, pasang surut, angin, perbintangan, posisi bulan, tanda-tanda pelangi, bentang alam, bentuk dan warna awan, tanda-tanda dari binatang dan informasi tentang alam lainnya. Pengetahuan-pengetahuan tersebut digabungkan menjadi sebuah sistem pengetahuan kelautan yang membuat mereka menjadi pelayar-pelayar tangguh. Mereka sudah mempunyai sistem mataangin, sebelum mereka mengenal sistem mataangin model Barat yang sekarang ini lazim digunakan. Meski sekarang ini pelaut sudah menggunakan kompas dan peta, tetapi pada kenyataannya para pelaut Bugis masih mengandalkan pengetahuan tradisionalnya untuk menentukan arah dalam berlayar.

Bagaimana pengetahuan ini diwariskan? Pewarisan pengetahuan tentang kelautan diwariskan secara langsung di atas kapal. Artinya, orang yang akan menjadi nakhoda harus menjadi anak buah kapal bersama dengan sang nakhoda. Ia akan belajar langsung di atas kapal beberapa waktu sampai ia mempunyai pengetahuan yang cukup untuk menjalankan kapal sendiri. Ia akan mempelajari sistem navigasi dan piloting. Ia akan mempelajari jenis-jenis ombak dan cara menaklukkannya. Ia harus tahu  pengetahuan tentang bintang, angin dan arus, sebelum diserahi untuk mengemudi kapal.

Dengan kemajuan teknologi pelayaran, yaitu adanya mesin kapal, kompas dan peta, orang-orang Balobaloang semakin hebat di dunia pengapalan antarpulau. Kapal-kapal yang dibawa semakin besar. Saat ini mereka mampu menjalankan kapal dengan kapasitas muat 50-70 ton.

Buku ini sangat menarik karena sang peneliti, yaitu Gene Ammarell melakukan penelitian dengan cara tinggal dan melaut bersama dengan orang-orang Balobaloang. Ammarell sering ikut merasakan bagaimana rasanya diserang badai di tengah laut. Bahkan ia diangkat anak oleh seorang pelaut tangguh bernama Haji Arpa Talle. Pengalaman nyata berlayar bersama para nakhoda Bugis asal Balobaloang ini membuat buku ini enak dibaca karena memuat banyak pengalaman nyata. Pengalaman penerapan pengetahuan ilmu pelayaran di laut menjadikan informasi yang disampaikan oleh Ammarell menjadi sangat hidup.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler