x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 15 Juli 2019 07:05 WIB

Hakim yang (Merasa) Adil

Rakyat bersedih bila para hakim merasa telah menjadi hakim agung yang adil, sementara rakyat beranggapan sebaliknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam pekan-pekan terakhir ini, beberapa hakim Mahkamah Agung (MA) mengambil keputusan hukum yang menyita perhatian masyarakat luas. Keputusan ini berkenaan dengan dua perkara yang berbeda, salah satunya terkait dengan permohonan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung. Syafruddin adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang menerbitkan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk sejumlah obligor.

Dalam persidangan kasasi Syafruddin, majelis hakim MA memutuskan: walaupun Syafruddin terbukti melakukan seperti yang didakwakan, tapi tindakannya bukan tindak pidana. Majelis juga memerintahkan jaksa untuk melepas Syafruddin dari tahanan, mengembalikan segala barang bukti kepadanya, dan memulihkan hak serta martabatnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menanggapi keputusan MA tersebut, seorang netizen berkomentar di laman media online: “Kita sudah puluhan tahun hidup di Indonesia dan masih kaget denger berita kaya gini... Kemana aja kita selama itu, tidur?”

Para ahli hukum menyebut setidaknya ada dua hal yang membuat putusan majelis hakim MA itu kontroversial. Pertama, keputusan MA tersebut telah menganulir tiga keputusan pengadilan di bawahnya: pra peradilan, pengadilan tipikor, dan pengadilan banding. Dalam pengadilan banding, Pengadilan Tinggi memvonis Syafruddin dengan 15 tahun penjara—dua tahun lebih berat dibandingkan keputusan Pengadilan Tipikor. Hukuman ini dijatuhkan karena majelis hakim di dua pengadilan ini menilai Syafruddin telah memperkaya orang lain dan menyebabkan kerugian negara Rp 4,58 triliun.

Kedua, ketiga hakim agung ternyata punya tiga pendapat yang berlainan. Ketua majelis hakim kasasi Salman Luthan menyatakan bahwa perbuatan Syafruddin merupakan tindak pidana, yang berarti ia sependapat dengan majelis hakim di tingkat yang lebih rendah. Namun, hakim Syamsul Rakan Chaniago menilainya sebagai masalah perdata, sedangkan hakim Mohamad Askin menilainya sebagai perkara administrasi belaka. Lho kok bisa, tiga hakim tiga pendapat yang jauh berbeda, di mana kepastian hukum?

Keputusan MA ini, menurut sebagian ahli hukum, akan merepotkan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dalam menjerat para obligor kelas kakap yang sesungguhnya belum mengembalikan uang yang dipinjamkan negara. Trilyunan uang negara akan sukar diselamatkan.  Orang banyak hanya bisa, dan kembali, bertanya: “Masih adakah keadilan di negeri ini?”

Rasa keadilan seringkali memang bergantung pada tempat di mana kita berdiri. Jaksa yang menuntut terdakwa merasa sedang menegakkan keadilan. Terdakwa dan terhukum merasa telah diperlakukan secara tidak adil dan berusaha mencari keadilan—sekalipun bila ia tahu bahwa ia telah melakukan kejahatan. Pengacara bekerja dan berusaha agar yang dibela diperlakukan secara adil. Orang banyak juga punya pendapat yang berbeda-beda tentang keadilan. Karena itulah, penetapan keadilan diserahkan kepada hakim dengan harapan akan keluar dari para hakim keputusan yang betul-betul adil.

Karena seorang hakim—apa lagi hakim yang memakai atribut ‘agung’, seperti halnya para hakim yang bertugas di Mahkamah Agung—dipercaya untuk memutus suatu perkara yang menentukan nasib dan masa depan seseorang, seorang hakim dituntut untuk peka, arif, bijaksana, dan adil dalam memutuskan. Sebagian orang menyebut hakim sebagai ‘wakil Tuhan’ di muka bumi, sebab dialah yang memutuskan perkara dan memberi keadilan bagi manusia lainnya. Betapa tidak mudah memutuskan keadilan dan betapa amat berat pertanggungjawabannya, sebab para hakim kelak diadili juga.

Dalam memutus suatu perkara, hakim dituntut mempertimbangkan banyak hal secara cermat, bukan hanya yang tersurat tapi juga yang tersirat. Agar mampu menangkap yang tersirat, hakim memerlukan kepekaan nurani. Kepekaan nurani hanya dapat diasah oleh kejujuran, keteguhan hati, kemandirian, keberanian untuk menegakkan kebenaran, keikhlasan, dan sikap tanpa pamrih. Sebagai orang yang dianggap arif-bijaksana dan waskita atau tajam kepekaan hatinya, seorang hakim diharapkan mampu memahami persoalan melampaui apa yang terlihat oleh mata orang kebanyakan. Sepanjang kearifan dan kepekaan itu tidak dimiliki para hakim, banyak orang mungkin akan kecewa karena telah terlampau berharap akan ada keputusan yang benar-benar adil.

Dalam konteks keputusan kasasi Syafruddin, apakah para hakim luput menangkap esensi dari sepucuk surat yang menyatakan bahwa obligor telah melunasi uang yang dipinjamkan negara kepada mereka, padahal belum? Apakah para hakim khilaf bahwa uang negara itu adalah uang rakyat—bukan uang swasta yang dipinjamkan? Apakah para hakim abai bahwa jumlah kerugian negara tersebut teramat besar? Ataukah pandangan para hakim membentur pagar-pagar yang mereka ciptakan sendiri, sehingga mereka tak mampu menangkap esensi dan tak mampu menyerap isi, melainkan hanya melihat wadah? Rakyat bersedih bila dengan semua itu para hakim merasa telah menjadi hakim agung yang adil, sementara rakyat beranggapan sebaliknya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler