x

Iklan

Fauzan Sukma Madani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reforma Agraria, Palsu?

Penggusuran lahan di desa Sukamulya, Kabupaten Majalengka yang dilakukan represif pada (17/11/16) menambah rentetan konflik agraria Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dengan atau tanpa disadari, pemberitaan terkait polemik penistaan agama oleh Gubernur Non-Aktif Jakarta – yang tengah memasuki babak baru – semakin gencar saja mendominasi jagat permediaan Indonesia. Sehingga terkesan menutupi kesempatan isu publik dan pemberitaan lainnnya, yang padahal, tak kalah sama pentingnya untuk dikonsumsi khalayak, sekalipun untuk dipertanyakan bahkan digugat atas segala peristiwa yang terjadi.

Seperti penggusuran lahan pertanian yang terjadi. Mengingat kontradiksi yang kontras dengan visi kedaulatan pangan yang telah dicanangkan rezim Jokowi-Jusuf Kalla dalam program Nawacita dan Strategi Nasional Reforma Agraria.

Salah satunya, adalah peristiwa Sukamulya tempo hari, yang merupakan bagian kecil dari sekian banyak contoh buruk proses pembangunan infrastruktur dan ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka, para pejuang tani desa Sukamulya, kabupaten Majalengka, Jawa Barat, memprotes keras atas mega proyek pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) yang akan dibangun megah tepat di atas tanah lumbung padi yang dijadikan penghasilan mereka. Penolakan ini dilakukan sebagai benteng terakhir, setelah 10 desa lainnya kadung digusur pemerintah dengan mengatasnamakan pembangunan “demi kepentingan umum”. Sebut saja, Investor asing.

Mengenai ganti rugi dan relokasi semacamnya, hanya intrik klasik permainan. Jauh dari itu, ada nilai historis yang terlampau jauh mengakar di lahan tersebut, yang dimana, para petani akan merasa sulit untuk angkat pantat sekalipun dengan segala pemberhalaan uang yang ditawarkan pemerintah.

Karena geram dengan negosiasi yang alot dan petani yang cenderung bertahan, dari balik mejanya, pemerintah menghadirkan ribuan “perangkat” militer berwatak fasis anti-rakyat sebagai penopang tembok tiraninya untuk mengusir paksa para petani dan penghuni sekitar lahan. Bentrokan pun terjadi. Lagi, aparat menjawab dengan tindakan represif; sebagai solusi menumbangkan rakyat yang termarjinalkan dengan dalih perintah. Mereka pun menghujani gas air mata sebagai upaya memukul mundur para warga. Sejumlah petani pun terluka, mengalami lebam di bagian wajahnya dan beberapa orang diantaranya ditangkap oleh aparat karena dituding sebagai provokator.

Sulit untuk berharap, bahwasanya dewasa ini aparat keamanan cenderung membela kepentingan korporat dari pada rakyat lemah. Bahkan mereka pun tak segan mengintervensi ranah yang tak lazim, sebagaimana persoalan agraria ini. 

Pun, seolah mewarisi tradisi pendahulunya, kebijakan pembangunan Jokowi dalam agraria ini tidaklah jauh berbeda, yang merampas lahan masyarakat demi kepentingan jaringan oligarki dan para pemilik modal. Mengindikasikan ketidakseriusan rezim Jokowi-JK atas kebijakan daulat pangan negara, terlebih belum adanya statement resmi dari sang penguasa terkait insiden miris ini. Sangat disayangkan.

Tak terkecuali dengan salah satu pihak yang bertanggung jawab di Jawa Barat sendiri. Halnya Sang Jenderal Nagabonar (baca: Deddy Mizwar) yang menggugurkan karakter penokohan diri sendiri dalam film besutannya – Nagabonar Jadi 2  sebagai tokoh veteran perang yang menentang segala bentuk penanaman modal asing di tanahnya.

Seakan sikap dan karakter keberpihakan terhadap rakyat kecilnya mati dimakan cacing.

Karena sejauh ini, orang nomor dua di Jawa Barat itu memilih “menggelapkan” mata dan telinganya dari segala protes petani yang bicara bukan sebagai pemilik lahan, ia pun menuding ada pihak ketiga yakni tokoh intelektual yang menghasut warga sekitar untuk tidak menjual tanahnya.

Duh, apa kata dunia, Naga!

Andai saja Jenderal bersama koleganya menghayati lakonnya untuk lebih jauh turun ke lapangan. Menyibukkan dengan dialektika sambil merangkul para pejuang agraria tersebut. Dan menyadari, bahwa selalu ada bayangan dampak berlapis dari setiap penggusuran lahan pertanian, khususnya, semakin memiskinkan warga yang kehilangan mata pencaharian bertani.

Setidaknya cerita tidak akan berbuntut seperti ini, tidak akan ada penistaan kemanusiaan kepada saudara petani kita di Jawa Barat, begitu pun dengan permasalahan akan darurat agraria di daerah lainnya, yang direnggut oleh pemerintah dan preman – preman berjubah selaku kaki tangannya.

Panjang umur pejuang tani dan Reforma Agraria.

 

Ikuti tulisan menarik Fauzan Sukma Madani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB