x

Sekitar dua ribu prajuri dari tiga matra TNI dan Polda Metro Jaya mengikuti Istighosah atau doa bersama jelang demonstrasi 2 Desember di Lapangan Satlantas Polda Metro Jaya pada Sabtu, 26 November 2016. Tempo/Avit Hidayat

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Wiro Sableng Turun Gunung, Singkap Makna 212

Cerita Wiro sableng itu menginspirasi penulis untuk menulis tentang demo yang akan berlangsung pada Jumat,2 Desember 2016 (212).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Gemblengan Eyang Sinto Gendeng telah menjadikan Wiro Sableng sakti mandraguna, dengan tingkah polahnya yang kocak, slengekan dia mempermainkan musuhnya sebagai obyek yang lucu. Wiro selalu memakai baju putih, dengan kapak unik dengan simbol 212 hingga disebut julukan Pendekar kapak 212. Makna dari 212 menurut referensi yang penulis baca adalah di dalam diri manusia terdapat 2 unsur yang saling bertentangan namun merupakan pasangan,hal ini mewakili 2 dan semua unsur itu bermuara pada satu tujuan yaitu Tuhan Yang Maha Esa.Dalam setiap  permasalahan yang timbul dalam lingkup manusia ada selalu unsur jahat dan baik ada hitam dan putih ada amarah yang menggelegak dan ada suka cita.Tapi semuanya akan bisa di satukan  segala permasalahannya jika percaya pada Hyang Satu yaitu Tuhan itu sendiri. Wiro Sableng adalah cerita karya Bastian Tito. Jaman 80 dan 90 an cerita Wiro Sableng amat terkenal. Sebelum ada game online dan banyak orang belum mengenal internet bacaan seperti komik stensilan cerita bersambung laris manis dan di tiap sudut kota hampir pasti ada penyewaannya.

Cerita tentang dunia persialatan dan sepak terjang pendekar sakti selalu menarik untuk dibaca, apalagi dengan adegan-adegan lucu dan bumbu-bumbu romantik serta eksotis, menambah pembaca untuk menikmati kala senggang.

Cerita Wiro sableng itu menginspirasi penulis untuk menulis tentang demo yang akan berlangsung pada  Jumat,2 Desember 2016. Demo ini adalah rangkaian demo susulan dari demo besar yang berakhir ricuh pada 411 (4 November). Isu penistaan agama telah mendorong ormas-ormas Islam melakukan demo untuk menuntut Ahok di seret ke ranah hukum. Mereka menuntut penista agama dihukum seberat- beratnya. Mereka juga menuntut keadilan pada pemerintah agar tidak melindungi penista agama. Ah, saya mending santai menanggapi demo-demo yang mengarah ke rekayasa politik. Dan yang patut menjadi sorotan saat ini adalah tentang media bernama media sosial. Dari Youtube, twitter, facebook ujaran-ujaran berbau kekerasan gambar-gambar provokatif telah menjajah fantasi manusia. Kalau dulu anak muda sibuk membaca satu persatu huruf dari lapak bacaan sewaan, mereka mengikuti fantasi penulisnya dan membayangkan seakan-akan berada dalam lingkungan rekaan penulis fiksi(silat, roman, thriller, misteri, horror), ruang lingkup fantasinya liar dalam fantasi luas literasi. Sekarang anak muda banyak dijajah oleh alam maya, gambar-gambar bergerak, tulisan-tulisan provokatif dari portal-portal abal-abal. Nilai beritanya susah dibuktikan kebenarannya dan lebih condong ke  Hoax. Emosi lebih mudah diaduk-aduk dan agama serta keyakinanlah yang diadu domba.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rupanya budaya devide et impera sangat efektif memprovokasi massa, hingga mau-mau saja diadu domba(bahkan antar keyakinan yang sama saja beda dalam menanggapi suatu masalah, hehhhh?!) Tipe orang yang gampang diombang-ambingkan adalah karena  ciri-cirinya adalah miskin, tingkat melek pengetahuan rendah, tingkat pemahaman pada agama baru setengah-setengah, dan terlalu percaya pada orang yang pinter ngomong. Media televisi dan internetpun menjadi pembaiatan tokoh agama, padahal untuk sampai pada penguasaan ilmu agama bukanlah harus ada kriteria khusus. Terutama pemahaman tafsir dan kedalaman penguasaan emosi, jiwa dan raga. Kalau ulama terjun hanya untuk menjadi terkenal, dengan modal berbicara doang, tukang ojek pun bisa menjadi penceramah. Bukankah semakin tinggi ilmu seharusnya seperti tumbuhan padi semakin berisi semakin merunduk.

Saya akan menyinggung tentang demo yang akan terjadi di tanggal 2 Desember. Sebutlah bukan demo hanya berdoa bersama di jalanan. Mereka ingin menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan doa dengan pengerahan aksi massa. Mereka yakin dengan mengerahkan massa yang banyak, hukum akan berpihak kepada mereka. Kebenaran sengaja ditakut-takuti dengan show of force. Ah saya jadi teringat oleh masa penjajahan Belanda. Mereka yang jumlahnya sedikit bisa menjajah jutaan orang, kuncinya apa. Karena masyarakat bisa diadu domba, masyarakat bisa dijebak untuk saling membenci dan akhirnya  dengan cara membentur-benturkan ego, perbedaan kaya miskin, perbedaan suku dan bahasa bangsa ini bisa dikuasai berabad-abad.

Apakah kita mau kembali ke masa penjajahan. Itu bodoh namanya. Lalu apa fungsi sekolah, apa fungsi perguruan tinggi yang mencetak intelektual muda yang hanya bangga jika bisa menggerakkan masa untuk melakukan demo atas nama agama atau faham tertentu. Sementara negara lain sudah melesat berpikir ke depan bagaimana bisa menjadi negara yang bisa bersaing di dunia global.

Presiden sekarang sudah mencontohkan dengan sederhana bagaimana caranya bekerja keras, kerja-dan kerja. Tapi masih banyak orang berpikir primordial, seakan anti terhadap visi maju sang Presiden, yang selalu menentang tanpa melihat betapa usaha presiden itu harus ddukung semua lapisan masyarakat jika bangsa ini mau melangkah maju selangkah demi selangkah.

Mengkritik itu sangat dianjurkan, demi kemajuan tapi mengritik berdasarkan sentiment, berdasarkan ketidaksukaan pada tokoh atau terlanjur tidak suka karena kalah dalam pemilu itu bukanlah sportif, tapi lebih pada mental terjajah.

Apakah lonjakan-lonjakan kemajuan dalam masa pemerintahan Jokowi tidak dirasakan cuma karena benci pada satu tokoh harus merembet pada urusan negara? Jangan berpikir sempit bung!Kalau Jokowi melanggar konstitusi itu yang harus diluruskan. Hajatannya DKI kenapa orang –orang luar Jakarta begitu peduli urusan Jakarta? Maaf saya emosi, sebagai warga Jakarta dan tahu rekam jejak pemimpinnya tapi harus menerima kondisi bahwa peran agama masih amat dominan. Kepemimpinan kota berbeda dengan kepemimpinan daerah lain. Kompleksitas ibu kota berbeda dengan daerah lain…

Ah, tulisan saya ngelantur ke mana ya…Kembali ke cerita Wiro Sableng. Pendekar yang memang tingkahnya seperti orang gila itu sering membuat jengah pendekar, pejabat, atau penguasa. Ia tipe manusia bebas yang tidak mau dianut suka ngomong blak-blakan bahkan kadang menyinggung perasaan. Tapi sosok Wiro Sableng itu sosok yang jujur, tidak menutup-nutupi bahkan termasuk ketika ia dengan mudahnya jatuh cinta pada perempuan cantik dan kemudian berbagi kebahagian dalam ujung dari cinta yaitu persetubuhan. Manusia bebas yang tidak terikat norma tapi menjunjung tinggi kejujuran dan membela kebenaran. Sekarang tokoh seperti ini masih adakah?Wiro Sableng Lelaki berbaju putih, dengan senjata Kapaknya yang ampuh dan lambang 212 nya yang  selalu melekat di kapaknya maupun dadanya.

Lalu siapakah Wiro Sableng yang akan menggiring masa ke Jakarta, Habib Riziek, atau karena Ahok yang suka blak-blakan dan mudah melontarkan kata-kata yang menyinggung perasaan umat beragama?Siapakah yang akan menjadi pahlawan?Lalu siapakah yang akan diuntungkan dengan gerakan berlabel “Unjuk rasa damai”(dengan misi tertentu).

Kalau saya ingin menunjukkan diri suci berarti saya masih manusia yang tidak sempurna. Kalau saya pembaca sejarah , saya lebih kagum pada syeh Siti Jennar. Dan Jika ingin melihat Kyai asli Indonesia Cak Nun yang tidak mau disebut kyai atau ulamalah orangnya…ah sekali lagi saya subyektif…tidak apa khan tiap orang punya tokoh yang dikagumi. Barangkali beda dengan Habib Riziek yang kiblat ajarannya memang murni Timur Tengah yang gemar berkonflik dan berperang dalam menyelesaikan sebuah masalah. Indonesia itu punya Pancasila sila ke 4 Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarahan perwakilan. Tidak perlu unjuk rasa cukup saling introspeksi dan mengambil jalan musyawarah bersama apa susahnya…Susahnya pikiran tiap manusia Indonesia di jaman reformasi itu terlalu dininabobokan oleh kebebasan berpendapat. Seolah – olah dengan reformasi orang bebas berbicara tanpa filter.Bahkan  mantan Presiden sekalipun bisa dijuluki oleh netizen dengan sesuka hati. Menjawab  pertanyaan siapa yang diuntungkan dalam demo jumat nanti. Tentu yang bisa mengambil keuntungan dari gerakan massa tersebut. Mungkin Ahok sebagai subyek tersangka akan lebih menderita tapi bisa juga berbalik karena Ahok  kemudian menjadi simbol kelemahlembutan, pasrah dan tidak melawan, namun bisa juga Habib Riziek atau malah mantan Presiden sebelumnya yang saat ini begitu banyak sorotan tertuju kepadanya.

Sekarang orang-orang gila di masa reformasi itu mungkin orang yang sangat mendalami karakter Wiro Sableng(tapi dari segi gendengnya). Padahal karakter asli Wiro Sableng itu penyayang dan cinta damai. Seorang pendekar sejati itu melakukan pertarungan bukan untuk gagah-gagahan tapi hanya untuk membela diri atau tidak tega ada ketidakadilan di depan matanya. Pendekar melakukan pertarungan itu sebagai opsi terakhir ketika musyawarah sudah buntu. Suro diro Joyoningrat  lebur dening pangestuti.

Keberanian, keangkaramurkaan yang bertahta dalam diri manusia akan lebur dengan adanya kasih sayang,kelembutan dan kebaikan Semoga para penguasa, para pejabat publik, Alim Ulama, Pastor, pemimpin agama meresapi falsafah yang berasal dari Jawa tersebut.Wiro Sableng memberi simbol Kelakuan boleh gila, Tapi hati dan jiwa tetap harus bening penuh kelembutan. Bukan begitu Bastian Tito.Bukan pengerahan massa yang akan menang tapi kelemahlembutan dan kasih sayang yang akan mendapat simpati.Dalam ungkapan latin Fortiter in re Suaviter in Modo.(kokoh kuat dalam prinsip namun lemah lembut dalam pencapaiannya)

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu