x

Sejumlah ibu mengenakan kebaya dan menggunakan payung saat memperingati Hari Ibu, di Kelurahan Panggung, Tegal, Jawa Tengah, 22 Desember 2015. ANTARA/Oky Lukmansyah

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perempuan Bergerak~Shelly Adelina

Kepedulian dan kegelisahan yang sama di dalam dada para perempuan Indonesia kala itu menyebabkan mereka memutuskan untuk berkongres.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Shelly Adelina

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia

Pujian rutin akan peran domestik ibu "bertebaran" setiap 22 Desember. Apakah cara memaknai peringatan Hari Ibu masih sejalan dengan peristiwa yang terjadi pada 22 Desember 1928?

Tentu saja tidaklah salah menghargai ibu yang telah berjasa melaksanakan perannya di ranah domestik. Tapi tidak tepat jika peringatan 22 Desember menjadi terlepas jauh dari konteks sosio-historisnya. Generasi muda kini dengan mudah saja mengucapkan selamat Hari Ibu semirip-miripnya dengan mother's day di negara-negara Barat. Telah banyak tulisan yang menggugat hal itu, tapi situasi tidak berubah. Mari kita mengulik sejarah peristiwa 22 Desember 1928 agar lebih paham cikal-bakal gerakan perempuan Indonesia.

Gedung Mandala Bhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Yogyakarta, menjadi saksi bisu saat para pejuang perempuan Indonesia berkumpul. Mereka berasal dari 30 organisasi perempuan di 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hari itu mereka bersama-sama berada di ruang publik, keluar dari ruang domestik mereka, untuk melangsungkan "aksi politis". Di antara mereka yang hadir, tidak melulu perempuan ibu rumah tangga, tapi ada juga perempuan lajang. Mereka menggelar kongres nasional untuk pertama kalinya.

Kepedulian dan kegelisahan yang sama di dalam dada para perempuan Indonesia kala itu menyebabkan mereka memutuskan untuk berkongres. Mereka menyadari kemerdekaan akan sulit diraih jika para perempuan tidak ikut serta berjuang dan nasib perempuan terpuruk. Kesadaran kritis tentang hak dan kewajiban serta pentingnya partisipasi mereka secara substansial di ranah publik telah tumbuh.

Hal-hal mendasar yang menjadi agenda perjuangan para perempuan pada kongres 22 Desember itu mencakup persatuan perempuan se-Nusantara, memperkuat peranan perempuan dalam mengupayakan kemerdekaan, mengupayakan perbaikan gizi untuk kesehatan ibu dan anak, serta melawan praktek perkawinan anak.

Tujuh tahun berselang, Juli 1935, mereka melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia II. Saat itu lahir Badan Pemberantasan Buta Huruf (BPBH). Mereka menyatakan sikap menentang perlakuan tidak wajar terhadap buruh perempuan di perusahaan batik Lasem, Rembang. Lebih politis lagi, kongres pernah mengirimkan mosi kepada pemerintah Hindia Belanda agar perempuan juga memiliki hak dipilih menjadi anggota Dewan Kota.

Dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada 1938, para aktivis perempuan memutuskan 22 Desember sebagai Hari Ibu. Secara resmi tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Ibu oleh Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden Nomor 316/1959. Sejak itu, Hari Ibu dirayakan secara nasional. Tapi apakah Sukarno saat itu menyuarakan gambaran tentang perempuan pejuang ataukah citra perempuan dalam bingkai "keibuan" di ranah domestik?

Seperti ucapan Sukarno pada Hari Ibu pada 1950 tentang perempuan: "Ya, menjadi ibu, ya, menjadi istri, ya, menjadi kawan perjuangan." Disadari atau tidak oleh Sukarno, kata "ibu" dan "istri" menafikan realitas perempuan yang memilih atau terpaksa menerima kondisi tidak menjadi "ibu" dan tidak menjadi "istri". Kata "ibu" dalam peringatan Hari Ibu menjadi eksklusif, yaitu perempuan yang memiliki anak. Kini apa yang diperingati itu semakin jauh dari spirit dan filosofi yang didengungkan kaum perempuan pada 22 Desember 1928. Citra perempuan pejuang atau aktivis kemerdekaan yang bergerak politis pun kian luruh, digerus oleh citra ibu-ibu biologis pada perayaan Hari Ibu.

Peringatan 22 Desember sejatinya mampu mendorong semua pihak untuk meningkatkan kesadaran perjuangan mengatasi berbagai isu nasional terkait dengan perempuan dan anak. Data BPS (2015) menyebutkan, rata-rata perempuan berusia 25 tahun ke atas pada 2015 baru mengenyam pendidikan sampai kelas VII SMP, sedangkan laki-laki pada usia sama dapat meraih pendidikan hingga kelas VIII SMP.

Data BPS juga menyebutkan pada 2015 rata-rata pendapatan perempuan jauh lebih rendah dibanding laki-laki. Jika pendapatan laki-laki sudah mencapai Rp 14 juta, perempuan hanya Rp 8,5 juta (Kemenaker, 2015). Juga terdapat disparitas upah yang cukup signifikan antara laki-laki dan perempuan. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, upah perempuan masih tertinggal sekitar Rp 300 ribu per bulan ketimbang upah laki-laki. Hal lain lagi, keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif belum mampu mencapai kuota minimal 30 persen.

Angka kematian ibu (AKI) saat melahirkan juga tidak kunjung turun, yaitu 359 ribu per 100 ribu kelahiran. Itu AKI tertinggi se-Asia Tenggara. Praktek perkawinan anak Indonesia pun menduduki tempat tertinggi kedua di Asia setelah Kamboja. Pada Kongres Perempuan Indonesia I, para pejuang perempuan telah lantang mempersoalkan isu tersebut. Nyatanya, setelah 88 tahun berlalu, praktek perkawinan anak justru kian memprihatinkan. Belum lagi persoalan perdagangan perempuan dan anak.

Semua isu ini hadir akibat sistem penindasan modern yang harus diatasi bersama oleh gerakan perempuan yang berkesadaran kritis dan bekerja sama dengan pemerintah yang berkomitmen menggunakan strategi pengarusutamaan gender. Jika kita ingin mengembalikan 22 Desember kepada makna sejatinya, sikap bijak kita adalah mengenang dan melakukan refleksi atas perjuangan dan keterlibatan perempuan dalam usaha perbaikan nasib bangsa ini.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini