Sejak zaman orde baru, Indonesia telah menganut asas Pemilu yang disingkat LUBER. LUBER merupakan singkatan dari Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Asas LUBER berkembang di era Reformasi, dimana ditambahkan Jujur dan Adil atau disingkat JURDIL
Sehingga Pemilu di Indonesia diselenggarakan atas asas LUBERJURDIL atau Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil.
Langsung, Pemilu berasas langsung mempunyai arti bahwa setiap rakyat memilih para calon pemimpin atau wakil rakyat secara langsung, dilakukan oleh dirinya sendiri, tidak boleh melalui perantara atau diwakilkan oleh orang lain.
Umum, Pemilu berasas umum mempunyai arti bahwa setiap warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai peserta pemilu, berhak mengikuti pemilu untuk memilih wakil rakyat, tanpa adanya diskriminasi suku, agama, ras, jenis kelamin maupun status sosial.
Bebas, Pemilu berasas bebas mempunyai arti bahwa setiap rakyat berhak memilih para calon pemimpin atas keinginannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari orang lain.
Rahasia, Pemilu berasas rahasia mempunyai arti bahwa suara hak pilih setiap rakyat dijamin kerahasiahaanya oleh pemerintah atau dengan kata lain hasil pilihan yang masuk ke kotak suara tidak akan diketahui siapa pemiliknya dan memilih siapa, kecuali orang yang bersangkutan mengutarakannya kepada orang lain.
Jujur, Pemilu berasas jujur mempunyai arti bahwa semua orang yang terlibat dalam pemilihan umum ini harus bertindak jujur, baik dari kalangan pemerintah, badan pengawas, panitia, partai politik, para calon wakil rakyat maupun rakyat sebagai pemilih.
Adil, Pemilu berasas adil mempunyai arti bahwa semua orang yang terlibat dalam pemilu berhak mendapatkan perlakuan dan hak yang sama dalam melakukan pemilihan tersebut.
Apakah Pilihan Kita Pada Pemilu Saat Ini dan Esok Masih Bersifat RAHASIA?
Yang akan saya tegaskan kembali adalah asas rahasia dalam pemilu, baik pemilu presiden, legislatif maupun kepala daerah. Sejak pemilihan umum presiden 2014 kita telah dikotak-kotakan akan dukungan kepada para calon presiden. Tentu kita ingat banyaknya gerakan baik di media sosial maupun dikehidupan kita sehari-hari terpecah karena berbeda dukungan kepada masing-masing calon yang dijagokan.
Berlomba memakai avatar di profile mediasosial untuk mendukungan calon nomor 1,2,3, 4, 5 dengan perang visi misi calon masing-masing, tentu baik apabila yang menjadi bahan peperangan para pendukung adalah visi misi para calon, tapi yang berkembang dimasyarakat baik yang berlangsung dimedia social ataupun kehidupan nyata berbeda dengan apa yang diharapkan, bukannya perang visi misi para kandidat calon yang berkembang kini pendukung DIE HARD (Rela Mati Untuk Mendukung) dimana calon yang didukung tersebut layaknya TUHAN, dipuja dan tidak boleh disalahkan.
Sehingga Pendukung DIE HARD rela mati-mati demi calonnya bersikap anti kritik, namun kritis dengan pendukung calon lainnya. Saya yakin jika ditanya apa visi misi calon pemimpin yang didukungnya hanya beberapa orang yang dapat menjawab secara lengkap dan jelas.
Saya sempat dibodohkan oleh arus dengan ikut mendukung secara terbuka melalui mediasosial untuk mendukung salah satu calon presiden saat pemilihan presiden tahun 2014. Ya saya akhirnya sadar untuk apa saya memberikan dukungan terbuka, lalu apa tujuan dibuatkannya bilik suara pada TPS jika semua rakyat sudah terbuka mendukung salah satu calon dan terkotak-kotakan akan dukungannya kepada calon yang didukungnya.
Seperti yang dikatakan asas rahasia pada pemilihan umum yaitu suara hak pilih setiap rakyat dijamin kerahasiahaanya oleh pemerintah atau dengan kata lain hasil pilihan yang masuk ke kotak suara tidak akan diketahui siapa pemiliknya dan memilih siapa, KECUALI orang yang bersangkutan mengutarakannya kepada halayak umum seperti mediasosial yang kini, esok dan seterusnya akan marak ditemui sehingga teman-kerabat-keluarga tahu kita,teman kita, sahabat kita mendukung calon mana.
Jika kita telah mengetahui lalu mengapa pemerintah menciptakan bilik suara, tentu kita tidak dapat menyalahkan kepada pemerintah semata yang berhak disalahkan adalah kita sendiri yang telah membuka rahasia hak suara kita pada masyarakat luas.
Dukungan Terbuka dan Tingkat Partisipasi Masyarakat
Partisipasi memilih menjadi salah satu kebutuhan agar keberlanjutan demokrasi dan sistem politik tidak mengalami hambatan. Pemilu sebagai instrumen utama demokrasi merupakan salah satu instrumen yang menjembatani suara rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk memberikan mandat kepada seseorang sebagai wakil rakyat atau sebagai penguasa yang akan duduk dalam pemerintahan.
Dalam sejarah pemilu-pemilu di Indonesia, partisipasi pemilih tidak jarang dimaknai sebagai salah satu indikator keberhasilan pemilu. Pemilu yang memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dianggap memiliki legitimasi yang tidak diragukan. Sebaliknya, apabila tingkat partisipasi kecil (rendah), seringkali dikaitkan dengan pertanyaan dasar, apakah hasil pemilu memiliki legitimasi yang kuat atau rendah.
Masih sangat jarang yang mencoba menghubungkan atau mengkaitkan tingkat partisipasi pemilih dengan kualitas demokrasi yang dihasilkan. Karena secara teoretik maupun praksis, hubungan antara besar dan kecilnya tingkat partisipasi dapat saja berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan proses pemilu dan hasil pemilu. Hal itu biasanya ditunjukkan pada perilaku pemilih, bahwa tingkat partisipasi pemilih yang besar atau rendah tergantung dari siapa yang memilih, apakah pemilih yang sudah rasional memberikan pilihan-pilihan atas dasar pertimbangan tertentu, ataukah pemilih yang lebih didominasi oleh mobilisasi, insentif tertentu atau kepentingan-kepentingan sesaat lainnya yang lebih besar.
Untuk Angka partisipasi Menurut data KPU pada Pilpres 2014, angka partisipasi tingkat nasional lebih rendah dari angka partisipasi Pileg 2014, sekitar 69,58 persen. Angka partisipasi ini juga meleset dari target KPU sebesar 75 persen.
Di negara-negara demokrasi umumnya menganggap bahwa lebih banyak tingginya angka partisipasi masyarakat dalampemilu (voter turnout) menunjukkan demokrasi pada negara tersebut sudah berjalan dengan baik dan tetap dipercaya oleh warga negara.
Dalam konteks yang lain, tingginya tingkat partisipasi juga menunjukkan bahwa warga negara terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik, baik yang aktif maupun yang pasif. Tingkat partisipasi yang tinggi dalam pemilu juga menunjukkan sejauhmana proses pemilu berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan, di mana warga negara yang memiliki hak dan kedaulatan diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya.
Sebaliknya, ada anggapan bahwa rendahnya partisipasi politik di suatu negara dianggap kurang baik bagi demokrasi karena memperlihatkan kurangnya perhatian dan kepedulian warga negara pada masalah politik. Gejala a-politik memang bukan semata-mata dipengaruhi oleh warga yang tidak peduli pada masalah politik, tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti kekecewaan politik, ketidak percayaan dan lain sebagainya.
Masih rendahnya Angka Partisipasi pada tahun 2014 berbeda dengan apa yang kita tonton pada media sosial yang dimana hampir semua kalangan artis, tokoh politik, mahasiswa, tetangga, teman kita sendiri yang berlomba menyuarakan dukungannya secara terbuka melalui pemasangan avatar dukungan pada calon tertentu.
Lalu apakah maksud tujuan dari seseorang untuk memasang avatar dan menyatakan dukungan terbuka melalui media sosial apabila tingkat partisipasi pada kenyataannya masih rendah dibawah target KPU yakni 75%? Dengan demikian mari kita sakralkan fungsi bilik suara dengan berhati-hati menyuarakan dukungan kepada masyarakat melalui media sosial, tanpa ikut berperan langsung dengan ikut aktif memberikan suara pada TPS pada pilkada 2017 mendatang.
Ikuti tulisan menarik lintang Abinaya lainnya di sini.