x

Iklan

Susianah Affandy

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pelibatan Anak Dalam (Kampanye) Politik

Tanpa kita sadari, dalam banyak kampanye politik terdapat mobilisasi anak-anak. Tindakan ini jelas melanggar UU 23/2002 dan UU 35/2014.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*Susianah Affandy

Ketua Bidang Sosial, Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Kongres Wanita Indonesia (KOWANI)

Seorang Ibu yang juga seorang aktivis kaget melihat anaknya hafal dengan sempurna mars Partai Politik. Kaget dan gusar, selama ini Ibu tersebut melakukan edukasi kepada masyarakat agar politik tidak melibatkan anak-anak karena itu melanggar UU No 23 tahun 2002 dan UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Selusur punya selusur, rupanya sang anak hafal mars Partai Politik dari tayangan televisi yang disiarkan secara massif setiap hari.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mata kita dengan mudah menyaksikan anak-anak (berada di tengah-tengah) kampanye politik. Tak hanya melalui medium televisi, anak-anak ini bahkan berada di tengah-tengah kampanye partai politik dalam helatan semacam Pilkades, Pilkada, Pemilu dan Pilpres. Ketika penulis mencoba menelusuri mengapa pelibatan anak dalam kampanye politik dianggap lumrah oleh masyarakat, sebagian besar Ibu-Ibu yang membawa anak tersebut berargumen tidaklah mungkin meninggalkan anak mereka di dalam rumah sendirian di kala sang Ibu turut kampanye.

Pelanggaran Hak Anak

Pelibatan anak dalam kegiatan politik adalah pelanggaran hak anak. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 pasal 15 huruf (a) menegaskan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari penyalanggunaan kegiatan politik.  Setiap orang yang melanggar hak anak ini mendapat ancaman pidana. Undang-undang No 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 87 menjelaskan ketentuan pidana bagi pelanggar hak anak yakni penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Ketika kampanye Pemilu 2009 banyak melibatkan anak-anak, protes masyarakat khususnya para aktivis perlindungan anak mendapat respon dari KPU dengan terbitnya Peraturan KPU. PKPU Nomor 15 tahun 2013 pasal 32 huruf (k) mengantur larangan melibatkan anak-anak dalam kegiatan kampanye politik. Sayangnya dalam pasal-pasal lainnya tidak ada penjelasan mengenai sanksi tegas bagi pihak-pihak yang melibatkan anak-anak dalam kampanye politik.

Dalam berbagai kampanye partai politik mulai dari Pilkada, Pemilu dan Pilpres, pelibatan anak-anak oleh banyak kalangan dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Hanya sedikit elemen masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap perlindungan anak melakukan protes kepada penyelenggara dan pengawas Pemilu. Laporan dan liputan media massa nasionalpun tidak menyurutkan banyak pihak untuk tetap melibatkan anak-anak dalam kampanye politik. Ironisnya, Bawaslu di banyak Propinsi yang mendapat laporan dengan “enteng” menyatakan kepada media massa bahwa pihaknya akan mempelajari laporan masyarakat. Dan kitapun sampai hari ini nyaris tidak mendengar bagaimana pemberian sanksi bagi pihak-pihak yang secara nyata melakukan mobilisasi anak-anak dalam aktivitas kampanye.

Dampak Sosial dan Pertumbuhan Anak

Penulis ingin mengajak merenungi bersama mengapa (harus) melibatkan anak-anak dalam kampanye politik. Apakah sesederhana itu alasannya mengajak anak karena mempertimbangkan mudharat jika mereka ditinggal di rumah sendirian? Mengapa kita sepertinya banyak yang “cuek”, tidak peduli dengan perihal ini? Jika anak-anak berada di tengah-tengah (kampanye) politik, apa yang mereka dengar dan lihat memiliki pengaruh besar dalam pertumbuhannya. Apalagi kampanye politik di era digital seperti saat ini, banyak hal tak terduga di masa silam terjadi pada hari ini. Beragam cara dilakukan untuk melakukan agitasi dan propaganda agar masyarakat tertarik dengan pasangan calon kandidat. Pun dengan beredarnya berita “Hoax” mengalir sama derasnya dengan berita fitnah dan adu domba ke semua lini masyarakat dengan fasilitas teknologi digital. Bagaimana jika anak-anak berada di dalam lingkaran proses politik tersebut?

Kita masih ingat ketika demokrasi pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung sejak tahun 2005, beragam dampak sosial mengikutinya. Kasus yang mencuat dengan adanya perbedaan pilihan pemimpin daerah di desa-desa (hasil penelitian) telah menimbulkan disharmoni dalam lingkungan keluarga. Meski kita tidak punya angka prosentasi yang pasti, banyak pasangan rumah tangga berkonflik satu sama lain hanya soal perbedaan pilihan dalam Pilkada. Lalu, bagaimana dengan anak-anak yang berada di tengah-tengah kerumunan massa turut heroik mendukung calon sebagaimana yang dicontohkan orang dewasa? Bagaimana dengan pertumbuhan anak yang setiap harinya disuguhi tayangan TV kampanye partai politik, entah itu lewat lagu atau tayangan berita tentang kampanye politik.

Betapa besarnya dampak yang diakibatkan oleh pelibatan anak dalam kampanye politik pada tumbuh kembang anak, penulis ingin mengajak kita melihat bagaimana pembentukan persepsi dalam diri seseorang. Tahapan perilaku seseorang dimulai dari pembentukan persepsi yang sangat menentukan pada proses pembentukan sikap dan akhirnya membentuk perilaku sosial. Usia anak sangat mudah menerima apapun rangsangan dari dunia di sekitarnya. Rangsangan berupa suara dan gambar-gambar akan diproses dalam pikiran. Proses seperti ini dijelaskan oleh Psikologi Sosial sebagai pembentukan persepsi. Drever dalam Sasanti (2003) menyebutkan bahwa persepsi sebagai pengenalan sesuatu dengan menggunakan panca indera. Bagaimana hasil bentukan persepsi masing-masing orang sangat ditentukan oleh latar belakang sosial, pendidikan dan pengalaman proses belajar dan juga pengaruh dari dalam diri.

Dalam hal penerimaan pesan dalam pikiran, anak yang berbeda dengan orang dewasa adalah pribadi yang masih memiliki keterbatasan dalam pengalaman berinteraksi sosial, terbatas ilmu pengetahuan sangat mudah menerima apapun dalam pikirannya, termasuk dalam hal ini pesan-pesan dalam kampanye politik. Anak yang sulit membedakan mana imajinasi termasuk materi kampanye (yang kategorinya belum terbukti) dengan fakta sosial tentu sangat berbahaya bagi pertumbuhannya manakala disuguhkan di depannya sebuah kompetisi politik. Anak akan melihatnya dan menganggapnya itu sebagai kebenaran.

Dalam kampanye politik yang penulis saksikan, anak-anak dengan riang gembira meneriakkan yel-yel dukungan kepada pasangan Pilkada. Jika anak-anak yang (misalnya) mendukung pasangan calon A bertemu dengan kawan-kawannya yang mendukung calon B, lalu apa yang akan terjadi? Apakah anak-anak ini akan berdebat dan mengambil sikap saling bully sebagaimana dilakukan orang dewasa di dunia media sosial? Berdasarkan pengalaman pribadi, apa yang penulis saksikan di masa kecil dalam setiap Pemilu, yang ketika itu masyarakat harus mendukung partai penguasa, kalau tidak mendukung dianggap (bagian) dari keturunan PKI itu sampai kini masih terekam jelas. Dan pada moment Pilkada serentak kini cara-cara fitnah dan adu domba juga banyak dilakukan oleh tim pendukung dan simpatisan kandidat pemimpin daerah.

Mengakhiri tulisan ini, pelibatan anak dalam (kampanye) politik yang penulis saksikan telah melahirkan anak-anak yang memiliki stereotyping (pelabelan negative) dan sikap agresif terhadap orang-orang yang berbeda (pilihan politik) dengannya. Pertanyaanya, mengapa kini banyak orang dewasa mudah sekali marah dengan pilihan yang berbeda dengannya, menghukumi orang-orang yang (bahkan belum dikenalnya) hanya karena moment Pilkada. Apakah perilaku orang dewasa tersebut adalah hasil dari bentukan persepsi dan sikap di masa kecilnya yang telahg terbiasa dalam kampanye politik sebagaimana dijelaskan para pakar Psikologi Sosial? Wallahu’alam

Sumber foto : google.com

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Susianah Affandy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler