x

Musisi Dian Hadipranowo atau Dian HP dan kawan-kawan mendatangi Rumah Lembang untuk mendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017, 5 Januari 2017. TEMPO/Larissa

Iklan

surya ferdan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bertarung Sampai Akhir

Adu strategi dalam politik itu biasa. Menggunakan isu SARA dalam berpolitik itu sangat berbahaya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Melihat tayangan berita soal Pilkada DKI Jakarta terus terang memang sangat melelahkan. Caci maki, sumpah serapah, fitnah dan berbagai macam berita bohong berdesakan mencari perhatian. Namun inilah yang harus diterima sebagai pelajaran dari sistem demokrasi yang membolehkan siapapun untuk berpendapat apapun. Bahkan Plato dan Aristoteles pun sudah menjabarkan buruknya sistem demokrasi. Karena itulah dalam sistem politik demokrasi ini diperlukan hukum sebagai penjaga kesepakatan hidup bersama.

 

Berawal “…Jangan mau dibohongi pakai Surat Al-Maidah …” yang dikutip dari video panjang oleh seseorang untuk tujuan tertentu, seorang calon kepala daerah harus menerima segala macam cercaan. Bahkan yel-yel yang sarat kekerasan “Gantung Ahok,” “Sate Penista Agama,” menjadi seperti lagu yang begitu indah didengar sebagian orang yang tidak ingin calon kepala daerah yang berbeda dari keyakinan keagamaannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

“Untung tak dapat diraih, Malang tak dapat ditolak,” tim pemenangan Ahok yang dalam bayangan mereka mungkin akan lebih mudah mempromosikan pasangan calonnya, ternyata harus bekerja lebih keras. Prestasi dan hasil kerja nyata yang telah ditoreh pasangan yang diusungpun seakan terlupakan dan tidak berarti, tatkala peluru “penistaan/penodaan agama,” dilepaskan pesaingnya. Hari demi hari serangan “penodaan agama” terus digulirkan bahkan sampai mengundang reaksi yang begitu besar dari seantero negeri.

 

Tim pemenangan Ahok-Djarot harus berhadap-hadapan dengan 2 tim pemenangan pesaing yang sedikit banyak sangat kompak menggunakan peluru “penodaan agama.” Bukan hal mudah untuk berkompetisi disaat beban dipunggung jauh lebih berat dari pesaing lainnya. Ini yang saya yakin dihadapi oleh tim pemenangan Ahok-Djarot. Namun siapapun melihat, tim ini bukanlah tim yang cengeng, dan mudah curhat di media sosial. Mereka terus bergerak, terus berupaya memperjuangkan keyakinannya sampai kemenangan ada ditangan mereka.

 

Ahok tampak seolah sudah menjadi “musuh bersama.” Berbagai kepentingan untuk menjatuhkan Ahok bersatu. Barisan kecewa berkumpul bersama barisan sakit hati, barisan pembenci bergandengan dengan politisi menyeret massa yang masih belum tegak berdiri. Semua demi “Ahok tidak jadi Gubernur.” Pilkada yang harusnya bicara program untuk atasi masalah rakyat, direduksi sedemikian rupa menjadi “Moslem vote Moslem,” “Jangan Piilih Gubernur Arogan Tukang Gusur,” “Ahok harus dipenjara.”

 

Dalam situasi yang demikian, tentu juga akan membangun kohesivitas didalam lingkaran tim pemenangan Ahok-Djarot sendiri. Berbagai kepentingan pendukung Ahok merekatkan diri dan kompak berjuang untuk kemenangan calon yang diusungnya. Kalau pada awal masa wacana pencalonan, disana-sini masih terdengar perdebatan diantara para pendukung. Hal ini makin tidak terdengar beriringan dengan desingan peluru penistaan/penodaan agama yang terus mengujam. Mereka melawan, dengan sekuat-kuatnya perlawanan. Berupaya meyakinkan bahwa penistaan/penodaan hanyalah peluru politik yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keyakinan keagamaan yang sebenarnya.

 

Hampir setiap hari pula, di berbagai media 2 kelompok yang saling berkompetisi ini berupaya meyakinkan publik dengan peluru yang dibawanya masing-masing. Satu kelompok dengan jumlah anggota yang mungkin jauh lebih besar dari kelompok lainnya terus menembakkan peluru penistaan/penodaan. Berkebalikannya, kelompok lain terus berupaya menangkis dengan segala tameng yang mereka punya sambil menembakkan peluru hasil kerja pasangan yang diusungnya.

 

Untuk sekedar mengalami dan melihat pergulatan strategi diantara para pendukung pasangan calon, tentu persaingan diantara kedua kelompok ini cukup seru dan mendidik masyarakat. Namun bersamaan dengan itu, cukup mencekam juga jika membayangkan strtegi politik ini benar-bernar “dijiwai” oleh masyarakat awam sebagai pertentangan yang sungguh terjadi. Bukan lagi soal pertentangan politik yang bisa selesai dengan adanya kepentingan bersama yang baru.

 

Dari persaingan diantara kedua kelompok besar para pendukung pasangan calon ini masyarakat banyak belajar tentang strategi politik dari masing-masing tim. Masyarakat jadi tahu bahwa dalam politik, segala cara bisa digunakan sebagai strategi untuk memenangkan pasangan yang didukungnya. Dan masyarakat akan semakin terbuka menyaksikan bahwa dalam persaingan politik seringkali digunakan cara “Kelemahan/kekurangan lawan adalah peluru untuk merusak prestasinya,” dan “diantara peluru yang banyak, Suku Agama, Rasial adalah peluru yang punya daya ledak tinggi.”

 

Semoga setelah proses perhitungan suara nanti, siapapun yang terpilih akan legowo diterima oleh yang kalah. Siapapun Gubernur-Wakil Gubernur DKI 2017-2022 nanti harus mampu merangkul kesemuanya.

 

Ikuti tulisan menarik surya ferdan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu