x

Ilustrasi M.E.A. (Masyarakat Ekonomi Asean).

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

ASEAN dan Peluang Ekonomi Tarif Nol ~ Andre Notohamijoyo

Benturan kepentingan di antara sesama negara anggota menyulitkan ASEAN menemukan titik ekuilibrium yang mempertemukan kepentingan tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Andre Notohamijoyo

Delegasi RI untuk Perundingan Bidang Pertanian dan Kehutanan ASEAN

Tahun ini, Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) genap berusia 50 tahun. Pada usianya yang setengah abad, ASEAN sukses menjembatani kerja sama antar-pejabat negara anggota, tapi, sayangnya, masih asing bagi masyarakatnya. Musababnya, kerja itu terseret ke dalam rutinitas pertemuan dan basa-basi diplomatik yang nyaris tak berujung. Para pejabat sibuk membahas draf naskah kerja sama, tapi realisasinya tak pernah ada. Proyek kerja sama ASEAN yang telah riil terbangun mungkin hanya pabrik pupuk ASEAN Aceh Fertilizer (AAF), yang kini tutup akibat kekurangan pasokan gas dan salah urus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Benturan kepentingan di antara sesama negara anggota menyulitkan ASEAN menemukan titik ekuilibrium yang mempertemukan kepentingan tersebut. Kondisi itu dipengaruhi oleh setidaknya dua hal: posisi geografis kawasan dan ketiadaan kepemimpinan. Kawasan Asia Tenggara dihubungkan oleh bentang geografis yang beragam, dari Laut Andaman, Greater Mekong Subregion alias Indochina, Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Laut Tiongkok Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Pulau Kalimantan, hingga Laut Sulawesi. Masing-masing subkawasan memiliki fokus pertumbuhan ekonomi yang berbeda, sehingga sulit mewujudkan kerja sama.

Ketiadaan kepemimpinan merupakan masalah berikutnya. Dalam 20 tahun terakhir, tidak ada satu pun pemimpin negara ASEAN yang berani mengambil inisiatif kerja sama. Masalah penanganan arus pengungsi Rohingya dan kabut asap adalah contohnya. Hal tersebut seolah membenarkan tesis Bremmer (2013) bahwa situasi politik global dalam masalah akibat ketiadaan kepemimpinan di berbagai isu atau G-zero (G-0).

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) terbukti sulit diwujudkan karena ketiadaan kepemimpinan tersebut. Visi MEA menjadikan kawasan sebagai produksi dan pasar tunggal nyaris seperti mimpi di siang bolong, karena masing-masing negara justru berlomba-lomba menjadikan negara lain sebagai pasar tunggal dan mereka sendiri sebagai produksi tunggal. Lee (2006) menyatakan bahwa ASEAN bersandar pada mimpi integrasi dan satu komunitas, tapi cenderung gagal karena berbasis pada kerja sama antarpemerintah yang lemah.

Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang terkait langsung dengan pertumbuhan ekonomi di seluruh kawasan. Itu sebabnya Indonesia terlibat dalam hampir seluruh kerja sama subregional, seperti Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle, Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle, dan Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area.

Indonesia harus mengambil inisiatif kepemimpinan. Tapi dukungan dari pengusaha Indonesia diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut. Indonesia perlu mendorong investasi bersama dengan pendekatan baru yang lebih mengedepankan kebutuhan masing-masing wilayah pertumbuhan.

Hal yang perlu diperhatikan adalah tiap negara ASEAN memiliki modalitas yang berbeda dalam perdagangan interna-sional, di mana berlaku skema Generalized Scheme of Preferences (GSP). Skema khusus dari negara-negara maju ini menawarkan perlakuan istimewa non-timbal balik untuk impor produk dari negara-negara berkembang, seperti tarif rendah atau nol. Negara pemberi preferensi secara sepihak menentukan negara dan produk mana yang masuk dalam skema mereka. Dasar pemberian GSP mengacu pada ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang dinamai The Enabling Clause.

Beberapa negara maju telah memberikan fasilitas GSP tersebut, seperti anggota Uni Eropa dan Amerika Serikat. Negara yang berhak menerima GSP disebut sebagai beneficiaries. Fasilitas tersebut memungkinkan negara-negara berkembang memperoleh manfaat pengurangan tarif untuk menembus pasar utama negara maju.

Modalitas tiap negara anggota ASEAN sebagai beneficiaries GSP tidak sama. Uni Eropa, misalnya, memberikan fasilitas GSP yang disebut sebagai Everything But Arms (EBA) kepada Kamboja dan Laos. Fasilitas tersebut memberikan tarif nol untuk seluruh produk dari kedua negara, kecuali produk militer--termasuk persenjataan.

Negara-negara ASEAN yang bukan merupakan beneficiaries EBA dapat memanfaatkan fasilitas tersebut dengan membangun industri di Kamboja dan Laos, lalu mengekspor produk ke Uni Eropa. Otomatis tarif preferensi akan dinikmati oleh para investor. Negara ASEAN lainnya yang memiliki fasilitas tarif preferensi khusus ke Uni Eropa adalah Filipina dengan skema GSP Plus (GSP+). Skema tersebut diberikan Uni Eropa bagi negara-negara yang perekonomiannya dikategorikan rentan.

Indonesia harus mampu mendorong pengusaha untuk menjadi investor industri berorientasi ekspor di negara-negara ASEAN yang mendapat tarif preferensi di Uni Eropa. Perlu perubahan pola pikir pengusaha Indonesia yang bersifat "ke dalam" menjadi "ke luar". Langkah keluar dari zona nyaman di dalam negeri perlu diubah bila Indonesia ingin menjadi pemimpin atau bahkan pemenang di kawasan. Tanpa dukungan pengusaha nasional, kepemimpinan Indonesia akan sulit diwujudkan.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler