x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Paranoia kepada Buku

Kecemasan penguasa terhadap buku digubah oleh para penulis menjadi fiksi yang sebagian di antaranya mengusik masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika orang berkuasa, sangat mungkin ia menempatkan pikirannya sebagai satu-satunya kebenaran yang tidak boleh dibantah. Jamak belaka, penguasa selalu didera rasa cemas. Mereka tidak mampu rileks. Mereka menganut slogan ‘Paranoia is total awareness’. Mereka tidak mau membuka mata dan telinga sedikitpun bahwa kebenaran mungkin berada di tempat lain, bahkan yang tidak mereka sukai. Mereka cemas, orang-orang yang mengusung jalan pikiran berbeda akan mengusik hegemoni mereka.

Paranoia dan rasa cemas menjadikan buku terlihat bagai ancaman yang berbahaya di mata mereka. Mereka cemas pada apa yang tertulis dalam buku: sejarah, ingatan, gugatan, bahkan sekedar diskripsi tentang sebuah peristiwa. Mereka cemas, apa yang tertulis akan mengilhami yang membaca, memantik semangatnya, menyadarkan pikirannya, dan bahkan menggerakkannya untuk melawan.

Didasari oleh rasa takut, prasangka, serta hegemoni atas kebenaran, kaum Nazi menjadikan buku sebagai kayu bakar. Tak boleh ada pikiran berbeda yang beredar di masyarakat, tak boleh ada buku yang mengabadikan pikiran berbeda. Para penguasa yang merasa paling benar lebih suka memilih jalan pintas daripada menghabiskan waktu untuk beradu argumentasi dan meladeni para penulis. Adu argumentasi hanya akan membukakan wajah mereka yang sebenarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahkan, penguasa yang cemas akan meringkus kisah fabel sekalipun. Di Afrika Selatan, pada masa kaum putih apartheid berkuasa, Black Beauty, novel karya Anna Sewell dilarang beredar. Penguasa apartheid barangkali menangkap ruh yang tersembunyi dalam kisah fiksi semacam itu. Mereka khawatir dampak dahsyat dari apa yang diimajinasikan penulis: pergolakan, perubahan, dan—yang terpenting—jatuhnya kekuasaan.

Dalam fiksi yang lain, Voices karya Ursula K. Le Guin, dikisahkan perihal Ansul, sebuah kota yang damai dan terisi oleh perpustakaan, sekolah, serta kuil-kuil pemujaan. Tapi itu sudah sangat lampau, dan penakluk kota pantai menetapkan pelaku kegiatan membaca dan menulis dapat dihukum mati. Dan mereka meyakini Oracle House, tempat menyimpan sedikit buku yang berhasil diselamatkan, dihuni oleh iblis. Tapi bagi Memer, gadis berusia 17 tahun, rumah ini adalah tempat mengungsi, belajar, melakukan ritual, sekaligus menyimpan kenangan—satu-satunya tempat yang ia merasa sungguh-sungguh aman. Dalam novel  itu, ketakutan terhadap pikiran menjadi alasan penguasa untuk menghancurkan buku.

Buku, ingatan, dan pikiran juga menempati posisi sentral dalam novel Nineteen Eighty-Four karya George Orwell. Bung Besar (big brother, saudara tua) mengawasi seluruh penduduk Inggris ketika negeri ini, dalam cerita Orwell, menjadi negara sosialis sekaligus fasis pada tahun 1984. Di bawah pengawasan yang sangat ketat, seorang warga memberanikan diri menuliskan pikirannya dalam jurnal harian—tindakan yang sangat terlarang.

Orwell menggambarkan bagaimana kekuatan Bung Besar sanggup menaklukkan warga pembangkang dengan cara mencuci otaknya. Bung Besar tidak membiarkan ada satu lubang memori pun yang tidak terisi oleh kata kesetiaan kepada dirinya. Seluruh buku dan teks tertulis lainnya harus dihancurkan. Dalam fiksi-fiksi lain, buku dikisahkan sebagai karya yang harus dihancurkan karena pikiran di dalamnya dianggap mengancam ketenteraman, mengganggu kekuasaan, dan mengusik hegemoni kebenaran yang dipegang segelintir orang.

Gambaran tentang masyarakat AS masa depan yang suram dituangkan Ray Bradbury dalam novel mashurnya, Fahrenheit 451 (terbit 1953). Dua peristiwa memengaruhi daya kreatif Bradbury: peristiwa pembakaran buku oleh Nazi pada 1933 dan sensor terhadap buku di AS yang berlangsung pada era McCarthy yang sangat antikomunis dan mencurigai nyaris setiap warga Amerika masa itu yang terkesan kekiri-kirian. Karya fiksi Bradbury itupun sempat dilarang beredar dan dibaca, khususnya di sekolah-sekolah. Begitulah, bahkan karya fiksi pun telah mencemaskan para penguasa yang paranoid. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler