x

Seorang warga tertidur sambil membawa sejumlah makanan, yang disiapkan untuk menunggu dibukanya toko Apple. Animo masyarakat begitu besar untuk mendapatkan sejumlah gadget terbaru keluaran Apple. Jiangsu, Tiongkok, 19 September 2015. Getty Images

Iklan

surachman nugroho

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Budaya Baca di Era Sosial Media

Orang zaman sekarang prinsip berbeda, makan gak makan yang penting connect

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pernahkah Anda memperhatikan situasi tempat-tempat umum di sekitar kita. Misalnya di ruang tunggu bandara, stasiun kereta, dan halte bushway. Aktivitas apa yang biasa dilakukan oleh mayoritas orang (untuk tak mengatakan semuanya) saat mengisi waktu senggang tersebut? Kita akan dapati pemandangan yang seragam, yaitu mayoritas akan kita lihat orang-orang yang asik dengan gadget. Hampir tidak ada yang memegang buku bacaan. Kalaupun ada, ini sangat jarang sekali terjadi. Fenomena ini juga bisa kita dapati dalam acara pertemuan-pertemuan di masyarakat, baik itu saat arisan, atau reuni pertemanan, maka fenomena gadget minded akan sangat mudah dijumpai. Dunia ada di telunjuk jemari. Demikian kira-kira adagium yang menggambarkan kondisi, dimana gadget menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Pakar marketing Hermawan Kartajaya pernah berkata dalam sebuah seminar di Hotel Ritz Carlton Jakarta, “kalau orang zaman dulu prinsipnya makan gak makan yang penting kumpul. Tapi orang zaman sekarang berbeda, makan gak makan yang penting connect”. Maksudnya adalah connect dengan internet, yang seringkali berupa social media.

Budaya Baca Kita

Islam adalah peradaban teks, demikian tulis Nidhal Gousoum dalam karyanya “Islam dan Sains Modern” (2014). Pernyataan dari professor dari American University of Sharjah, Uni Emirat Arab tersebut sejalan adanya dengan ayat dari kitab suci Al Quran yang pertama turun, Iqra, Bacalah! Profesor yang memiliki penguasaan fasih dalam khazanah ilmu klasik Islam dan juga sains modern, mengingatkan bahwa Islam sebagai sebuah agama dan ajaran, bukan hanya sangat menghargai, dan menghormati teks, bahkan lebih dari itu tak bisa dipisahkan dengan teks. Karena memang sumber utama ajaran Islam harus dirujukkan kepada Al Quran dan Hadist, juga Sunnah. Dimana hal ini menuntut ketekunan, kegigihan dan keuletan dalam kegiatan membaca. Tanpa adanya budaya baca yang tinggi, akan sulit rasanya ajaran Islam dapat dijalankan secara sempurna (kaffah). Sayangnya, ke kaffah an dalam ber-Islam hari ini lebih nyaring disuarakan dengan sudut pandang politik berupa pengauasaan akan kursi kekuasaan. Dan cenderung mengabaikan sisi intelektualitas berupa menyuburkan tradisi intelektualitas seperti tradisi memabaca. Padahal, membaca merupakan firman pertama dan ini berarti juga perintah pertama Tuhan kepada kaum muslim.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tanah air kita, sebagai negeri muslim terbesar di muka bumi, ternyata tak mampu menjadi teladan dalam hal budaya baca. Dari data yang pernah dirilis oleh UNESCO tahun 2012, indeks baca masyarakat kita 0,001. Artinya dari jumlah seribu penduduk, hanya ada satu orang yang mau dan mampu membaca secara serius. Penelitian lainnya, misalnya dari Central Connecticut State University, USA, ternyata hasilnya senada dengan informasi dari UNESCO, yang menempatkan tanah air kita pada posisi ke-60 dari total 61 negara yang disurvey perihal budaya baca. Pernahkah Anda membayangkan, bagaimana jika ayat Al Quran yang pertama kali turun bukan berbunyi Iqra’ maka akan seperti apa wajah budaya baca bangsa kita ini. Jika ayat yang pertama kali turun saja tak mampu meng encourage para pemeluknya untuk diyakinkan akan penting dan perlunya membaca. Adakah yang salah dengan ayat tersebut ? Atau justru persepsi dan pemahaman kita yang kurang tepat akan makna ayat yang pertama kali turun tersebut. Hingga tradisi membaca kita menjadi babak belur tak karuan seperti sekarang ini.

Data penelitian tentang rendahnya budaya baca bangsa kita di atas, mungkin bagi sebagian kalangan masih akan diperdebatkan dan digugat validitasnya. Namun indikasi lainnya dapat kita lihat pada kondisi dunia perbukuan tanah air. Terkenal istilah kutukan 3,000 di kalangan perbukuan tanah air, dimana setiap judul buku yang dicetak umumnya hanya sejumlah 3,000. Bahkan saat ini banyak buku yang cetak terbatas di bawah angka 3,000. Jika kita bandingkan dengan Turki, yang jumlah penduduknya sepertiga kita, namun rata-rata per bukunya dapat dicetak tiga kali lipat kita, sejumlah 10,000.

Perihal buku, yang seringkali dijadikan keluhan kebanyakan orang terkait dengan harga yang dianggap mahal. Namun kita bisa saksikan betapa bioskop XXI di kala weekend tak pernah sepi. Juga fakta menarik lainnya, misalnya beberapa jenis gadget memilih tanah air sebagai tempat launching perdana di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa perkara rendahnya budaya baca tidak sekaku karena harga. Juga bukan karena masyarakat tak mampu membelinya. Namun masalahnya adalah, karena cinta dan perhatian kita yang cukup rendah dalam menghargai sebuah budaya membaca. Jika di Amerika, seorang pemimpin perusahaan merasa belum beradab jika tidak mampu menyediakan ruang perpustakaan di perusahaannya. Maka di sini sebaliknya, mungkin beberapa bos bos perusahaan akan terheran-heran dengan anak buahnya yang suka membaca. Seloroh yang acap terdengar ialah, “Buat apa membaca buku-buku, toh juga takkan berdampak bagi karier dan belum tentu bisa diterapkan dalam pekerjaan”. Bagi masyarakat yang imajinasinya masih terjebak sebatas pada urusan makan dan kenyang, keindahan bacaan memang tak mampu dibayangkannya. Kita akan kesulitan memahami kata Jorge Luis Borgez yang mengatakan, “I have always imagined that paradise will be a kind of library”.

Kepungan Sosial Media

Nicholass Carr, pernah menerbitkan hasil penelitiannya tentang dampak internet bagi kehidupan, dalam buku The Shallow (2012) ia menyimpulkan, ternyata internet menyebabkan kedangkalan berpikir. Luberan informasi ternyata tidak ekuivalen dengan meningkatnya kecerdasan penggunanya. Di tengah kehidupan berlimpah ruah informasi seperti sekarang ini, ternyata justru menghilangkan kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam. Kelimpah ruahan informasi. Ironisnya, ternyata limpahan informasi tidak parallel dengan limpahan saling pengertian sesame kita. Sebaliknya justru berbarengan dengan semakin meruyaknya ujaran kebencian, permusuhan, dan hoax yang menyebar sangat cepat seperti cendawan di musim hujan di tengah-tengah kehidupan kita.

Mengapa hoax begitu mudah menyebar dalam lingkungan kita, salah satunya karena budaya baca di masyarakat kita masih sangat rendah dan belum mapan. Akibatnya daya berpikir kritis kitapun tak cukup memadai untuk merespon informasi yang datang bertubi-tubi. Dan kebiasaan mempertanyakan validitas informasi juga belum terbiasa. Jika kita bandingkan dengan Barat, di sana budaya visual atau menonton televisi datang belakangan setelah budaya baca kuat di masyarakat. Sedangkan di kita, ketika kita masih tertatih-tatih sempoyongan menghadapi budaya menonton televisi yang mengalahkan budaya baca, saat ini kita tambah dihajar dengan hadirnya budaya social media. Maka semakin beratlah upaya untuk menegakkan budaya baca di tengah-tengah kita. Maka tak mengherankan hoax cepat meruyak dan mengoyak sendi-sendi kehidupan sosial kita. Fenomena hoax semakin bertambah massif terutama bila dikaitkan dengan momentum politik seperti Pilkada dan Pemilu Presiden. Jika kita tidak berhati-hati dan menyikapi secara cepat, maka fenomena hoax ini akan sangat mungkin menyebabkan disintegrasi sosial bagi masyarakat kita. Masyarakat akan menjadi serupa buih yang dipermainkan oleh informasi-informasi yang belum tentu valid. Repotnya, informasi yang belum tentu valid tersebut sudah buru-buru dishare ke berbagai saluran informasi. Akibatnya semakin besar laju bola salju informasi tak valid ini. Para penyebar hoax terus beraksi karena mereka menyadari rumusan berikut, “sebuah kebohongan jika disampaikan terus menerus maka pada akhirnya ia akan dianggap sebagai kebenaran”.

Etos Intelektual

Setiap peradaban besar jika kita teliti secara mendalam, pastilah memiliki etos intelektual yang tumbuh di dalamnya. Etos intelektual akan memacu setiap anggota masyarakatnya (tak peduli apapun agamanya) untuk menciptakan karya terbaiknya. Etos intelektual tak terlihat secara gamblang, namun sangat vital perannya. Ia berperan seperti jiwa terhadap raga, serupa cahaya bagi mata. Tanpa jiwa raga tak bisa apa-apa, juga takkan mampu menghasilkan karya yang bernilai, karena raga akan menjelma zombie jika ia tanpa jiwa. Sedangkan mata, jika tanpa cahaya, ia akan kesulitan menyaksikan segenap keindahan ciptaan Tuhan.

Etos intelektual, bisa dilihat dari banyak aspek. Salah satunya dapat terlihat melalui apresiasi terhadap teks, baik itu berupa budaya membaca, menulis, dan juga riset. Namun tak berhenti pada ketiga kegiatan tersebut. Karena faktanya ketika ketiga kegiatan tersebut dilakukan tapi tetap bisa saja sebuah masyarakat tidak tumbuh menjadi tercerahkan. Jadi ketiga aktivitas intelektual tersebut haruslah terkait erat dengan sisi ilahiyah (spiritual). Dan ilahiyah disini tak bisa dipisahkan dengan kemanusiaan. Artinya pendasaran ilahiyah dan insaniyah harus terpadu. Dan keduanya harus berporos pada keadilan sebagai parameternya. Dengan demikian aktivitas intelektual memiliki tujuan yang jelas dan tidak terjebak pada absurditas ilmu untuk ilmu atau seni untuk seni. Tapi ilmu dan seni untuk kebermanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas, dengan memberikan pencerahan, inspirasi dan harapan akan kehidupan lebih baik yang akan menghantarkan masyarakat menuju kepada kesempurnaan dan kebahagiaan. Dengan prasyarat seperti inilah budaya baca perlu kita tegakkan di tengah-tengah kita. Sehingga filosofi Iqra’ dapat tercipta dan memberikan manfaat serta berkah yang luas bagi segenap makhluk di bumi manusia seisinya.

Rachman Wellmina

Founder & Chairman Komunitas Epistemis “Percikan” Jakarta

Peneliti pada Center for Living Islamic Philosophy (CLIP)

Juara Lomba Raja Buku Tingkat Mahasiswa Se-Jateng & DIY 2005

Ikuti tulisan menarik surachman nugroho lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu