x

Iklan

Wawan Purwandi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Akselerasi One Village One Product (OVOP) melalui BUMDES

Dana Desa jumlahnya sangat besar dan tiap tahun meningkat, agar dapat menimbulkan multiplier effect yang masif Desa disarankan bangun BUMDES

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Prof. Morihiko Hiramatsu yang berasal negara Jepang mungkin tidak terkenal seperti layaknya pemenang nobel ekonomi yang mendunia. Namun karyanya pada tahun 1980-an masih berkembang hingga kini di berbagai belahan negara, baik Malaysia, Philipina, Indonesia, Kamboja, Vietnam, Thailand, negara-negara di Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur , dan Amerika Selatan.  Beliau mengenalkan konsep One Village One Product (OVOP) atau satu desa menghasilkan satu produk unggulan.  OVOP bertujuan untuk meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat desa agar skala ekonomi usaha tercapai, kualitas produk meningkat, hingga pemasaran lebih besar.  OVOP sendiri tidak saja berbasis pada keunggulan produk di desa tersebut namun juga mengarah kepada kemampuan sumberdaya manusia dalam menciptakan nilai tambah. 

Kalau pembaca pernah mengunjungi wilayah Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat maka akan ditemui deretan rumah penduduk yang memproduksi dan menjual gerabah/keramik.  Sama halnya dengan wilayah Kasongan di Bantul, Provinsi DI Yogyakarta juga memproduksi gerabah/keramik.  Itu adalah contoh OVOP yang telah eksis sejak puluhan tahun lalu. Dengan sentuhan konsep Prof. Morihiko Hiramatsu maka pengalaman desa-desa di Indonesia diatas, dikembangkan lagi oleh pemerintah sejak tahun 2008.  Banyak desa-desa yang kini memproduksi kerajinan, makanan dan minuman olahan, hingga produksi pakaian tradisional. 

Jika dibandingkan dengan desa-desa yang ada di Indonesia yang mencapai 70 ribu desa maka jumlah desa yang menerapkan OVOP masih relative kecil.  Tidak mudah mengembangkan usaha dan/atau kemampuan lain diluar apa yang telah menjadi kebiasaan masyarakat selama ini, khususnya dalam bidang industri  mikro dan kecil.  Hasil survei BPS (2015) mengidentifikasi kendala modal sebagai kendala utama (38,84 %).  Selanjutnya pemasaran (25 %), bahan baku (22,29 %), ketrampilan (2,75 %), BBM/energy (1,6 %), upah buruh (1,04 %), transportasi (0,86 %) dan lainnya (7,63 %). Data tersebut menunjukkan bahwa permasalahan di desa cukup kompleks untuk mengembangkan satu usaha yang menjadi produk unggulannya.   Artinya persoalan persoalan tersebut harus diselesaikan secara menyeluruh dan bukan parsial.  Tidak cukup hanya dengan kredit murah maka usaha akan berkembang. Begitu pula dengan kendala lainnya.

OVOP dalam konsepnya berusaha memecahkan persoalan-persoalan tersebut secara integrative  namun dari sisi kelembagaan perlu dikembangkan sebagai unit usaha dalam skala desa.  Ini penting mengingat sebagian besar masalah-masalah diatas apabila dipecahkan dalam skala usaha individu/perseoragan saja di tingkat desa maka sulit untuk berkembang.   Misalnya permintaan untuk memenuhi pemasaran akan mudah dilakukan dalam unit usaha yang besar,  termasuk memenuhi kebutuhan permodalan.  Termasuk yang penting adalah fasilitasi pembinaan usaha yang akan mudah dilakukan secara berkelompok ketimbang usaha individu/perseorangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kehadiran Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang dikembangkan oleh Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,  dapat menjadi media pengembangan OVOP.   Meskipun BUMDES dapat menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelolaa oleh desa dana tau kerjasama antar desa, namun BUMDES juga dapat bersifat spesifik untuk mengembangkan satu produk unggulan desa. BUMDES dapat bertindak sebagai lembaga penyedia  permodalan,  lembaga pemasar hingga penyedia bahan baku.  Meski demikian,  sebagai unit usaha maka BUMDES juga dituntut lebih baik pengelolaannya, mulai dari partisipasi dan transparansi pengelolaan keuangan hingga pertangungjawabannya di depan masyarakat desa.  Tentu saja, laba bersih yang dihasilkan menjadi pemasukan sendiri bagi keuangan desa. 

Mengakselerasi OVOP melalui BUMDES akan menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat desa.  Pertama, merubah “mindset” bahwa usaha kelompok akan lebih baik ditingkat masyarakat desa ketimbang perseorangan/individu.  Tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata namun nilai-nilai social juga tetap dipertahankan sesuai karakteristik desa.  Mindset yang pentig adalah OVOP juga dapat meningkatkan pendapatan secara keseluruhan, pelibatan tenaga kerja lebih banyak serta mengembangkan “brand”  desa masing-masing.    

Kedua, memilih produk/usaha unggulan yang secara bisnis layak  melalui BUMDES.  Tentu saja ini tidak mudah mengingat hal tersebut sangat bergantung pada kondisi sumberdaya local desa.  Bisa saja produk/usaha yang sudah “eksis” menjadi bagian usaha BUMDES namun akan lebih menantang apabila produk tersebut belum ditetapkan sebagai produk/usaha unggulan desa.   Ini membutuhkan proses yang sistematis, mulai dari  tujuan pemilihan produk/usaha, sumber pendanaan, level partisipasi hingga pemasaran sehingga pada akhirnya produk/usaha tersebut menjadi kebanggaan masyarakat desa.

Ketiga, desain pembinaan yang kurang berkelanjutan.  Tantangan ini seringkali sulit dipenuhi, baik dari sisi pemerintah maupun pelaku usaha.  Pembinaan usaha/produk selama ini terpisah dan sifatnya “ad-hoc” pada tema-tema tertentu, misalnya hanya berkaitan dengan pemasaran saja.  Apalagi pendampingan juga bersifat massal dimana beberapa fasiliator untuk puluhan desa.  Model pembinaannya kurang fleksibel dan kurang menyentuh pada masalah-masalah teknis yang ditemui masyarakat desa.  Misalnya saja terkait dengan pengembangan desain atau model yang diterima pasar.  Penting kiranya pembinaan ini dilakukan secara paripurna sampai usaha BUMDESnya berhasil dan tanpa pendampingan lagi. 

Keempat,  bentuk unit usaha BUMDES.  Unit BUMDES dapat berbentuk lembaga usaha, seperti PT, CV dan sebagainya serta lembaga keuangan mikro.  Dengan skema tersebut maka jika berorientasi pada pendapatan maka BUMDES akan terjebak pada usaha simpan pinjam yang notabene berbentuk lembaga keuangan mikro. Karena itu penting agar OVOP berkembang maka unit usaha dalam bentuk PT, CV dan sebagainya juga menjadi perhatian.  Hal ini menyangkut standarisasi produk/usaha, baik standar teknis, halal dan lain sebagainya.  Bahkan untuk mendapatkan pendanaan yang lebih besar,  bentuk usaha menjadi perhatian utama berbagai pihak.

Diluar tantangan akselarasi OVOP melalui BUMDES diatas pada dasarnya tantangan lainnya cukup beragam. Namun yang terpenting adalah semua pihak memahami bahwa OVOP dapat dikembangkan lebih besar melalui BUMDES.  Tidak cukup BUMDES hanya berdiri dengan ditopang pendanaan APBN dan APBD saja namun seharusnya dapat menjadi penggerak ekonomi desa.  Penting bagi aktor-aktor penggiat ekonomi desa untuk mengembangkan OVOP pada desa-desa yang dinilai memiliki keunggulan, baik dari dimensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, factor geografis/letak maupun pasar.  Mulai dari usaha keripik, kerajinan batu alam, usaha benih ikan, kerajinan sepatu, kerajinan perhiasan,  hingga industry makanan ringan dan sebagainya. 

Secara makro,  penting pula dukungan semua pihak agar pembinaan OVOP melalui BUMDES dilakukan semua pihak.  Mulai dari kebijakan dan layanan perbankan, dukungan standarisasi produk,  dukungan pemasaran lewat IT hingga anggaran yang kontinyu dari pemerintah dan swasta.  Keterlibatan stakeholder diatas menjadi kunci keberhasilan OVOP melalui BUMDES.  Itu penting agar kemiskinan, pengangguran dan ketertinggalan desa dapat dikurangi lebih cepat. 

 

Semoga.   

Ikuti tulisan menarik Wawan Purwandi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler