x

Koperasi Pandawa. facebook.com

Iklan

djabaruddin djohan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Setelah KSP Pendawa, Koperasi Apa Lagi?

Modus operandinya sama: iming-iming bunga tinggi untuk menarik investor yang kebelet dengan keuntungan besar secara pintas

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penipuan yang dilakukan atas nama “koperasi” sudah dilakukan berulang kali, tapi toh masih juga terjadi lagi. Terakhir dilakukan oleh KSP Pendawa, di Depok Jawa Barat yang mengibuli sekitar 4.000 orang “anggota” (disebut investor)  dengan jumlah investasi konon hampir mencapai Rp. 4 trilyun. Jika ingatan kita agak panjang sedikit, maka akan terpampang kasus-kasus penipuan oleh “koperasi-koperasi” dengan modus operandi yang sama: iming-iming bunga yang tinggi, yang menarik ribuan “investor” yang mengharapkan keuntungan besar dengan jalan pintas, setelah 3-4 bulan  bunga yang dijanjikan dapat dipenuhi kemudian macet, setelah terhimpun dana  yang jumlahnya puluhan milyar bahkan trilyunan, maka pengurus/manajemen “koperasi”pun menghilang dengan membawa dana yang sudahterkumpul.

Demikianlah yang terjadi pada KSU (Koperasi Serba Usaha) Harapan Bersama di Pare-Pare, Sulawesi Selatan (2011) yang menawarkan bunga 50% setiap 45 hari, dan berhasil menarik “investor” sebanyak 1.918 orang, yang kemudian dana yang terkumpul sebanyak Rp.3,5 milyar di bawa lari pengurusnya.  Kemudian KSU Langit Biru (2013) yang menawarkan bunga 17% dan berhasil menggaet 150 ribu orang investor dengan dana sebesar Rp. 1,2 trilyun yang  lalu juga ditilep oleh pengurusnya. Pada tahun yang sama (2013) muncul kasus KSP (Koperasi Simpan Pinjam) Mitra Tiara, di NTT dengan menawarkan bunga sebesar 10%/bulan, yang dapat menarik investor sebanyak 17.414 orang, dan dana sebesar Rp. 1,7 triyunpun digondol pengurus/manajemen.  Kasus-kasus yang diberitakan secara luas ini, baik di media cetak maupun elektronik ini tidak juga “membuka mata” dan ingatan banyak orang, dan tertipulah sekitar 4.000 orag oleh seorang penjual bubur bernama Salman Nuryanto yang mendirikan (dan menjadi “pemilik”)  “koperasi” bernama KSP Pendawa.  Yang  mengherankan, dari 4000 orang ini tidak saja dari kalangan bawah, tetapi banyak di antaranya juga dari pegawai negeri, tentara, pensiunan (yang tentu tidak “buta informasi”), yang untuk menambah penghasilannya, rela menanam uangnya yang jumlahnya hingga milyaraan ke Pendawa, demi untuk  mendapatkan bunga 10% perbulan. Yang diharapkan adalah keuntungan, tetapi yang terjadi justru musibah, setelah menerima bunga selama beberapa bulan, dan kemudian macet, bukan hanya bunga yang tidak terbayar, tetapi investasinya juga tidak diketahui kapan akan dikembalikan.

Akan Terulang Lagi

Siapa yang patut disalahkan dengan terjadinya penipuan yang berulang-ulang oleh “koperasi abal-abal” alias “koperasi sesat”  ini? Masyarakat luas yang awam tentang koperasi yang benar (dan sekaligus ingin mendapatkan keuntungan dengan jalan pintas) , sehingga mudah terkecoh dengan rayuan gombal “koperasi abal-abal”? Atau pejabat koperasinya yang tidak juga memberikan informasi/peringatan tentang adanya “koperasi abal-abal” yang kerjanya menipu orang, dan sekaligus memberitahu tentang koperasi yang benar itu bagaimana? Sudah menjadi kewajiban Dinas-dinas koperasi  untuk memberikan informasi tentang bagaimana mengembangkan koperasi secara benar, yang sebaiknya dilakukan melalui pendidikan sebagaimana telah banyak dilakukan oleh beberapa koperasi seperti: Koperasi Kredit, KOPKUN di Purwokerto. Sebelum masyarakat membentuk koperasi, seharusnya kepada para pendiri dan calon anggotanya  diberitahu tentang hak dan kewajiban anggota, sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar  Koperasi. Dalam Anggaran Dasar ini jelas dinyatakan , bahwa  anggota itu ya pemilik ya pengguna jasa atau pelanggan koperasinya. Bahwa sebagai pemilik,  anggotalah yang menentukan kebijakan organisasi dan usaha koperasi yang dibahas/diputuskan dalam forum Rapat Anggota, dan pengurus hanya melaksanakan keputusan Rapat Anggota, sementara pada “koperasi abal-abal” penguruslah (bahkan ketuanya) yang jadi pemilik koperasi, yang menentukan segala-galanya.  Saat anggota benar-benar sudah faham tentang hak dan kewajibannya, termasuk kewajiban dan kemampuannyaq dalam memodali koperasinya, maka Dinas Koperasi/Kementerian Koperasi baru mengesahkannya sebagai status Badan Hukum.  Yang justru banyak terjadi, asal secara formal sudah memenuhi ketentuan undang-undang, yaitu diajukan oleh 20 orang calon anggota yang disertai dengan persaratan lain seperti Anggaran Dasar, maka oleh pejabat langsung saja disahkan sebagai badan hukum, tanpa mempertimbangkan apakah para calon anggotanya sudah faham tentang hak dan kewajibannya. Maka terjadilah kasus-kasus seperti “koperasi abal-abal/koperasi sesat” ini, disamping kasus lain seperti jual beli badan hukum koperasi..

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam struktur pemerintahan di daerah, Dinas Koperasi berada di bawah Bupati, Walikota atau Gubernur, yang dalam prakteknya digabung dengan Dinas-dinas yang ada seperti Dinas Perdagangan, Dinas Industri, Dinas Pasar dsb.  Sedangkan siapa yang menjadi Kepala Dinasnya tergantung pada kebijakan Kepala Daerahnya, yang pada umumnya tidak punya latar belakang/pengetahuan  atau pengalaman dalam bidang perkoperasian. Dengan kondisi seperti ini maka bisa dimengerti  jika Dinas-dinas Koperasipun pada umumnya gagap mengantisipasi dan menghadapi kasus-kasus “koperasi abal-abal/sesat” ini. Sehingga dalam kasus KSP Pendawa, OJKlah yang terpaksa turun tangan menyetop operasionalnya, bukan Dinas Koperasi/Kementrian Koperasi. Apalagi Kementerian Koperasi tidak memiliki “garis komando” ke bawah ke Dinas-Dinas Koperasi, sehingga Dinas Koperasi lebih mengikuti kebijakan Kepala Daerahnya, ketimbang ke Kementerian Koperasi. Meskipun demikian, untuk mencegah terjadi/terulangnya “koperasi abal-abal” ini, tidak mungkinkah Kementerian Koperasi dan UKM memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat tentang koperasi yang benar itu bagaimana, yang disampaikan melalui media yang tersedia termasuk media sosial yang saat ini tengah marak, sehingga masyarakat bisa membedakannya dengan “koperasi abal-abal/sesat” dan menghindarinya dari jebakan “koperasi abal-abal”? Hal yang sama, tentu bisa juga dlakukan oleh Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia), organisasi tunggal gerakan koperasi, sehingga penyebaran informasi tentang koperasi yang benar  semakin massif, intensif dan ekstensif yang bisa diserap oleh masyarakat luas, yang diharapkan dapat menutup (paling idak meminimalisir) kemungkinan terjadinya kasus “koperasi abal-abal/sesat”. Sayang informasi semacam ini  kayaknya belum pernah dilakukan oleh kedua “otoritas:” koperasi ini.

Dalam kondisi dan situasi  seperti diuraikan di atas, maka jika tidak ada perubahan dalam kebijakan dalam pengembangan koperasi di daerah, maka sulit diharapkan perintiwa “koperasi abal-abal/sesat” ini tidak akan terulang lagi setelah kasus KSP Pendawa.

Oleh Djabaruddin Djohan

Penulis adala salah seorang Pendiri (1997), Pengurus (1997-2010) dan sekarang adalah Pembina LSP2I (Lembaga Pengembangan Perkoperasian Indonesia).

Ikuti tulisan menarik djabaruddin djohan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu