x

Iklan

Luthfi Ersa Fadillah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Melawan Nafsu Liar Sang Koruptor

Selama calon-calon terpidana korupsi belum bisa menyingkirkan imajinasi tentang kebahagiaan semu di dalam pikirannya sendiri maka korupsi akan tetap tumbuh

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penyerangan Novel Baswedan dengan cara menyiramkan air keras ke wajah jelas merupakan tindakan kriminal yang tak bisa lagi ditolerir. Hal ini menandakan betapa brutalnya pikiran seorang koruptor sebagai musuh utama penyidik KPK seperti pak Novel. Kasus terorisme koruptor ini membuat saya merefleksikan satu hal, bagaimana bisa manusia mempertahankan tindakan yang jelas-jelas salah demi keuntungan pribadi yang sebetulnya tak seberapa, bahkan boleh jadi tak bermakna sama sekali?

Suka tidak suka, memang bisa. Plato memberikan perspektif filosofis yang melatari bagaimana setiap manusia berada dalam tiga tingkatan jiwa: Ephitumea, Thumos, dan Rasio. Pada level Ephitumea, manusia tak lebih dari budak nafsunya sendiri. Seluruh tenaganya dikerahkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan kebahagiaan jangka pendek saja. Beda dengan Thumos diatasnya yang memikirkan tentang kebanggaan diri sesuai dengan status sosialnya. Dan terakhir adalah Rasio di mana pada tahap ini manusia memaksimalkan akalnya untuk menjadi manusia yang lebih berbudi dan mendorong tindakannya ke arah kebaikan.

Dari penjelasan sederhana itu, saya mencoba memahami bahwa jiwa seorang koruptor tidak lebih berada dalam level ephitumea semata. Jiwa ephitumea terwujud dalam praktik penyimpangan koruptor yang berulang dan berpola: Negosiasi kepada pihak investor, melakukan mark up biaya, menahan uang yang seharusnya disalurkan kepaa rakyat dan mungkin masih banyak versi lainnya. Intinya, semua dilakukan supaya dirinya sendiri tetap untung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Barangkali dalam sudut pandangnya mereka sebagai koruptor, tindakan untuk mengambil uang rakyat ada manfaatnya. Tetapi tidak pada kita sebagai rakyat biasa, korupsi adalah tindakan yang paling menyengsarakan masyarakat di berbagai strata. Tindakan merebut uang yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik tentu hanya semakin menguatkan karakter curang, arogan dan keegoisan seorang koruptor. Terlebih bila dilakukan oleh pejabat publik atau wakil rakyat.

Kita wajib mengkritisi nafsu liar yang mendorong mereka untuk melakukan tindak korupsi. Tidak jarang, banyak koruptor sengaja melakukan tindak korupsi hanya demi memenuhi kepentingan pribadi anggota keluarganya. Istrinya yang harus memakai tas bermerk internasional dengan harga selangit. Anaknya yang harus disekolahkan di luar negeri dan memiliki gadget yang bagus supaya tak kalah stylish dengan temannya. Dirinya yang agar selalu terlihat rapi harus menggunakan setelan jas dengan kain khusus yang mahal. Supaya tak kepanasan di jalan membeli mobil paling mewah. Supaya tidak stres bekerja, seringkali liburan ke luar negeri. Tak lupa, bila nanti sudah tak lagi menjabat, maka perlu kiranya memenuhi tabungan dan menanam modal di sana-sini agar memiliki cadangan harta di kemudian hari.

Pembenaran seperti itu hanya akan akan menahan, bahkan menjebak mereka dalam nafsu yang tak ada habisnya. Koruptor lupa, ada jalan berlubang yang setiap harinya dilalui orang banyak. Ada sekolah yang papan tulis tak ada dan atap yang hancur. Ia juga lupa bahwa jangankan pendidikan yang layak dan perhiasan yang bagus, ada suami dengan istri dan anak yang rumah pun mereka tidak punya.

Hasilnya adalah ketika mereka sudah tercium kejahatannya oleh lembaga seperti KPK maka yang mereka lakukan bukanlah menyerah melainkan tidak mau kalah. Ia hanya peduli bahwa asetnya harus tetap terjaga. Akhirnya, tak mengherankan lagi bila ia akan menggunakan jalur kekerasan sekalipun, salah satunya dengan melancarkan aksi terror-meneror para penyidik. Sekalipun mereka tertangkap, mereka akan berkelit bahwa dirinya tak bersalah, justru merasa didzalimi atau dijebak. Selalu begitu.

Hal ini mengingatkan saya pada ciri-ciri manusia Indonesia yang pernah dibawakan oleh Mochtar Lubis pada tahun 1977. Dari kurang lebih enam hingga tujuh ciri, ada beberapa kiranya yang sangat cocok dalam diri koruptor: munafik, enggan mengakui kesalahan, dan boros. Perilaku sosiopatik ala koruptor ini merupakan tantangan utama yang perlu selalu dikhawatirkan.

Selama calon-calon terpidana korupsi belum bisa menyingkirkan imajinasi tentang kebahagiaan semu di dalam pikirannya sendiri maka korupsi itu akan tetap tumbuh subur. Mereka akan bergerak sendiri atau berkomplot agar nafsu pribadinya terpenuhi.

Hanya saja, kita tak boleh patah arang. Seorang penyair pernah membuat kalimat harapan yang indah sekali, “perompak bisa saja menghancurkan kebun bunga tetapi mereka tidak akan bisa menahan datangnya musim semi.” Kutipan itu tepat sekali, kita boleh saja khawatir bahwa korupsi akan tetap ada tetapi pada saat yang sama kita harus yakin pada harapan bahwa koruptor akan tetap selalu tertangkap pada akhirnya. Dan KPK akan selalu menjadi lembaga menuju harapan itu.

Ikuti tulisan menarik Luthfi Ersa Fadillah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler