x

Suasana konferensi pers Rachmawati Soekarnoputri bersama Kuasa Hukumnya, Yusril Ihza Mahendra terkait kasus dugaan makar di Jakarta, 7 Desember 2016. ANTARA FOTO

Iklan

Mimin Hartono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Makar dan Kebebasan Berpendapat

Sampai saat ini, proses hukum atas tuduhan makar terhadap Sri Bintang dkk masih berjalan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mimin Dwi Hartono

Staf Senior Komnas HAM

Kepolisian menangkap Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Gatot Saptono alias Muhammad Al Khaththath pada 31 Maret 2017 dengan dugaan melakukan tindak pidana makar. Ia ditangkap beserta empat orang lainnya di Jakarta. Menurut kepolisian, mereka berencana menduduki gedung DPR secara paksa, mengganti pemerintahan yang sah, dan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang asli.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kepolisian membantah bahwa penangkapan ini terkait dengan aksi 313 (31 Maret 2017) yang dikoordinasi oleh FUI. Aksi 313, sebagai kelanjutan dari aksi 411 dan 212, dilakukan dengan tuntutan agar Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diberhentikan dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun sulit untuk tidak mengaitkan penangkapan itu dengan aksi 313 karena dilakukan terhadap tokoh aksi tersebut.

Dalam konteks Aksi Bela Islam, penangkapan terhadap tokoh FUI tersebut merupakan peristiwa kedua setelah penangkapan 10 aktivis aksi 212, yang juga dengan tuduhan melakukan makar. Beberapa aktivis tersebut adalah Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Soekarnoputri, dan Ratna Sarumpaet. Sampai saat ini, proses hukum atas tuduhan makar terhadap Sri Bintang dkk masih berjalan. Bahkan Sri Bintang mengancam akan menggugat Kepala Polri ke pengadilan internasional.

Pasal tentang makar diatur di antaranya dalam Pasal 107 juncto Pasal 110 juncto Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP). Pasal 107 menetapkan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun untuk pelaku makar. Pasal 110 menegaskan bahwa orang-orang yang mempersiapkan atau memperlancar kejahatan, seperti berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukannya atau menyuruhnya, juga terancam hukuman pidana. Pasal 87 KUHP pada intinya menyatakan bahwa makar terjadi apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan.

Kepolisian tentunya harus mempunyai bukti permulaan yang cukup ketika melakukan penangkapan. Jika tidak, ada potensi pelanggaran hak untuk menyampaikan pendapat yang dijamin di dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini karena definisi "makar" sangat sumir dan bisa menjadi pasal "karet" yang berpotensi digunakan oleh penguasa untuk membungkam hak dan kebebasan berpendapat. Jaminan atas kebebasan berpendapat juga diatur di dalam Pasal 23 dan 24 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tengah mengajukan permohonan uji materi pasal-pasal "makar" itu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menduga ada kekeliruan dalam penerapan pasal-pasal "makar" sehingga mengancam penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Jika merujuk Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (undang-undang hukum pidana Hindia Belanda), istilah "aanslag" diartikan sebagai "serangan". Sedangkan dalam KUHP, kata itu diterjemahkan sebagai "makar". KUHP adalah hukum warisan Belanda sehingga banyak mengadopsi hukum warisan kolonial tersebut.

Menurut ICJR, perbedaan dalam pengistilahan itu berakibat pasal-pasal "makar" dalam KUHP mengandung ketidakjelasan rumusan dan tujuan yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena dasar hukum pemidanaan "makar" itu sumir dan tidak jelas batasannya, berpotensi terjadinya pemberangusan hak untuk berpendapat dan hak untuk diperlakukan sama di depan hukum.

Untuk menjamin suasana kehidupan sosial dan politik yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi, negara harus bisa membedakan antara tindakan makar atau tidak. Aparat penegak hukum harus sangat berhati-hati dalam mendefinisikan "makar" dengan melibatkan ahli hukum pidana dan hak asasi dalam perumusannya. Jika tidak, aparat akan menjadi sasaran tembak empuk praperadilan dan bisa dituduh telah melanggar hak asasi.

Negara harus merumuskan indikator dan kriteria yang jelas dan tegas soal "makar" agar ada kepastian hukum bagi masyarakat dan bagi terduga pelaku. Jika makar diartikan secara sepihak, segala tindakan yang kritis dengan tujuan untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah bisa dituduh makar. Padahal, untuk melakukan makar, diperlukan sumber daya yang tidak sedikit, termasuk pasukan bersenjata. Dengan menuduh orang melakukan makar atas dasar menyampaikan kata-kata kritis tentu merupakan tindakan yang sewenang-wenang dan bentuk dari penyalahgunaan kekuasaan.

Untuk itu, agar tidak menjadi alat untuk memberangus penghormatan dan perlindungan hak asasi, rumusan tentang pasal-pasal makar harus disempurnakan dan menjadi agenda penting dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Acara Pidana. Hal ini agar definisi pasal "makar" menjadi lebih jelas, tegas, dan terukur berbasis pada penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

Ikuti tulisan menarik Mimin Hartono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu