Spirit Baru Pemberantasan Korupsi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBSeolah-olah kita sedang kembali ke zaman Hobbes,dimana derajat manusia tidak lebih dari serigala. Setiap orang dalam keadaan cemas atas keselamatan dirinya
Tauchid Komara Yuda*
Peneliti Kebijakan Sosial, Universitas Gadjah Mada & Peneliti tamu di Forum Bulaksumur Untuk Indonesia Lebih (FORBIL)
Upaya intimidasi terhadap penyidik KPK seolah tidak pernah selesai. Dimulai pada tahun 2008, kala itu KPK sempat mendapat ancaman bom ditengah ramainya pengusutan Aulia Pohan. Berselang satu tahun setelahnya, Antasari Azhar, demisioner pimpinan KPK, dipenjarakan atas dasar tuduhan pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Masih ditahun yang sama, pimpinan KPK pertahana Bibit-Chandra juga turut dikriminalisasi manakala sedang melakukan penyedikan demisioner Kabareskrim Polri, Susno Duadji.
Hal serupa juga dialami Bambang Widjojanto (BW) dan Abraham Sammad saat menetapkan Budi Gunawan, calon tunggal Kapolri, sebagai tersangka korupsi. Penangkapan BW yang kontroversial dikait-kaitkan dengan kesaksian palsu sidang sengketa pilkada di kota Waringin Barat. Sedangkan Sammad, dijerat dengan kasus pemalsuan dokumen administrasi negara di Makasar.
Di tahun 2017, upaya pelemahan lembaga anti rasua tersebut terus berlanjut melalui desakan revisi UU KPK yang menginginkan adanya pembatasan penyadapan, mendelegitimasi kewenangan penuntutan, dan penambahan surat perintah penghentian penyedikan. Desakan-desakan ini dilakukan bersamaan dengan upaya pembongkaran skandal korupsi e-KTP yang melibatkan sejumlah nama-nama pejabat penting di Indonesia, dengan total kerugian mencapai angka Rp 2,3 triliun dari nilai proyek sebesar Rp 6 triliun. Tidak berhenti sampai disitu. Selasa (11/04), publik dikejutkan oleh upaya teror orang tak dikenal kepada penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Novel disiram air keras seusai salat subuh di masjid di dekat rumahnya.
Dari teror sebelum-sebelumnya, teror yang menimpa Novel kali ini merupakan serangan yang paling bar-bar terhadap petinggi KPK. Terang, teror ini bukan hanya ditujukan kepada Novel personal maupun KPK, melainkan juga kepada bangsa Indonesia yang sedang berperang melawan korupsi.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari norma yang sengaja dilembagakan sistemik dalam nalar birokrasi di Indonesia. Sontak, kasus yang menimpa Novel merupakan lonceng bagi masyarakat Indonesia untuk kembali merapatkan barisan, menjadi bagian dari gerbong KPK, membasmi para koruptor, berikut membongkar budaya korupsi sampai keakarnya. Pertanyaan yang kemudian muncul, hukuman seperti apa yang kiranya dapat memberikan efek jera bagi para koruptor?
Civil Punishment
Saya pernah terfikir, bahwa civil punishment dapat menjadi solusi alternatif memberikan efek jera yang paling efektif bagi koruptor, ketimbang hukuman penjara konvensional. Secara sederhana, civil punishment ini dapat dimengerti sebagai hukuman yang diberikan kepada tersangka, dengan menjadikannya ter-exspose publik. Civil punishment sendiri bukanlah gagasan yang otentik. Skema hukuman semacam ini sudah lama dipraktikan masyarakat tradisional semisal ‘mengarak’ para pencuri dan pezina keliling desa.
Kalau dalam kasus korupsi pada konteks masyarakat modern, wujud civil punishment ini dapat berupa: memampang foto pelaku disudut-sudut kota. Atau dengan sistem penjara inklusif, sebagaimana etalase-etalase dalam galeri kesenian, yang memungkinkan masyarakat umum dapat mengunjunginya terbatas dan melihat wajah-wajah para koruptor secara langsung.
Civil punishment juga sekaligus memberikan edukasi kepada pejabat publik dan masyarakat umum. Mengingat pewacanaan anti korupsi yang didesiminasikan selama ini, baik itu dalam sosialisasi, maupun pendidikan anti korupsi di kampus dan sekolah-sekolah cenderung masih sangat teoritis dan membosankan, sehingga kurang efektif. Dengan adanya civil punishment, harapannya masyarakat umum mendapatkan pesan dan kesan yang lebih mendalam tentang apa itu korupsi berikut konsekuensi hukumannya.
Memperkuat Kapasitas Kontrol
Dalam situasi dimana budaya korupsi telah mengakar kuat, idealnya agenda pemberantasan korupsi dapat diorganisir sampai level grassroots. Salah satunya dengan memperkuat kapasitas kontrol dari masyarakat sipil terhadap jalannya sistem pemerintahan dan pelayanan publik. Kapasitas kontrol menjadi elemen penting dalam mengakui hak politik warganegara, berikut parameter bagi bekerjanya demokrasi (Betham, 1999).
Di Indonesia, ikhwal kapasitas kontrol ini belum terhilirisasi sepenuhnya. Bahkan guna kepentingan “riset akademis” yang menyangkut lembaga-lembaga publik pun masih sulit dilakukan. Terlebih apabila menyangkut transparansi. Padahal kontrol publik tidak hanya berfungsi bagi upaya preventif terhadap korupsi, akan tetapi juga fungsi evaluasi kinerja lembaga. Bagaimanapun publik harus diberikan akses seluas-luasnya atas kontrol terhadap pemerintahan. Mengingat penyelenggaraan pelayanan publik sebagian besar menggunakan pajak yang telah dibayarkan masyarakat.
Save KPK
Teror terhadap Novel merupakan sebuah tanda ketika akal budi telah menjadi insting. Seolah-olah kita sedang kembali ke zaman Hobbes, dimana derajat manusia tidak lebih dari serigala. Setiap orang dalam keadaan cemas atas keselamatan dirinya, selalu berusaha mempertahankan kepentingannya, kalau perlu dengan menyerang orang lain. Homo Homini Lupus (baca: manusia adalah serigala bagi manusia lainnya),begitu kata Hobbes. Bagaimanapun, percobaan penyerangan KPK oleh oknum-oknum pejabat negara berkali-kali adalah bukti negara telah dibajak serigala berwajah tikus yang sedang kelaparan. Save KPK, save Indonesia.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Spirit Baru Pemberantasan Korupsi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMenyoal Tujuan Berkuliah
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler