x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pesantren IMMIM (02): Bangun Subuh

Banyak kesuksesan tercipta dari bangun subuh. Di Mesir, misalnya, para aktivis sosialis komunis sekalipun rutin bangun subuh, meski mungkin tidak shalat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sampai akhirnya tiba di garis finish setelah mondok selama enam tahun di Pesantren IMMIM Putra, KM 10 Makassar, saya masih “belum selesai” juga dengan persoalan bangun subuh, meski sudah dilakoni selama enam tahun penuh. Dan anehnya, masih sering kebawa-bawa bahkan sampai hari ini.

Bangun subuh dan shalat subuh berjamaah di masjid pondok merupakan salah satu kegiatan pembinaan paling utama di setiap pondok. Selain menunaikan kewajiban shalat Subuh, bangun subuh adalah awal rutinitas yang kadang dijadikan indikator kualitas disiplin tidaknya sebuah Ponpes dan santri-santrinya. Selain itu, karena di Pesantren IMMIM, sehabis shalat subuh, semua santri baru (tahun pertama) wajib belajar Bahasa Arab wajib sampai sekitar pukul 06.00. Setiap hari, kecuali pada hari Jumat.

Bagi semua santri baru, juga  sebagian santri lama, bangun subuh ini memang terasa berat banget. Perlu perjuangan ekstra untuk melakoninya. Sebagian santri lulus melewatinya, yang lainnya gagal. Nah, kira-kira, saya berada di antara lulus dan gagal itu. Belakangan saya tahu, banyak kesuksesan tercipta dari rajin bangun subuh. Di Mesir, misalnya, para aktivis sosialis komunis sekalipun rajin bangun subuh, meski mungkin tidak shalat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terkait soal bangun subuh di Pesantren IMMIM Putra, teringatlah saya kepada seorang teman satu angkatan, yang entah kenapa, setiap kali pindah kamar, saya dan dia sering satu kamar, sejak kelas satu sampai kelas empat. Makanya saya tahu persis karakter & perilaku bangun subuhnya, yang unik dan layak diceritakan, tetapi gak boleh dicontoh (Catatan: cerita ini untuk lebih sebagai ungkapan kangen kepadanya, semoga dia membaca tulisan ini, dan berharap dia “marah”, ha-ha-ha).

Dia berasal dari sebuah kabupaten yang berjarak sekitar 100 km ke arah utara agak ke timur laut dari Makasar. Berinisial M, tetapi angkatan kami akrab memanggilnya dengan nama yang berinisial MT. Kadang saya menggelarinya sang penakluk hati lawan jenis, dia memang spesialis di bidang ini.

Di IMMIM putra dulu, semua ranjang di setiap kamar di desain empat tempat tidur, disekat pake teralis, dua di bawah dan dan dua di atas. Kalau istirahat malam, M lebih sering memilih tidur di ranjang atas. Kalau ditempatkan di ranjang bawah, dia akan berupaya mencari teman yang mau tukaran ranjang.

Nah, kalau lagi kumat malasnya, meski diteriaki dan tempat tidurnya digoyang kayak apapun atau disabet pake sajadah, dia akan tetap anteng tidak peduli. Dan ketika seorang ustadz datang melakukan kontrol terakhir di setiap kamar, dan melihat M masih tidur di ranjangnya, dia akan dibangunkan dan dibentak dengan kalimat:

‎(???????? ???? ?????? ????????? ????????? ??? ???????????)

limaadza lam taqum li shalaatis-shubhi fil-masjid? (kenapa belum bangun untuk shalat subuh di masjid?).

Saat itulah MT akan memainkan modusnya yang unik itu: dia bangun pelan-pelan, sambil batuk-batuk yang direkayasa, dan begitu posisinya dalam keadaan duduk dan masih di ranjang, secara spontan dia akan memperagakan ekspresi wajah sakit, yang terlihat persis – sekali lagi persis – seperti orang yang benar-benar sakit, lalu menjawab: (??? ????? ?????), ana mariidh, ustadz (saya sakit, ustadz).

Karena ekspresi wajah sakitnya nyaris sempurna, Sang Ustadz tadi tidak punya pilihan lain kecuali percaya bahwa dia memang sakit. Maka amanlah M dari pengadilan keamanan (qismul-amni) Pondok.

Biasanya, sehabis adegan itu, MT akan langsung menengok ke saya, lalu sambil tersenyum tipis, dia mengernyitkan keningnya dan mulutnya mengeluarkan suara: sssttt....!!!. Saya pun diam dan meresponnya dengan tersenyum juga, lalu angkat jempol dan berkomentar: satu kosong, for you.

Meski sering, M tentu tidak setiap hari memainkan modus wajah sakit yang nyaris sempurna itu. Dia yang mengatur ritmenya: kapan dimainkan dan kapan tidak.

Nah, sekali waktu, dia kena batunya. Pada subuh itu, M benar-benar sakit dan tidak bangun subuh. Begitu ada pengurus keamanan datang mengontrol, MT bangun dengan ekspresi wajah sakit yang sama (kali ini sungguhan). Tetapi tampaknya karena sudah paham modus M, pengurus keamanan itu langsung membentak:

‎(????? ????... ????? ???????? ?????? ??????????? ????????? ????????),

qum, qum, ana a’rifu anta tatazhaaru ka annaka mariidhan (bangun, bangun... saya tahu kamu hanya pura-pura sedang sakit).

Meski mengaku benar-benar sakit, petugas keamanan tetap memaksanya turun dari ranjang atas dan sambil menggerutu, ini kebiasaan lama.

Maka, sambil tertatih-tatih, M terpaksa bangun pelan-pelan dan turun dari ranjang atas. Tapi karena memang sakit sungguhan dan tidak bisa menjaga keseimbangannya, kakinya salah menginjak satu anak tangga ranjang, dan M jatuh dari tangga ranjang terus langsung muntah, dan sialnya, sebagian muntahnya itu muncrat ke baju dan sarung pengurus keamanan itu... (dan cerita lanjutannya, saya nggak tega membaginya).

Saya tidak tahu dan tidak pernah sempat mengkonfirmasi apakah M juga pura-pura terjatuh lalu pura-pura muntah. Hanya M dan Tuhan yang tahu.

Satu kali waktu, karena saking malasnya bangun subuh, saya pernah coba-coba mencontoh modus M: memperagakan ekspresi wajah sakit ketika dibangunkan untuk shalat subuh oleh pengurus keamanan. Tapi karena dasarnya memang tidak berbakat, saya gagal total... Dan sepertinya M memperhatikan percobaan saya gagal itu. Terus, sambil jalan, M melirik dan mengejek cekikikan, mungkin setelah itu dia tertawa terbahak-bahak, lalu bercerita kepada teman-teman lain – sambil dibumbuhi – tentang kegagalan saya mencontoh modusnya.

Syarifuddin Abdullah | 06 Mei 2017 / 09 Sya’ban 1438H

---------------

Catatan: artikel ini adalah saduran artikel yang pernah dimuat di akun Facebook saya pada Ahad, 30 Agustus 2015.

Keterangan foto: foto yang menginspirasi tulisan ini adalah koleksi yang memang buram, maklum sudah berusia sekitar 33 tahun... And I hope you all - the 5th alumni of IMMIM - can identify who the person is, in that photo.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler