#KlinikOpini | Ketika Keberagaman Menjadi Ancaman

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Narasi pembakaran tempat ibadah, konflik SARA hingga kasus Ahok menyiratkan betapapun paham keberaragaman telah memudar dari Bumi Pertiwi kita ini

Deni Galus

Keberagaman bukanlah istilah baru dalam kamus kehidupan orang Indonesia sebab faktanya dalam konteks ke-Indonesia-an, keberagaman bukan sekedar sebuah term melainkan lebih dari pada itu adalah identitas yang integral dari bangsa Indonesia. Percampuran antara pelbagai suku dan agama sudah menjadi kenyataan puluhan tahun di seluruh Nusantara. Mudah sekali untuk menemukan bahwa di berbagai tempat di bumi pertiwi ini, orang bugis hidup berdampingan dengan orang flores, atau orang keturunan tionghoa hidup berdampingan dengan masyarakat keturunan pribumi atau orang dayak hidup berdampingan dengan orang madura. Dalam kenyataan yang paling ekstrim corak keberagaman yang demikian, dirayakan secara langsung dan intensif misalnya ada masjid di samping wihara, ada bunyi azan di samping lonceng gereja sebagaimana dapat dilihat di Jakarta-Masjid Agung Istiqlal berdampingan dengan Gereja Katedral Jakarta. Di negeri beribu pulau ini, semua orang dari berbagai latar belakang agama, suku dan budaya, seharunsya merasa nyaman untuk hidup bersama.

Namun sangat disayangkan bahwa dalam berbagai pengalaman, kedekatan yang intensif ini acap kali menimbulkan banyak ketegangan.Tidak mudah bagi banyak orang untuk begitu saja menerima kehadiran orang dari latar belakang agama dan suku yang  lain di lingkungannya. Warna toleransi dalam keberagaman rupanya kian hari kian  pudar dari peradaban kita. Menyikapi keprihatinan ini, maka tak ada alternatif lain selain bahwa kita harus tetap dan selamanya hidup bersama dengan toleran, baik dan berdamai. Sangatlah tidak mungkin bagi Indonesia untuk mengartikan  identitasnya hanya dalam satu suku dan agama saja sebab menghilangkan keberagaman bagi Indonesia berarti pula kehilangan jati drinya yang utuh. Sesungguhnya, mengartikan  Indonesia tanpa menyertakan term  Pluralitas di dalamnya hanyalah sebuah pemahaman buta.

Dewasa ini, Kebebasan dalam keberagaman di tanah air dirong-rong oleh segelintir orang yang anti pluralitas. Bagi mereka, kesatuan Indonesia mesti diperjuangkan atas satu bahasa, satu tanah juga termasuk di dalamnya satu agama dan satu suku. Kasus yang mencederai Ahok beberapa hari menyiratkan betatapun kaum minoritas diintimidasi dan didiskriminasi di bumi yang menjunjung tinggi bhineka tunggal ika ini. Dengan dalil membela agama Tuhan, seorang minoritas dicegat habis-habisan dan bahkan digiring pada proses hukum yang sarat akan tekanan. Dalam posisi ini, saya tidak berbicara tentang putusan yang menjerat Ahok dan tanggapan atas divonisnya beliau dengan hukuman 2 tahun penjara. Benar, bahwa proses hukum perlu diharagai dan karena itu, atas nama penghormatan itu, saya enggan berkomentar. Tulisan ini lebih menitikberatkan persoalannya pada masalah toleransi yang secara kasat mata mulai memudar dengan munculnya kasus yang menyeret Bapa Ahok. Mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Kuasa Hukum Ahok bahwasannya, kasus yang menyeret nama Ahok tidak mungkin akan sejauh ini jikalau Ahok bukan dari kelompok minoritas atau bukan salah satu calon Kepala Daerah.

Ahok dan beberapa kasus yang menyeret Isu SARA lainnya, menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya hidup bersatu dalam keberagaman. Dunia Internasional acap kali acung jempol atas damainya Indonesia, akan tetapi sungguhkah itu yang terjadi? Saya pikir, tidak 100 % benar. Kasus Tanjung Balai di Sumatra Utara, Pengeboman Gereja di Samarinda dan yang masih hangat dalam ingatan anak bangsa adalah larangan mendirikan Gereja Santa Klara di Bekasi serta komentar lepas tentang sulitnya menjadi kaum minoritas di tanah ini, sudah menunjukkan bahwasannya, kebhinekaan dalam konteks Indonesia masih dalam tataran teori dan belum menyentuh ranah praksis. Karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk bangkit dan menunjukkan pada dunia tentang bagaimana artinya satu dalam keberagaman.

Memang benar bahwa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi asas ketuhanan dan mengharuskan warganya untuk beragama, namun janganlah kiranya ajaran agama menjadi ideologi dan bahkan menjadi alat untuk menindas yang lain. Keyakinan mayoritas, janganlah dipaksakan untuk menjadi ideologi nasional sebab seperti yang dikatakan oleh John Rawls dalam suratnya Epistola de Tolerantia, mesti ada pembedaan yang tegas antara urusan agama dan urusan politik. Karena itu, urusan yang bernuansa agama janganlah kiranya dimasukan dala urusan politik. cukuplah sudah, ajaran yang suci dijadikan sebagai alat untuk memenangkan ambisi pribadi. Ada ketakukatan kalau-kalau agama dijadikan sebagai tangga aman demi melanggeng menuju kursi politik.

Sepercik ajakan sebagaimana yang tertulis di atas membangkitkan semangat anak bangsa untuk sejenak mengartikan makna menjadi Indonesia. Ibarat butiran cahaya nyang dibiaskan menghasikan aneka warna namun tetap satu, demikianlah menjadi Indonesia satu tapi beragam. Pihak mayoritas hendaknya menghargai yang minoritas, demikianpun sebaliknya. Hanya dengan demikian Indonesia menjadi hunian yang aman dan damai bagi semua orang apapun latar belakang suku dan agamanya.

Akhirnya, marilah hai putra-putri Pertiwi, kita kobarkan semangat persatuan dalam keberagaman. Teguhkan niat menjaga tetap tegaknya pancasila dan nyalakan semangat bhineka tunggal ika dalam diri kita. Jangankan biarkan tanah kita di-rong-rong oleh penjahat intoleransi, tetapi bersatulah demi Indonesia jaya yang adil, makmur dan sejahterah.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Denny Galus

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler