Penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) berhasil mempercantik wajah kelembagaan dengan pelbagai prestasi selama periode 2012-2017. Keberhasilan KPU periode ini tidak perlu disebutkan satu persatu. Sudah banyak tulisan dan penelitian yang mengungkapkan betapa KPU berhasil mengaplikasikan teknologi sederhana dan tepat guna dalam menyelenggarakan pilkada, pemilu dan pilpres.
Selain itu, menguatnya kepercayaan publik karena pelbagai sistem informasi yang memenuhi hak untuk tahu rakyat (pemilih). Rakyat bisa melihat sendiri di website KPU RI, informasi yang dijadikan bukan hanya berita-berita kegiatan KPU. Tetapi juga menyuguhkan informasi, data dan buku (dokumen) elektronik yang bisa di-unduh kapan saja.
Dari semua prestasi, selalu ada wacana pembaharuan kelembagaan KPU, setidaknya saat wawancara calon anggota KPU RI. Bahkan yang menjadi pertanyaan panitia seleksi adalah bagaimana Komisioner merapikan kelembagaan KPU? Hal ini terkait informasi bahwa setiap melaksanakan kegiatan dengan mengundang pihak luar. Selain menggunakan panitia tambahan (event organization), panitia internal dari kesektariatan KPU tetap mendominasi jumlah yang hadir.
Masalahnya, apabila ada nada kritik terhadap banyaknya jumlah pegawai KPU di suatu acara. Maka pemilik suara sumbang tersebut diberikan sanksi yaitu tidak diikutsertakan dalam pelbagai kegiatan KPU. Sebaliknya, siapa yang dekat dengan sekretariat KPU, alhasil menjadi langganan undangan kegiatan KPU. Sehingga untuk meraih status “mitra KPU” harus berani mendekat dan tidak kritis kepada sekretariat.
Mendengar
Dalam upaya memperbaiki sistem (kelembagaan), tidak bisa dari luar. Akan tetapi, bila kita masuk ke dalam suatu sistem, belum tentu juga mampu merubah suatu hal yang telah menjadi kebiasaan. Hanya dengan sedikit ketegasan lah, sebuah niat baik mampu memperbaiki suatu sistem. Sebagai contoh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu jalan untuk mengukur kesiapan menerima pembaharuan untuk kebaikan lembaga adalah siap mendengar kritik. Sungguh sulit belajar mendengar, apabila hati menolak. Orang yang mampu mendengarkan kritik adalah orang yang mau berubah ke jalan yang lebih baik. Mereka yang selalu siap mendengar pertanda orang-orang yang berjiwa besar.
Untuk perkara “mendengar”, sebaiknya KPU meniru kegiatan lembaga lain seperti “Mahkamah Konstitusi Mendengar” dan “Bawasu Mendengar”. Program “mendengar” adalah suatu kegiatan yang memberikan ruang bagi publik (peserta) untuk memberikan kritik dan saran perbaikan bagi lembaga pelaksana. Komentar publik yang muncul dijadikan acuan untuk melihat seberapa jauh kinerja lembaga selama ini.
Di sisi lain, program “KPU Mendengar” sebagai bukti penguatan partisipatif masyarakat untuk turut menguatkan penyelenggaraan pemilu. Bayangkan bila “KPU Mendengar” dijadikan program yang bisa ditonton oleh semua KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota. Perbaikan kelembagaan tidak harus mengeluarkan biasa dengan menghadirkan semua jajaran dibawah KPU ke Jakarta. Cukup dengan menyediakan satu hari melihat siaran “KPU Mendengar”, maka terjadilah transfer of knowlage secara nasional.
Sebagai contoh : saat “KPU Mendengar” memunculkan tanggapan terkait pelibatan masyarakat sipil. Kemudian, para koemnatator memberikan saran tentang bagaimana membina hubungan dengan masyarakat sipil. Maka, KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota langsung memperbaiki komunikasi dengan masyarakat sipil di daerah. Hal ini disebabkan adanya label organisasi “mitra” dengan “lawan” KPU.
Organisasi atau perseorangan yang menjadi “mitra” akan jelas terlihat dengan seringnya hadir dalam kegiatan KPU. Sebaliknya, organisasi atau perseorangan yang dianggap “lawan” KPU, sangat jarang muncul dikegiatan-kegiatan KPU. Untuk mengubah pola hubungan dan pelibatan masyarakat sipil secara nasional bisa dijawab melalui program “KPU Mendengar”.
Evaluasi Berkelanjutan
“KPU Mendengar” bukan hanya sebatas acara akomodasi untuk menghabiskan biaya dan/atau sekedar memuaskan para sahabat KPU. Jauh dari itu semua, “KPU Mendengar” bertujuan sebagai alat konstrol kelembagaan secara berkelanjutan. Dalam acara tersebut, setiap kelemahan dan/atau hambatan penyelenggaraan pemilu bisa dibahas secara terus menerus. Kemudian, hasilnya dijadikan suatu produk kebijakan baik dalam bentuk program dan/atau regulasi.
Terlebih saat ini KPU akan menyelenggarakan tahapan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 secara bersamaan. Dengan menyisihkan satu hari setiap bulan untuk belajar “mendengarkan” komentar, kritik dan saran. Semua masalah dan hambatan akan teratas, sesuai dengan nasehat orang tua “masalah bisa dilihat dari luar bukan dari dalam”.
Dikemudian hari, dokumen-dokumen “KPU Mendengar” menjadi catatan sejarah. Setiap komisioner KPU mulai dari pusat sampai ke daerah di masa sekarang dan yang akan datang memiliki bahan bacaan berkala. Setiap dokumen dijadikan pembanding agar tidak terjatuh kedalam masalah yang sama. Dalam bahasa lain, dokumen “KPU Mendengar” bisa disebut yurisprudensi untuk menetapkan suatu keputusan atas dasar keputusan yang pernah dibuat.
Sebagai catatan akhir, program “KPU Mendengar” yang berkelanjutan dengan menggunakan konsep “siaran langsung” lebih efektif dan efisien. Karena tidak membutuhkan biaya tiket penerbangan, transportasi darat, penginapan, makan dan akomodasi. KPU RI cukup melaksanakan dijakarta lalu disambungkan dengan ruang “Media Center” yang terkoneksi keseluruh KPU se-Indonesia.
Dengan demikian, KPU RI bisa menjadi percontohan bagi lembaga lain dalam hal penguatan lembaga berkelanjutan dengan biaya yang lebih murah. Semoga “KPU Mendengar” terlaksana dengan niatan baik. Jangan sampai muncul anggapan bahwa lembaga pengawal demokrasi tidak demokratis dengan menolak kritik dan menjauh komentator. Belajarlah menjadi “Negarawan” layaknya Hakim Konstitusi. Negarawan saja siap mendengar, apalagi KPU.
Oleh: Andrian Habibi
Deputi Kajian KIPP Indonesia
Ikuti tulisan menarik Andrian Habibi lainnya di sini.