x

Iklan

Muhammad Rois Rinaldi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ihwal Plagiarisme Afi dan Keriuhan Media Sosial

Pada satu ketika, puisi saya dicaplok bulat-bulat oleh seorang yang memperkenalkan dirinya sebagai penulis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belakangan ini dunia siber plus dunia media massa kembali gaduh. Bukan lagi soal Pilkada, karena Pilkada telah berlalu meski meninggalkan rentetan aksi yang kurang menarik untuk diperhatikan. Kini ihwal tulisan seorang gadis berusia 18 tahun bernama Afi Nihaya Faradisa. Tulisan bertajuk "Belas Kasih Dalam Agama Kita" yang ia publikasikan di akun Facebooknya (25/5/2017). Respon terhadap tulisan tersebut luar biasa, jadi viral. Ada yang pro ada yang kontra. Kelompok yang pro mengatakan bahwa Afi remaja yang langka. Pikirannya malampaui usianya. Kelompok yang kontra sebaliknya, Afi dipandang memiliki pikiran yang buntu.

Saya sempat membaca tulisan tersebut. Respon saya, biasa saja. Saya mengapresiasi Afi. Karena, terlepas sepaham atau tidak, sebuah pikiran bagi saya tetap layak dihargai. Meski demikian, saya tidaklah menganggap tulisan Afi sebagai tulisan yang luar biasa, baik dari aspek teknis maupun substansinya. Umum sajalah. Sampai di sana, saya memilih tidak ikut-ikutan bicara tentang gadis kelahiran Banyuwangi itu.

Setelah satu mingguan berita tentang Afi hilir-mudik, ada kegaduhan lagi. Tulisan Afi dicurigai memplagiat tulisan milik salah satu pengguna Facebook, Mita Handayani. Bahkan Mita secara jelas menyataan bahwa benar tulisan yang dipublikasikan Afi adalah milik Mita yang ia publikasikan pada tahun 2015 untuk momen Ramadhan. Dapat dirujuk pengakuannya di sini: http://aceh.tribunnews.com/2017/06/01/akun-mita-handayani-beri-pengakuan-mengejutkan-kepada-afi-nihaya-faradisa?page=2. Mita sudah memaafkan Afi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kejadian ini mengingatkan saya kepada beberapa kejadian. Pada satu ketika, puisi saya dicaplok bulat-bulat oleh seorang yang memperkenalkan dirinya sebagai penulis. Puisi itu diterbitkan di media massa. Ada kawan meminta saya bersikap tegas dengan menggugat yang bersangkutan. Tetapi saya memutuskan untuk tidak memperpanjang persoalan. Saya hanya menegur yang bersangkutan secara personal. Mengapa? Di dalam dunia kepenulisan, pencurian atas tulisan orang lain adalah dosa besar. Seumur-umur yang bersangkutan tidak akan dipercaya sebagai penulis sekaligus akan dicap pembohong seumur hidup. Saat itu, saya kalah dengan rasa kasihan. Bisa buram masa depan kepenulisannya jika publik tahu.

Pada ketika yang lain, ada seorang penulis (pemula) menjiplak salah satu puisi Chairil Anwar. Seorang kawan meminta saya segera membuat penghakiman terbuka, di muka umum. Lagi-lagi saya tidak melakukannya. Saya berharap yang bersangkutan mau berubah. Namanya pemula. Kasihan kalau dibunuh terlalu cepat dengan vonis mematikan di dalam dunia kepenulisan. Kembali saya kalah oleh rasa kasihan. Meski hingga kini, orang tersebut tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Tetapi paling tidak, ia tidak lagi menjiplak karya orang lain.

Ada lagi satu ketika, seseorang inbox saya. Ia mengatakan bahwa ia sangat menyukai kumpulan buku puisi saya yang berjudul "....". Di dalamnya terdapat karya-karya saya, begitupun di covernya, ada nama saya. Saya kelabakan, karena tidak merasa menerbitkan buku tersebut. Saya berusaha bersikap santai. Saya hanya menghubungi penerbit "indie" yang sekoyong-koyong menerbitkan puisi-puisi saya untuk sekadar konfirmasi. Mereka mengaku khilaf dan meminta maaf. Saya rasa itu cukup. Saya tidak membawa ke ranah hukum. Kasihan. Penerbit Indie di negeri ini seperti bernapas di dalam lumpur, kalau sampai saya seret ke ranah hukum, habislah napasnya.

Pernah juga seorang kawan yang juga penulis menyampaikan bahwa ada seorang penulis yang melakukan klaim atas apa yang sebenarnya saya dapatkan. Ia menyebarkan berita bohong di media-media ihwal pencapaiannya. Mungkin dia ingin populer secara instan, katanya. Saya hanya tertawa. Hal yang begituan memang sejak dulu tidak membuat saya merasa perlu menggapi. Biarkan saja. Toh, saya memang selalu kehilangan selera ketika bicara soal popularitas atau klaim-klaim. Lagi-lagi saya biarkan, keadaan tenteram tanpa perlu orang banyak tahu.

Bagaimana dengan kasus Afi? Mita telah memaafkannya. Hanya saja, kini persoalannya bukan antarperson lagi, sudah menyangkut hajat orang banyak. Mulanya saya malas ikut bicara untuk persoalan ini karena sudah terlalu banyak yang bicara, tapi pada akhirnya saya bicara juga. Meski saya tidak sungguh-sungguh tahu untuk apa dan apa gunanya.

Begini, ketika praktik plagiarisme terendus oleh publik, konsekuensinya memang sangat berat. Di dalam dunia kepenulisan, plagiarisme sungguh-sungguh dikutuk. Nyaris tidak ada kasus plagiarisme yang tidak membuat pelakunya ditelanjangi, dipermalukan, dan dicap sebagai orang yang tidak dapat dipercaya. Orang-orang yang kaget menerima kenyataan bahwa pelaku plagiarisme "dihabisi" beramai-ramai, dapat dipastikan tidak atau belum pernah masuk dalam dunia kepenulisan, minimal belum tahu hukum-hukum yang berlaku.

Hukuman bagi pelaku plagiat tidak hanya ada di dunia pendidikan semacam di kampus, sebagaimana dikatakan beberapa orang di media massa. Ukurannya juga bukan di mana tulisan berada, tapi hak intelektual. Hak intelektual di masa kini lebih mahal dari harga benda-benda. Sulit sekali untuk membenarkan pernyataan para dosen universitas-universitas negeri (tidak perlu saya sebutkan nama dan universitasnya, silakan rujuk sendiri di beberapa media massa) yang bicara bahwa ihwal plagiarisme hanya berlaku untuk tulisan ilmiah.

Pendapat semacam itu perlu disayangkan. Jika ini bentuk pembelaan, para dosen itu mestinya tidak melampaui batas. Janganlah sampai melukai, merobek, dan menghinakan ilmu pengetahuan. Pembelaan yang lebih aman kan bisa begini bunyinya: mari kita maafkan. Afi masih muda, masa depannya masih panjang. Saya juga setuju jika pembelaanya begitu. Bukan dengan membolak-balikkan keilmuan yang telah baku, lalu membuat teori-teori baru sesuka hati demi satu pembelaan. Jika yang dibicarakan kemasiaan, tentu ini tindakan tidak dapat disebut manusiawi.

Sebagaimana pandangan saya pada beberapa persoalan yang menyangkut karya saya secara pribadi, banyak yang menyatakan rasa kasihan. Masih anak belasan tahun, jangan di-bully. Betul juga itu. Tidak perlu mem-bully. Tetap harus pada koridor penyelesaian yang baik. Diluruskan agar tidak menjadi persoalan di hari mendatang. Namun ketika sudah berkaitan dengan hajat orang banyak yang ada potensi kebohongan publik yang begitu luas, menyandarkan pembelaan dengan kata "kasihan" akan sulit untuk dianggap cukup. Lebih sulit lagi ketika yang berasngkutan, tidak segera meminta maaf, sebaliknya ia asik bermain di dalam ruang opini publik dengan melempar tanggapan-tanggapan bias, juga tangisan.

Pada keadaan ini, tidak bisa juga menyalahkan orang-orang yang dengan tegas menyatakan bahwa si pelaku harus menerima hukuman berat. Mereka, terlebih para ahli yang betul-betul menghabiskan hidupnya di dunia kepenulisan, tahu betul persoalan ini adalah kesalahan besar (kalau tidak boleh mengatakan dosa besar) dan harus diluruskan agar tidak menimbulkan kerusakan. Saya pikir, tujuan kawan-kawan juga baik dan sesuai dengan dasar keilmuan yang mereka miliki. Mereka, sebagaimana saya, pasti juga terluka hatinya mendapati pembelaan para dosen yang mengatasnamakan keilmuan kepenulisan. Tidak etis menggugat keilmuan mereka dengan pandangan yang subjektif.

Termasuk juga pandangan bahwa Afi hanya anak remaja yang mestinya tidak dihadapi dengan cara yang tegas-tegasan. Mengingat plagirisme juga marak terjadi di kalangan akademsi, politisi, dan penulis. Seolah-olah ada yang mempertanyakan: Mengapa harus Afi yang menghadapi hukuman itu? Mengapa yang lain tidak? Sependek pengetahuan saya, ketika seseorang diketahui melakukan plagiarisme, terutama di kalangan penulis, tidak ada yang melenggang dengan ringan meninggalkan persoalan. Terakhir kasus NA, puisinya memplagiat puisi penyair lain. Ia juga menghadapi hukuman yang berat: dimasukkan dalam daftar hitam penulis.

Kalau yang dibicarakan adalah plagiarisme di wilayah perguruan tinggi, itu urusan orang-orang di dalamnya. Bagaimana sistemnya. UGM rasanya termasuk yang serius menangani masalah ini. Bahkan UGM memiliki Panduan Anti Plagiarisme. Hukuman yang diberikan kepada pelaku bisa sangat keras, dikeluarkan dari universitas yang bersangkutan. Meski kenyataannya UGM juga yang beberapa waktu lalu turut mengundang Afi sebagai embicara dalam kegiatan Pekan Pancasila UGM. Mungkin memang pihak UGM tidak merasa perlu melakukan pengecekan terhadap tulisan Afi.

Mengapa sedemikian angkernya? Sebagai gambaran, agar kawan-kawan yang tidak konsen di dunia kepenulisan atau tidak sama sekali ada di dalamnya dapat membayangkan lebih jauh, plagiarisme di dalam dunia kepenulisan seperti meludahi Pancasila di depan Pancasilais atau menertawakan konsep Khilafah di hadapan kawan-kawan yang sedang memperjuangkan khilafah. Segenting itulah posisi plagiarisme di tengah orang-orang yang menjunjung tinggi orisinalitas dan kejujuran sebuah tulisan.

Bagaimana kalau semua bersikap bijak? Iya, bersikap bijak lebih asik. Persoalannya, media massa sudah terlalu banyak bicara juga para politikus. Kita, kan, tahu, apapun atau siapapun yang masuk di dalam dua lingkaran itu, pasti akan jadi persoalan yang tidak akan selesai dengan satu kata "bijak". Maka siapapun yang bicara hari ini, termasuk tulisan saya ini, akan dibuat terjebak dalam pusaran tanpa haluan. Memag begitu yang diinginkan. Jadi kebijakan hari ini akan diproduksi sebagai bahan mentah yang akan diolah oleh siapa saja menjadi apa saja. Itu sulitnya.

Ini pun mengingatkan saya kepada suatu ketika yang lain. Ada satu OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) menerbitkan buku tanpa pengarang dan tanpa daftar pustaka. Padahal buku tersebut berisi data penting dan fakta-fakta. Saya cek buku tersebut. Ternyata bahannya mengambil dari berbagai buku dan tulisan yang tersebar di internet. Saya menegur beberapa orang di OKP tersebut. Mereka menolak disalahkan. Bagi mereka, apa yang mereka lakukan sudah benar. Buku tanpa penulis dan tanpa penyusun itu.

Karena saya orang yang malas berhadap-hadapan terlalu lama dengan orang yang sulit diberitahu, ya sudah saya abaikan. Di dalam hati saya berharap, semoga ada satu saja anggota di dalam OKP tersebut yang sedikit lebih cerdas dan tahu aturan. Setidaknya kesesatan tidak berkelanjutan, tidak diwariskan turun temurun. Harapan yang sama juga untuk persoalan Afi ini. Semoga semua, baik yang pro maupun kontra, tercerahkan oleh persoalan yang gaduh dan seolah-olah keruh ini.

Begitulah. Mohon maaf jika ini mengusik hati dan pengetahuan kawan-kawan.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Rois Rinaldi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu