x

Jamaah Ahmadiyah Depok melaksanakan salat isya dan taraweh berjamaah di markas mereka yang disegel di Jalan Raya Muchtar Sawangan, 5 Juni 2017. Foto: Imam Hamdi

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ahmadiyah dalam Nestapa Ibadah

Ekses dari SKB tiga menteri itu jelas, membuat Jamaah Ahmadiyah semakin kesulitan melakukan ibadah, karena tak mungkin harus "tobat" karena mereka muslim

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keberadaan Jamaah Ahmadiyah kerapkali mendapat penolakan publik, bahkan pernah terjadi persekusi dari pihak intoleran terhadap jamaah ini beberapa tahun yang lalu, sehingga keberadaannya saat ini mungkin tak lebih dari kelompok-kelompok kecil dan itupun terkadang masih dipersekusi. Entah apa dasarnya, beberapa kelompok intoleran justru menjadi “beringas” ketika berhadapan dengan Jamaah Ahmadiyah, seakan-akan mereka adalah “musuh bebuyutan” yang harus dimusnahkan. Padahal, Jamaah Ahmadiyah bukanlah sekelompok orang yang gemar memaksakan kehendak kepada pihak lain, melakukan tindak kekerasan, apalagi menebar kebencian. Perbedaan mereka dalam soal agama, hanya pada soal sumber-sumber rujukan keagamaan didasarkan pada ajaran para syekh mereka sendiri, bukan pada sumber-sumber yang umum digunakan masyarakat muslim. Keyakinan yang besar Jamaah Ahmadiyah hanya atas keulamaan Syekh Mirza Ghulam Ahmad (SMGA), belakangan menjadi masalah di tengah realitas umat, karena dianggap memiliki ajaran “menyimpang” dari agama Islam.

Konon, Jamaah Ahmadiyah secara garis besar terbagi kedalam dua kelompok, Qodiyan dan Lahore. Perbedaan keduanya lebih dititikberatkan pada soal memposisikan SMGA, dimana Qodiyan menganggap ia sebagai utusan Tuhan setelah Nabi Muhammad dan Lahore hanya memposisikan SMGA sebagai seorang mujaddid (pembaharu) ajaran Islam, sama dengan ulama-ulama muslim lainnya. Karena banyak ajaran Ahmadiyah yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam secara umum, maka kelompok ini dinyatakan dilarang oleh pemerintah, melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tahun 2008 yang memerintahkan kepada kelompok Ahmadiyah agar menghentikan seluruh kegiatannya karena bertentangan dengan Islam. Implikasi dari SKB tersebut, jelas memunculkan sikap terbelah dalam masyarakat karena terdapat pro dan kontra diantara mereka.

Ekses dari SKB tiga menteri itu jelas, membuat Jamaah Ahmadiyah semakin kesulitan melakukan ibadah, karena rasa-rasanya untuk melakukan “tobat” menjadi muslim kembali seperti kebanyakan adalah hal aneh bagi mereka. Mereka tetap meyakini sebagai seorang muslim, sehingga tak perlu lagi mengulang syahadat dan kembali masuk Islam. Mereka juga tidak seperti yang digambarkan banyak orang, bahwa seluruh ritual ibadahnya adalah asing dan bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka tetap sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, melakukan haji ke Mekkah, berzakat dan seluruh ritual keagamaan mereka jalankan sama dengan muslim kebanyakan. Saya kira, mereka mewarisi keyakinan Ahmadiyah secara turun temurun dari leluhur mereka, sama seperti umat muslim kebanyakan yang juga mewarisi agama orang tua mereka. Diskriminasi terhadap kelompok “sempalan” agama seperti ini, terlebih mereka adalah warga negara Indonesia, hanya akan melahirkan rasa kebencian yang timbul dalam masyarakat, baik yang pro maupun kontra.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keberadaan Jamaah Ahmadiyah yang semakin terjepit dan terpinggirkan akibat pelarangan pemerintah, sejauh ini hanya mengandalkan rumah-rumah pribadi yang di multifungsikan sebagai tempat ibadah bagi jamaah mereka. Salah satu Mubaligh Ahmadiyah Jakarta, Muhammad Ali, bahkan mengklaim hanya ada sembilan rumah ibadah yang dipergunakan oleh Ahmadiyah, itupun dua diantaranya sudah disegel aparat karena melanggar hak peruntukannya. Nestapa Ahmadiyah tidak hanya keberadaannya yang dicurigai bahkan tidak diterima oleh masyarakat, tetapi juga nestapa ibadah yang mereka rasakan, karena rumah ibadah yang diyakini “sesuai” dengan kelompok mereka saat ini hampir sulit untuk dijangkau dan ditemukan. Saya kira, pemerintah juga sudah semestinya memberikan jalan keluar yang terbaik bagi mereka, sehingga mereka tidak seperti warga kelas dua di tanah kelahiran mereka sendiri.

Saya cenderung berasumsi, bahwa lahirnya SKB tiga menteri yang melarang aktivitas Ahmadiyah lebih mempertimbangkan unsur kerawanan yang mungkin bisa timbul di tengah masyarakat sehingga mengancam suasana kedamaian masyarakat, bukan semata-mata karena adanya unsur “kesesatan” dalam ajarannya. Kriteria “kesesatan” sangatlah subjektif tergantung dari cara pandang keumuman keyakinan agama seseorang, bukan secara objektif menilai kenapa muncul keyakinan yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama secara umum. Suasana subjektivitas yang selalu dibawa-bawa, kemudian semakin mudah menyimpulkan yang tentunya berdasarkan “subjektivitas”nya bahwa suatu ajaran agama itu terindikasi menyimpang. Padahal, keyakinan atau agama adalah hal yang tak bisa dipaksakan, karena itu menjadi wilayah individual yang sangat privat yang manusia tidak berhak menilainya. Sesungguhnya, hanya Tuhan-lah yang paling berhak menilai, seseorang itu sesat atau benar, menyimpang atau lurus, karena manusia tidak akan sanggup mengukur kadar nilai keimanan seseorang.

Meski demikian, sebagai seorang atau sekelompok muslim yang sudah diperingatkan tentang adanya penyimpangan dalam keyakinan yang mereka anut, harus mau berdialog dan membuka diri serta mengakui bahwa ketika terjadi penyimpangan, tentu harus mau meluruskannya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam secara umum. Jika tidak mau berdialog, atau bahkan keukeuh bahwa ajaran yang mereka anut tidak menyimpang, maka hukum yang akan berbicara soal bagaimana menanggulangi kelompok yang dianggap meresahkan masyarakat. Barangkali hal ini kurang lebih sama ketika Abu Bakar menjadi khalifah menggantikan Nabi Muhammad, mengajak orang-orang yang murtad kembali kepada ajaran Islam, tetapi mereka menolak, maka negara tentu harus bersikap tegas agar tidak terjadi praktik kekerasan di tengah masyarakat.

Memang dirasa sulit bagi aparat pemerintah yang mencoba ingin mengakomodasi beberapa kelompok yang dinilai “menyimpang” secara agama. Di satu sisi, negara harus melindungi setiap hak warga negara, termasuk ketika terjadi aksi kekerasan, persekusi atau main hakim sendiri terhadap kelompok-kelompok tertentu, maka negara harus hadir untuk menyelesaikannya. Di sisi lain, kenyataan terjadinya penyimpangan dalam agama, jelas meresahkan warga negara lainnya yang juga harus dilindungi, agar mereka tidak bertindak dengan cara mereka sendiri menyelesaikan penyimpangan yang ada. Disinilah saya kira, perlu dibangun dialog terus menerus dengan melibatkan seluruh unsur dalam masyarakat, terutama menangkal berbagai penyimpangan ajaran agama yang kerap kali terjadi pembiaran, lalu setelah membesar dan menjadi ancaman bagi masyarakat, baru kemudian dilakukan penyelesaian.

Kasus Ahmadiyah yang nasibnya tak jelas, beribadah semakin susah, bahkan kerapkali mengalami intimidasi, jangan sampai nestapanya sama dengan kaum Syiah Sampang yang hingga kini masih hidup di pengungsian. Persoalan-persoalan penyimpangan agama yang banyak terjadi di Indonesia sudah seharusnya menjadi perhatian yang serius para penguasa. Hal ini seringkali menimbulkan rasa ketidakadilan dalam masyarakat, sehingga bisa saja melahirkan orang-orang yang merasa terpinggirkan dan mencari jalan keluar secara lebih ekstrem, seperti radikalisme atau terorisme. Bukankah agama selalu membawa pesan kebaikan dan kedamaian? Lalu kenapa selalu saja ada penyimpangan atas ajaran dan nilai-nilai luhurnya? Di sinilah keberadaan manusia yang selalu saja bersikap “melampaui batas” karena mereka putus asa dari kasih sayang yang Tuhan berikan.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan