x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Radikalisme Ilmiah Ibn al-Haytham

Beranjak dari pemikiran Yunani, ibn al-Haytham lalu menolaknya dan membangun pemikirannya sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebagai figur yang berusaha menemukan kebenaran melalui kegiatan ilmiah, Hasan ibn al-Haytham (965-1040 M) tergolong radikal—ia bukan hanya menjungkirkan pandangan sebelumnya, tapi juga mengajukan cara baru untuk menemukan kebenaran dari sudut ilmu pengetahuan. Ia sosok yang tidak puas hanya bermain dengan ‘eksperimen pikiran’.

Sekitar enam abad sebelum orang-orang Eropa bangun dari tidur panjangnya, ibn al-Haytham telah mengajukan pandang bahwa mata menerima cahaya yang dipantulkan oleh obyek. Pandangan ini berlawanan dengan pendapat yang masih dipegang hingga masa itu, yang berasal dari Ptolemius dan Euclidus, bahwa cahaya dipancarkan oleh mata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam kitab mashurnya, Kitab al-Manazir (Buku Optik), ibn al-Haytham mengungkapkan bagaimana ia sampai kepada pandangan yang radikal itu. Mula-mula ia melakukan observasi untuk menyusun hipotesisnya. Dari tahap ini, ia tidak mau melompat langsung kepada teori yang abstrak. Ia menguji hipotesisnya lebih dulu dengan eksperimen. Dari hasil eksperimen ini, ibn al-Haytham menarik simpulan untuk menerima atau menolak hipotesis yang sudah ia buat. Gagasannya sangat kekinian, meskipun sesungguhnya dialah yang merintisnya.

Sungguh menarik bahwa ibn al-Haytham tidak berhenti sampai di situ. Untuk mendukung kesimpulan dari hasil eksperimennya, ia mengajukan argumen-argumen rasional. Ia juga menopangnya dengan pendekatan matematis (ta’alim), geometri khususnya, yang menjadikan pandangannya secara ilmiah berdiri di atas landasan yang kokoh. Metode ilmiah ibn al-Haytham sangat mirip dengan metode ilmiah modern dan mencakup siklus berulang observasi, hipotesis, eksperimentasi, dan verifikasi independen.

Dalam pengantarnya tentang ibn al-Haytham, Al-Haytham the Man of Experience, Gorini menulis: “Menurut mayoritas sejarawan, al-Haytham adalah pionir metode ilmiah modern. Dengan bukunya, ia mengubah makna pengertian ‘optik’, dan menjadikan eksperimen sebagai norma pembuktian dalam bidang ini. Penyelidikannya didasarkan bukan pada teori-teori abstrak, melainkan pada bukti-bukti eksperimental. Eksperimennya sistematis dan dapat diulangi (repeatable).”

Cara Ibn al-Haytham memadukan observasi, eksperimen (i’tibar), serta argumen-argumen rasional memberi pengaruh besar terhadap orang Barat seperti Roger Bacon, Johannes Kepler, Rene Descartes, maupun Christian Huygens. Bacon (1214-1296), yang belajar di bawah bimbingan Grosseteste, terilhami oleh tulisan-tulisan ibn al-Haytham, yang meskipun beranjak dari gagasan Aristoteles—khususnya mengenai mata yang memancarkan cahaya—namun ia menolak pandangan pemikir Yunani ini.

Bradley Steffen juga menegaskan, dalam bukunya Ibn al-Haytham: First Scientist, bahwa pendekatan ibn al-Haytham terhadap pengujian dan eksperimentasi membuahkan kontribusi penting bagi pengembangan metode ilmiah. Cara kerja dan kesimpulan yang dibuat ibn al-Haytham mengenai sejumlah topik menunjukkan kemandirian berpikir ilmuwan ini. Meskipun mula-mula ia beranjak dari pemikiran sejumlah orang Yunani, seperti Ptolemeus dan Aristoteles, tapi ia mampu menemukan jalannya sendiri dan menarik kesimpulan yang sama sekali berbeda dari pendahulunya.

Dalam makalahnya mengenai praktik sains dan pertumbuhan pengetahuan ilmiah, ibn al-Haytham mengatakan dengan tegas bahwa ‘kebenaran akan menemukan dirinya sendiri’ dan bahwa ‘otoritas ilmiah tidak kebal dari kesalahan’. Lantaran itulah, ia menyatakan posisinya: “Pencari kebenaran bukanlah mereka yang memelajari tulisan-tulisan pendahulunya dan, mengikuti kecondongan alamiahnya, menaruh kepercayaan kepada mereka, melainkan mereka yang mengajukan argumen dan demonstrasi, dan bukan pada perkataan manusia yang sifatnya penuh dengan segala bentuk ketidaksempurnaan dan kekurangan.”

Ibn al-Haytham melanjutkan: “Jadi, tugas manusia yang memeriksa tulisan-tulisan para ilmuwan, bila memelajari kebenaran menjadi tujuannya, ialah menjadikan dirinya lawan bagi semua yang ia baca, dan, menggunakan pikirannya untuk memeriksa inti dan batas-batas kandungannya, menyerangnya dari segala sisi.Ia juga harus mencurigai dirinya sendiri saat melakukan pemeriksaan kritis sehingga ia dapat terhindar dari prasangka atau memberi kelonggaran.”

Sebagai pencari kebenaran ilmiah, tidakkah ibn al-Haytham seorang yang radikal? (Gambar: Poster perayaan Tahun Cahaya Ibn al-Haytham oleh Unesco dan institusi lain, 2015) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler