x

Iklan


Bergabung Sejak: 1 Januari 1970

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reformasi dan Militer

Campur tangan atau keterlibatan militer dalam politik pemerintahan, dapat dilihat sebagai fenomena ciri-ciri dan fenomena distingtif (Nordlinger, 1994).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Ikhsan Yosarie

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas

 

Campur tangan atau keterlibatan militer dalam politik pemerintahan, dapat dilihat sebagai fenomena ciri-ciri dan fenomena distingtif (Nordlinger, 1994). Keterlibatan militer dalam fenomena ciri-ciri dikarenakan kebanyakan prajurit militer, pemerintah, dan rezim menunjukkan banyak persamaan yang mendasar. Kemudian, dalam fenomena distingtif, karena terdapat perbedaan penting diantara elit militer dengan elit sipil, pemerintah dan rezim sipil pada umumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keterlibatan atau campur tangan militer dalam politik saat Orde Baru, menyisakan traumatis pada era sekarang. Dengan ragam tindakannya pada masa lalu, berakibat munculnya persoalan berupa penolakan kembalinya militer ke dalam ranah politik pada zaman refomasi. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu tuntutan reformasi, yaitu penghapusan dwi fungsi ABRI. Militer dengan hegemoninya menjadi salah satu basis kekuatan politik (selain Golkar) yang dominan ketika Orde Baru.

Ketakukan dan stigma yang muncul ketika militer masuk kembali ke dalam ranah politik adalah lahirnya neo-Orde Baru, militer kembali menjadi aktor utama dan dominan dalam dinamika politik. Ketika hal demikian terjadi, indikasi “selingkuhnya” penguasa dengan militer akan terbuka lebar, dan memunculkan kembali rezim otoriter yang mengamputasi kebebasan masyarakat sipil.

Ketakutan atau traumatis bukan tanpa alasan, sejarah mencatat bahwa cengkraman militer dalam perpolitikan tanah air ketika rezim Orde Baru berkuasa begitu kuat. Sehingga, Orde Baru menjadi implementasi dari aliansi ABRI, terutama Angkatan Darat (sebagai aktor utama), dengan kaum teknokrat (aktor pendamping) dan tampil sebagai penguasa pentas politik tanah air.

Pengaruh politik militer yang demikian kuat, dan dengan bobot kekuasaan yang begitu besar, fenomena ini disebut sebagai “kekuasaan kelas berat”, atau dalam terminologi yang digunakan oleh Lasswell dan Kaplan yaitu Scope and Weight of Power. Ibarat dalam dunia tinju, maka kekuasaan seperti itu disebut sebagai kekuasaan “kelas berat”, bukan “kelas bulu”, atau kelas dibawah lainnya (Yahya Muhaimin, 2005).

Dengan doktrin Dwi-Fungsi ABRI, militer pada masa Orde Baru menjelma menjadi aktor utama dalam perpolitikan dan memiliki fraksi dalam parlemen. Namun, dinamika politik era Reformasi, menjungkirbalikkan kekuatan politik militer dalam konstelasi politik nasional.  perlahan militer mulai disisihkan hak politiknya dan dikembalikan kepada ranah sejatinya sebagai alat pertahanan negara. Kekuatan masyarakat sipil yang didorong oleh semangat reformasi dan demokrasi, mampu menandingi pengaruh militer pada masa transisi demokrasi. Pada akhirnya, tekanan-tekanan demikian menjadi salah satu sebab mengapa konstelasi politik berubah dari Orde Baru ke Reformasi.

Hilangnya peran atau hak politik militer pada era reformasi, ditandai dengan munculnya TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Dalam aturan tersebut, pada pasal 5 (2) dikatakan bahwa TNI bersikap netral dalam kehidupan politik, dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Dalam hal ini, artinya militer dikembalikan dan harus fokus sebagai fungsi utamanya untuk alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menjelang Pemilu dan Pilkada, pembahasan tentang pemberian hak politik militer sudah marak dibicarakan. Ada yang menganggap bahwasanya pemberian hak politik ini sebagai “pengganti” ditariknya fraksi militer dalam parlemen. Namun, tetap saja pro-kontra menyelimuti isu ini. Secara garis besar, penolakan terkait hal ini cukup logis. Pertimbangannya adalah reformasi internal TNI yang belum selesai, terganggunya profesionalitas prajurit, dan indikasi perpecahan elit militer seperti masa-masa sebelumnya. Apalagi, banyaknya para purnawirawan berpengaruh yang telah mendirikan partai sendiri.  

Menanggapi hal tersebut, respon datang dari beragam kalangan, ada yang sepakat bersyarat, namun ada juga yang menolak. Sepakat bersyarat, maksudnya TNI hanya punya hak memilih, tetapi tidak dengan hak dipilih. Sementara mereka yang menolak, tentu karena adanya indikasi TNI menggunakan kekerasan atau senjata dalam Pemilu. Karena, TNI menjadi entitas negara yang memiliki legitimasi untuk memegang senjata. Dan tentu, jika TNI diberikan kembali hak politik, maka kita harus mengamandemen TAP MPR VII/MPR/2000 yang mengatur bahwasanya TNI tidak memiliki hak dipilih dan memilih.

Penutup

Pembahasan tentang memasukkan militer kedalam ranah politik, atau pemberian kembali hak politik militer merupakan persoalan yang penting untuk di bahas saat ini. Selain karena era sudah berganti (Orba-Reformasi), hal ini juga untuk mengantisipasi penggunaan aparat militer oleh penguasa (skala lokal ataupun nasional) untuk hal-hal di luar aturan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Aspirasi prajurit harus di dengar, karena ini berkaitan dengan kesejahteraan setiap prajurit. Pembahasan tentang militer dan politik bertujuan untuk memastikan hitam-putih posisi militer dalam politik.

Jikapun hak politik militer belum di berikan, aturan tentang penggunaan militer dalam setiap kegiatan di luar tugas Operasi Militer untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang (sesuai pasal 7 ayat (2) UU TNI harus di evaluasi. Serta perihal rincian situasi tugas pembantuan TNI terhadap Polri dalam persoalan keamanan pun juga harus jelas. Namun, seandainya di berikan pun aturan yang rinci jug harus di berikan. Agar prefesionalitas setiap prajurit tetap terjaga, dan tidak hanyut dalam dunia politik praktis.

Yang perlu dicatat adalah persoalan ke-inheren-an politik didalam tubuh institusi militer itu sendiri, dan doktrin kemanunggalan TNI dengan rakyat. Yahya Muhaimin dan Harold Crouch dalam masing-masing bukunya juga sepakat soal ini, bahwasanya militer sejak lahirnya sudah committed dengan urusan-urusan non-militer, termasuk dalam bidang politik, serta tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer. Stabilitas nasional akan menjadi faktor kunci apakah militer akan terlibat “kembali” atau tidak pada era reformasi sekarang.

 

SUmber Foto : Waspada Online

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler