x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Manggarai Hanya Dijajah Belanda 16 Tahun

Historiografi Manggarai karya Dami N. Toda

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi

Penulis: Dami N. Toda

Tahun Terbit: 2009

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Nusa Indah

Tebal: 442 halaman

ISBN: 978-429-142-0

 

Indonesia sudah merdeka selama 70 tahun. Namun penulisan sejarah masih juga belum dianggap selesai. Sejarah-sejarah lokal, sebagai pembentuk sejarah nasional masih sangat sedikit yang ditulis, bahkan terkesan diabaikan. Buku resmi Pemerintah tentang Sejarah Nasional sangat sedikit memuat sejarah-sejarah lokal. Kalaupun ada, kebanyakan adalah sejarah lokal wilayah-wilayah di Jawa dan Sumatra, atau sedikit di Sulawesi. Sejarah wilayah NTT, Maluku dan Papua masih sangat sedikit termuat dalam khasanah sejarah nasional.

Dami N. Toda adalah salah satu ahli sejarah yang berupaya untuk memperkaya khasanah sejarah nasional melalui karyanya tentang sejarah Manggarai. Upaya yang dilakukan selama 10 tahun ini – Toda sudah mulai mengumpulkan bahan 30 tahun sebelum bukunya terbit, akhirnya menghasilkan karya historiografi yang luar biasa lengkap tentang Manggarai.

Toda dengan rinci menggambarkan sejarah Manggarai. Mula-mula Toda mencari sejarah awal Manggarai berdasarkan dokumen-dokumen Kerajaan Bima, sumber peta-peta kuno dan kitab Negarakertagama. Ia menemukan bahwa nama Ende, Solor, Manggarai, Larantuka sudah ada sebelum abad 16, saat para pelayar dari Portugis dan Spanyol sampai di Flores. Pada abad 15, wilayah Flores masuk dalam kekuasaan Majapahit yang dijaga oleh armada laut pimpinan Empu Nala. Melalui penelusuran peta kuno, Toda menemukan bahwa pada abad 16, Pulau Flores sudah berhubungan dengan Kerajaan Goa-Tallo dari Sulawesi Selatan. Flores merupakan wilayah penghasil cendana, sementara Maluku menghasilkan rempah. Pelaut-pelaut Goa-Tallo, dengan kapal pinisi melakukan perdagangan di wilayah ini.

Salah satu topik dalam buku ini adalah tentang klaim Belanda-Bima terhadap wilayah Manggarai sejak tahun 1667. Klaim Belanda terhadap wilayah Manggarai didasarkan kepada perjanjian Bima-Belanda. Bima menganggap bahwa Manggarai adalah wilayah jajahannya. Dengan demikian otomatis wilayah Bima adalah menjadi wilayah yang dilindungi Belanda. Klaim Bima didasarkan pada kisah Tanah Perhambaan. Menurut catatan yang ada di Kerajaan Bima (berjudul Ceritera Manggarai - 1762), Manggarai merupakan wilayah yang dikuasai oleh Dewa Sang Bima dan keturunannya. Toda menemukan bahwa klaim tersebut adalah klaim yang dibuat oleh mereka yang tidak paham dengan detail wilayah Flores, sehingga batas-batasnya tidak sesuai dengan yang ada. Toda juga membuktikan bahwa sampai dengan tahun 1667, Bima dan Manggarai mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai jajahan kerajaan Goa-Tallo. Dokumen-dokumen Kerajaan Bima lainnya juga menunjukkan inkonsistensi. Toda menyimpulkan bahwa dokumen-dokumen tersebut dibuat untuk kepentingan politik Bima di depan Belanda.

Klaim Bima juga didasarkan atas asal-usul nama Manggarai. Manggarai berasal dari Bahasa Bima manga yang artinya manusia dan raj yang artinya raja – manusia milik raja. Ada juga yang menyatakan bahwa Manggarai berasal dari manga yang artinya sauh dan rai yang artinya lari/lepas. Konon tentara Bima yang datang ke wilayah ini sauh kapalnya diputus oleh penduduk lokal dan mereka berteriak-teriak manga rai…manga rai. Namun Toda berhasil mematahkan teori tersebut. Toda mematahkan pendapat ini dengan mengutip kisah di pulau Rinca. Seorang Belanda mencatat kunjungan raja Tallo bernama Mangarangi yang berkunjung ke wilayah Flores barat pada tahun 1626. Saat itu penguasa Rinca menerima Mangarangi sebagai raja dan penguasa Rinca sebagai wakilnya. Sejak itulah wilayah ini disebut Manggarai.

Bukti lain untuk memperkuat bahwa Manggarai bukan kekuasaan Belanda sejak tahun 1792 adalah kunjungan orang Barat ke Manggarai baru terjadi pada tahun 1880. Fredericus Albertus Colfs adalah orang Barat pertama yang menjelajahi wilayah Manggarai untuk mengumpulkan kupu-kupu. Colfs membuat peta pedalaman Manggarai. Jadi meski seandainya Manggarai telah menjadi wilayah Belanda, Belanda tidak pernah mengurus wilayah ini sampai dengan kedatangan Colfs.

Toda juga memeriksa dokumen-dokumen pasca tahun 1900 yang berhubungan dengan Manggarai. Berbeda dengan sumber-sumber sebelum tahun 1990 yang kebanyakan adalah dokumen Kerajaan Bima, dokumen setelah tahun 1990 adalah dokumen-dokumen yang ditulis di lokasi (di Manggarai atau dari kunjungan ke Manggarai). Meski ditulis di Manggarai atau berdasarkan kunjungan ke Manggarai, kebanyakan tulisan masih didasarkan kepada persepsi dari dokumen-dokumen Bima. Dokumen-dokumen yang ditulis oleh orang Belanda ini berhasil merangkai sumber-sumber asli dari informan lokal, meski masih menggunakan latar belakang dokumen Bima.

Dokumen-dokumen yang ada pada era 1900 adalah dokumen yang dibuat ketika Belanda mulai serius untuk mengelola Flores. Tiga dokumen utama yang dikaji oleh Toda adalah Laporan Zollinger, Laporan Freijss dan Dokumen Braam Morris. Pada tahun 1847 pemerintah Belanda di Sulawesi mengirim Zollinger untuk membuat penelitian di Flores. Zollinger mengumpulkan informasi tentang sejarah, geografi, etnologi, religi dan kepercayaan lokal, demografi, kemasyarakatan, pemerintahan dan ekonomi. Zollinger mempertanyakan klaim Kerajaan Bima atas Maggarai karena tidak menemukan jejak Bima dalam penelitiannya (hal. 180). J.J Freijss melakukan perjalanan ke Manggarai dalam rangka menjajaki perdagangan ke wilayah ini pada tahun (1854). Freijss menggunakan surat dari Raja Bima untuk kunjungannya. Namun surat tersebut ditolak oleh Adak Todo, karena Adak Todo tidak merasa bahwa Manggarai adalah bawahan Bima. Namun Adak Todo berkenan memberikan tempat bagi Freijss dan anak buahnya tinggal di salah satu lokasi di dekat pantai (hal. 185). Dalam laporannya pada tahun 1860, Freijss menyebutkan bahwa Flores memiliki potensi tambang mineral (emas, timah dan besi). Namun setelah diteliti oleh Wichmann, seorang ahli geologi yang didatangkan oleh Belanda, ternyata laporan Freijss tidak benar. Laporan Freijss salah karena dia menggunakan penterjemah dari Bima yang tidak paham Bahasa Manggarai. Akibatnya Wae Pesi yang artinya sungai untuk mencari udang diterjemahkan sebagai sungai yang mengandung besi. Sedangkan dokumen Braam Morris tentang nama-nama kampung dan nama-nama tempat ternyata 99% salah! Braam Morris membuat dokumen administrasi kepemerintahan di wilayah Manggarai dalam rangka menyiapkan intervensi Belanda di wilayah Manggarai (hal. 194).

Selain mengkaji dokumen, Toda juga melakukan penelitian langsung di lapangan dengan mewawancarai para informan. Melalui para informan ini, dilengkapi dengan hasil penelitian John Hakim Song (1986), Toda menggambarkan asal mula kerajaan Manggarai. Toda menyampaikan bahwa selain penduduk lokal, Manggarai berturut-turut bercampur dengan pendatang dari Sumba, Turki, Goa-Tallo, Melayu dan Minang. Baru pada tahun 1640, terjadi pembaharuan ketataneragaan mengikuti model yang dibawa oleh Goa-Tallo (hal. 247).

Kehadiran Kerajaan Bima di wilayah ini adalah karena diundang salah satu kerajaan Todo yang berkonflik dengan kerajaan Cibal. Namun Bima tidak pernah berani menghancurkan Cibal karena Cibal masih berada dalam perlindungan Goa-Tallo.

Sejak isu kandungan mineral yang bisa ditambang dan keinginan Belanda untuk menguasai wilayah-wilayah yang belum dikenal maka Belanda mulai serius memperhatikan wilayah Manggarai. Mula-mula Belanda melakukan banyak penelitian lapangan. Kemudian mengirimkan tentara untuk penaklukan pada tahun1890 dan penaklukan dengan lebih sistematis dilakukan pada tahun 1907. Namun administrasi Belanda baru benar-benar hadir di Manggarai pada tanggal 20 Desember 1929, saat Belanda mengikat perjanian resmi dengan Kraeng Bagung Raja Manggarai. Saat ini terjadi, klaim Bima atas Manggarai sudah tergerus habis.

Jadi bisa disimpulkan bahwa Manggarai tidak pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bima dan baru ‘dijajah’ Belanda sejak tahun 1929, atau hanya 16 tahun saja.

Sebagai seorang penyuka sejarah tetapi tak memiliki latar belakang ilmu sejarah, saya terengah-engah membaca buku yang sangat menarik ini. Meski buku ini ditulis dengan struktur yang sangat baik, namun penjelasan yang sangat detail (yang menurut saya hanya cocok untuk para cendekiawan berdisiplin ilmu sejarah) membuat saya menjadi kelelahan. Alangkah baiknya apabila suatu saat ada pihak yang mau mengedit ulang buku ini sehingga bisa lebih ramah untuk pembaca awam. Sayang sekali pengetahuan yang luar biasa penting ini kalau tidak sampai kepada khalayak luas. Sayang kalau hanya dikonsumsi oleh para ahli sejarah yang sukanya bersembunyi di perpustaan di antara buku-buku.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler