x

Iklan

Tibiko Zabar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mosi Tidak Percaya Untuk DPR

Tulisan ini merupakan respon keras terhadap DPR yang terus menggempur KPK lewat hak angket.. (Foto; Anaw)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Ini mosi tidak percaya, jangan anggap kami tak berdaya”.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepenggal lirik lagu grup band Efek Rumah Kaca (ERK) di atas layak dilontarkan publik untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini. Masyarakat dihiraukan, usul diabaikan tanpa dipertimbangkan dan  hak angket untuk KPK tetap jalan. Masih layakkah mereka menjadi wakil rakyat?

 

Entah apa yang ada dalam pikiran para anggota dewan yang bertahta di Senayan, mereka tak ubahnya pemain watak dalam drama Ketoprak (Ketoprak; seni pertunjukan lawak hiburan rakyat). Berganti ganti peran dengan mudah seketika antar pemain tergantung episode tema yang akan dibawakan.

 

Namun sayangnya, mereka tidak lucu sepertinya para pemain Ketoprak yang bertujuan menghibur kita. Drama panggung politk  justru membuat rakyat geram akan tingkah laku mereka. Belakangan pengguliran hak angket KPK diteruskan dan kian makin dipertontonkan kepentingan kelompok yang diemban.

 

Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri, atau sama sekali tidak didengar suara penolakan masyarakat atas upaya mereka yang bersikeras memaksa hak angket untuk KPK. Belakangan DPR tengah gencar mengebut percepatan hak angket, hingga terakhir pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket telah disahkan.

 

Tak henti – hentinya wakil rakyat diingatkan bahwa menggulirkan hak angket merupakan siasat yang tidak tepat, dan menyimpang dari ketentuan yang ada. Sebelumnya telah banyak ahli serta para pegiat demokrasi dan antikorupsi maupun masyarakat juga telah melontarkan sejumlah alasan kuat penolakan terkait hak angket DPR untuk KPK.

 

Sedari awal tentu masyarakat masih inget mengapa hak angket untuk KPK ini mulai digulirkan. Pasca geger penetapan tersangka mega korupsi KTP elektronik, dalam persidangan perkara tersebut ada pernyataan menarik yang disampaikan Miryam S. Haryani, politikus Hanura saat menjadi saksi pada kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun ini. Miryam yang kini menjadi tersangka KPK menyampaikan bahwa ada sejumlah koleganya yang menekan Miryam untuk mencabut berita acara pemeriksaan.

 

Buntut panjang dari pernyataan persidangan ketika KPK melakukan rapat dengan DPR yang meminta komisi antirasuah untuk membuka berita acara pemeriksaan Miryam. KPK tegas saja menolak permintaan tersebut. Kini hak angket telah berlanjut, pembentukan panitia telah dilakukan dengan keterwakilan 7 fraksi, yakni Fraksi PDIP, Golkar, PAN, Hanura, PPP, NasDem, dan Gerindra . Lagi – lagi parlemen senayan menyalahi aturan, sebelumnya pada pengesahan panitia khusus angket hanya ada 5 fraksi yang mengirimkan perwakilan. Tentu saja hal tersebut menambah daftar ‘terobosan aturan’ yang DPR lakukan.

 

Kembali DPR harus ingat dengan adanya Undang – undang (UU) MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang mengatur bagaimana mereka bisa menggunakan hak angket. Akan tetapi, aturan tak diindahkan, terobosan demi terobosan yang terus gencar dilakukan. Paling tidak jika melihat sekarang hingga kebelakang terkait hak angket KPK ada 3 kali tahapan yang dilakukan DPR dan menyalahi ketentuan.

 

Pertama dalam pembentukan panitia hak angket harus ada keterwakilan semua fraksi di DPR, namun pembentukan panitia khusus (30/5) disahkan saat hanya ada 5  perwakilan fraksi saja. Kedua, masih dalam UU MD3 mengatakan bahwa hak angket memang hak DPR, yang dilakukan untuk penyelidikan terhadap pelaksanaan UU, kebijakan pemerintah yang strategis yang berdampak pada kehidupan bermasyarakat hingga jika ditemukan adanya pertentangan dengan peraturan perundang – undangan. Tetapi ketentuan yang berbunyi pada pasal 79 ayat (3), tidak terlihat dalam hak angket KPK.

 

Ketiga, harus diingat DPR sebagai representasi rakyat dan sebagai buah dari sistem pemerintahan yang demokratis tentunya harus menggambarkan proses pengambilan keputusan yang demokratis. DPR sepertinya tutup mata dengan hal itu, proses pengesahan hak angket yang kala itu dipimpin wakil DPR Fahri Hamzah, mengabaikan hujan interupsi penolakan hingga aksi keluar dari ruang sidang (walk out). Padahal pasal 199 ayat (1) UU MD3 telah mengatur bahwa pengambilan keputusan harus dihadiri ½ anggota DPR dan mendapat persetujuan 1/2 dari jumlah anggota dewan.

 

Selain ketiga hal diatas, memaksakan hak angket yang nyatanya sudah cacat hukum tentu juga akan berimplikasi terhadap kerja panitia hak angket yang dapat dikatakan ilegal. Dengan begitu ketika mereka menggunakan fasilitas maupun anggaran negara yang sangat diragukan legalitasnya, maka potensi kerugian negara justru akan timbul dari anggaran hak angket yang cukup besar yakni Rp 3,1 miliar.

 

DPR sudah wajib untuk membatalkan hak angket KPK. Jika tetap dilanjutkan perilaku ini bukan saja buruk bagi upaya pemberantasan korupsi yang tengah gencar KPK lakukan. Lebih dari itu, hak angket ini bisa menjadi sejarah hitam dalam praktek demokrasi kita yang justru tidak mengewejantahkan demokrasi itu sendiri. Indonesia punya ironi demokrasi, dunia internasional akan tertuju perhatiannya kepada parlemen Indonesia. Jika sudah demikian masih adakah malu kalian? (baca; DPR).

 

Pada akhrinya melihat perkembangan yang ada masyarakat menilai hak angket menjadi pintu masuk bagi DPR untuk melemahkan komisi antikorupsi lewat revisi UU KPK. Apalagi wacana tersebut terlontar dari anggota dewan yang tergabung dalam panitia hak angket. Tidak salah publik menilai ini hanya akal – akalan DPR setelah beberapa kali gagal melakukan penggembosan KPK lewat revisi aturanya.

 

Kalau DPR bersikeras melanjutkan menggempur KPK lewat hak angket, lantas bagaimana?. KPK sampai saat ini adalah lembaga yang paling dipercaya publik untuk memberantas korupsi. Upaya tersebut tak lain untuk Indonesia bersih dari korupsi sehingga kesejahteraan bisa terwujud, sudah seharusnya KPK kita bela.

 

Seperti cuplikan lirik di awal melihat drama lakon politik kepentingan dan pencitraan yang dipertontokan, ketika suara tak lagi didengar dan wakil rakyat mencederai janji, sudah saatnya masyarakat menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR.

 

 

Tibiko Zabar Pradano

Pegiat Antikorupsi

Indonesia Corruption Watch

Ikuti tulisan menarik Tibiko Zabar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu