Ramadhan hampir berlalu. Aku melepasnya dengan kesedihan setidaknya karena dua alasan. Pertama, apakah aku hanya memperoleh tidak lebih dari sekedar lapar dan dahaga. Ini bukan perkara menghitung pahala, bukan bemaksud menimbang untung dan rugi berpuasa, melainkan apakah puasaku mampu menghapus daki, debu, dan kotoran yang menempel di tubuh dan jiwaku.
Alasan kedua mengapa aku bersedih ialah karena aku tidak pernah tahu apakah aku masih berkesempatan menyambut kedatangan Ramadhan tahun depan. Hidup memang mesti dijalani, tapi ia penuh misteri—aku tak pernah tahu kapan tiba di terminal terakhir perjalananku. Aku pun tidak pernah tahu apakah itu pemberhentian yang menyenangkan. Hanya bisa berharap dan berdoa.
Ramadhan tahun ini hampir berakhir. Orang-orang tengah bersiap mudik ke kampung halaman. Mereka sanggup menempuh perjalanan berjam-jam demi mengunjungi orang tua, bersilaturahim dengan sanak keluarga, tetangga, dan menjumpai kawan-kawan lama. Mudik berarti memasuki kembali rumah masa kecil, menapaki jejak masa lampau, dan merajut ulang kenangan.
Silaturahim selalu jadi bagian penting dari mudik. Syawal jadi momen hebat untuk menjalin kembali relasi yang barangkali kendur, memupus amarah. Tak perlu berburuk sangkadengan beranggapan bahwa mudik berarti momen untuk memamerkan keberhasilan kepada handai taulan di kampung halaman, juga kepada teman-teman. Berpikirlah positif, sebab ini hari bahagia—setidaknya, semestinya seperti itu, kecuali ada sebab lain yang membalikkannya.
Mudik, secara ragawi dan emosional, adalah perjalanan panjang kembali ke kampung halaman; mengunjungi lagi tempat asal. Mudik memungkinkan kita mengambil jarak dari rutinitas dan melihat bagaimana semua titik dalam hidup saling terhubung, bagaimana satu keputusan membawa kita ke keputusan lain, bagaimana satu putaran nasib—baik atau buruk—membawa kita ke satu pintu yang selanjutnya membawa kita ke pintu lain.
Perjalanan mudik adalah perlambang bagi perjalanan ruhani selama puasa agar kita dapat mengunjungi kembali hidup kita yang asali dan fitri. Diperlukan ikhtiar berat untuk menempuh perjalanan ini atau kita tidak akan sampai ke rumah masa kecil kita untuk menemukan ‘diri kita yang asali’. Kita terlahir sebagai anak dari rahasia yang ajaib dan kita ingin kembali kepada keindahan dari rahasia itu.
Berpuasa sepanjang satu bulan adalah perjalanan mudik menuju ‘kampung halaman ruhani’. Ini adalah proses yang mesti kita tempuh untuk mengingat dan mengenali kembali asal-muasal kita, sumber hidup kita, dan seperti apa kita di masa lampau yang barangkali kita sudah lupa.
Perjalanan mudik adalah momen untuk mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Kampung Halaman Abadi, dan ini perjalanan yang sungguh tidak mudah sebab kita tidak pernah tahu apakah perjalanan ini berada di jalur yang benar dan di arah yang benar agar sampai ke titik keberangkatan kita yang dulu—tempat kita diberi hidup, dan apakah kita memang semakin mendekatinya. ***
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.