Mati di Tanah Beracun

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dibalik besarnya pertanian bawang tersimpan malapetaka

Brebes dan bawang merah bak dua sisi mata koin. Telah lama dikenal sebagai daerah produksi bawang. Total produksi bawang yang dihasilkan kabupaten Brebes pada 2015 misalnya sebesar 311.296 ton. Dari angka ini, produksi bawang Brebes menyumbang sekitar 30 persen dari total produksi bawang nasional.

 

Luas lahan untuk panen Bawang Merah di Brebes pertahun sekitar 20.000 hingga 30.000 hektare dengan rata-rata kepemilikan lahan setiap petani sekitar 0,25 hektare. 

 

Dari lahan seluas satu hektare diperkirakan membutuhkan sekitar 400 hingga 500 satuan kerja. Ia terdiri dari ratusan ribu buruh tani, kuli panggul, sopir angkutan, pedagang hingga buruh petik yang semuanya mengais rezeki dari pertanian bawang merah. Hampir 70% penduduk Brebes berprofesi sebagai petani. Maka wajar jika pertanian di Brebes menyumbang sekitar 53 persen dari Produk Domestik Regional Brutto Kabupaten.

 

Namun besarnya keuntungan ini bukan berarti tak menuai problematika. Angka kematian bayi di Brebes adalah tertinggi di Jawa Tengah, di tahun 2016 mencapai 444 bayi yang mati. Ditemukan pula, 12 persen kematian bayi ini akibat kelainan bawaan.

 

Ternyata setelah diselidiki kandungan pestisida yang sangat tinggi pada tanaman di lingkungan si ibu hamil yang mengakibatkan kelainan bawaan dan menyebabkan kematian si jabang bayi. Toh jika si bayi hidup pun ia akan menderita disabilitas dan tumbuh tak normal. 

 

Dan ditemukan pula, 50 persen sawah di Brebes telah rusak akibat penggunaan pestisida. Hal ini diakibatkan karena banyaknya pestisida yang digunakan petani dalam bercocok tanam. 

 

Berdasarkan data Crop Life Indonesia 2009, belanja pestisida petani bawang merah di Brebes mencapai Rp. 350 Milyar setiap tahunnya. Kabupaten Brebes tercatat paling besar se Asia Tenggara dalam lingkup level kab/kota untuk belanja pestisida.

 

Dan ketergantungan akan pestisida ini bukan tanpa sebab. Pengadaan pestisida untuk petani ini sudah jadi ladang bisnis yang sangat menguntungkan, yang tak jarang melibatkan "kongkalikong" antara sang pemilik usaha dengan sejumlah pejabat daerah dan wakil rakyat. 

 

Masih teringat di kepala kita kasus Mosanto terkait suap sebesar 750.000 dolar AS kepada lebih dari 140 pejabat indonesia dan keluarganya untuk memuluskan bisnis transgeniknya. 

 

Dan bisnis pestisida ini membentuk pasar kartel, dimana hanya ada empat perusahaan menguasai dua per tiga pasar pestisida. Hal ini sulit dicegah, karena "racun" ini sudah jadi bagian dari jejaring bisnis besar, yang melibatkan para pemain besar pula. 

 

Tak mungkin jika pertanian itu dihentikan, karena membutuhkan waktu pemulihan yang begitu lama, terutama untuk lepas dari ketergantungan pestisida. Namun jika tidak, semakin banyak bertani, semakin banyak yang mati. Dan ini soal masa depan anak cucu kita.

Bagikan Artikel Ini
img-content
arjunaputra aldino

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler