x

Iklan


Bergabung Sejak: 1 Januari 1970

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hitam Putih Keputusan Politik Negara

Ketika tidak memiliki penjelasan, indikasi penyempitan atau perluasan makna keputusan politik negara bisa terjadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Ikhsan Yosarie

 

Pelibatan TNI dalam program Upaya Khusus (UPSUS) percepatan peningkatan produksi pangan bersama Kementerian Pertanian dipersoalkan oleh beberapa pihak, salah satunya oleh Ombudsman RI.

Ahmad Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman RI, mengatakan ada dugaan maladministrasi. Karena pelibatan ini tidak didukung oleh regulasi yang memadai, hanya berupa nota kesepahaman (MoU). Ditambah lagi, SK Presiden sebagai bentuk keputusan politik negara belum diterbitkan (Tempo.co, 14 Juni 2017).

Disatu sisi, keukehnya TNI dalam keterlibatan UPSUS dapat kita pahami sebagai bentuk kepatuhan militer terhadap supremasi sipil, dan itu bernilai positif untuk perkembangan demokrasi negara kita. Supremasi sipil menjadi pilar penting dalam negara demokrasi, karena menjadi simbol kedaulatan sipil atas militer, serta upaya mengokohkan militer sebagai alat negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetapi, disisi lain ada dua hal yang berpotensi menjadi preseden kurang baik dalam urusan nonmiliter TNI. Preseden yang kurang baik ini dalam konteks pengerahan dan tupoksi TNI.

Pertama, ini bisa menjadi preseden yang kurang baik dalam hal pengerahan TNI. Sebagai alat negara, keputusan politik negara menjadi landasan pelaksanaan tugas TNI, sesuai pasal 5 UU No.34 tahun 2004. Pengerahan TNI, terutama dalam hal nonmiliter semestinya bersifat lisan dan tulisan, tidak elok jika salah satu saja. Karena, jika hanya lisan, bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya? Bagaimana rincian dan urgensinya dapat diketahui? Hal-hal seperti ini menjadi penting dalam memonitor penggunaan militer oleh Presiden.

Di dalam pasal 17 ayat (2) UU No.34 tahun 2004, dijelaskan bahwa pengerahan kekuatan TNI oleh presiden harus mendapat persetujuan DPR. Instruksi Presiden kepada TNI pun perlu mendapat persetujuan DPR, karena mengarah kepada pengerahan kekuatan militer. Pengerahan secara tulisan menjadi penting, agar hal-hal substansial dan rinci bisa diketahui DPR, dan publik umumnya. Mulai dari urgensi pengerahan, landasan yuridis dan filosofis, strategis dan taktis, lokasi wilayah, batasan waktu, batasan tugas, jumlah personil, koordinator lapangan, serta bagaimana hasil setelah pengerahan tersebut dilakukan. Sehingga, keberadaan SK Presiden, seperti yang dipersoalkan oleh anggota Ombudsman tadi memang dibutuhkan.

Perihal UPSUS ini, Presiden tidak bisa melakukan pengerahan langsung. Pengerahan langsung membutuhkan kondisi yang meniadakan pilihan lain selain TNI. Apabila kita mengacu kepada pasal 18 ayat (1) UU No.34 tahun 2004, pengerahan secara langsung kekuatan TNI hanya dapat dilakukan untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata.

Meskipun pengerahan bersifat langsung, pada ayat (2) dan (3) kemudian membatasi bahwa dalam waktu 2*24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan tersebut, Presiden harus melaporkan kepada DPR. Dan apabila DPR tidak menyetujui, Presiden harus menghentikan pengerahan tersebut.

Dengan melihat penjelasan pasal 18 tersebut, hal sederhana yang bisa kita pahami tentu UPSUS tidak termasuk kedalamnya. UPSUS bukan persoalan ancaman militer dan/atau bersenjata.

Kedua, dalam hal tupoksi TNI. Pasal 7 ayat (2) UU No.34 tahun 2004 tentang TNI, dijelaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas pokok TNI, dilakukan dengan 2 cara, yaitu Operasi Militer Untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Pada ayat (3) nya pun juga ditegaskan bahwa ketentuan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Terdapat 14 poin di dalam OMSP (lihat dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI). Keterlibatan TNI dalam ranah pertanian berada dalam konteks OMSP. Yang relevan atau bisa menjadi pembenaran penglibatan TNI dalam urusan pertanian, khususnya UPSUS ini ada dalam 2 ranah, (1) memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukung dan (2) membantu tugas pemerintah daerah. Tetapi, dengan orientasi swasembada pangan, artinya skalanya bersifat nasional. Dan implikasinya hanya poin nomor 8 yang relevan. Terutama dengan adanya struktur teritorial, dan TNI sebagai komponen utama pertahanan.

Titik persoalannya kembali perihal kejelasan. Perihal memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukung, penjelasan strategis dan taktisnya seperti apa? Pemberdayaannya dalam hal apa? Karena urusan nonmiliter itu begitu luas. Ketika tidak memiliki penjelasan, indikasi penyempitan atau perluasan makna bisa terjadi. Dan titik tolaknya kembali keputusan politik negara. Sehingga, sangat dibutuhkan bahwa keputusan politik negara itu harus tertulis. 

Sumber Gambar : alg-plus.com

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini