x

ilustrasi hukum di dunia

Iklan

M Sutan Alambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 April 2024

Rabu, 8 Mei 2024 07:31 WIB

Tiga Hukum yang Berlaku di Dunia

Di dunia ini, hukum hanya ada tiga macam; pertama hukum aqli. Kedua, hukum ‘âdi. Ketiga, hukum syar’i. Apa maksud dan bagaimana penjelasannya? Mari kita bahas!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menukil beberapa keterangan yang ditulis oleh Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani, dikenal sebagai kiai Sholeh Darat (w. 1903 M). Kiai Sholeh Darat adalah kawan dari Syekh Mahfudz Tremas
saat mengajar di Makkah. Beliau berdua ini pula, adalah guru dari Hadratu Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.

Dalam kitab Tarjamah sabilu al-‘Abid ‘ala  Jauharati at-Tauhid yang ditulis kiai Sholeh Darat dalam bahasa Jawa “agar kitab ini bermanfaat bagi orang awam seperti saya yang tidak mengerti bahasa Arab”, tulis beliau. Ini merupakan pembacaan dan telaah beliau terhadap kitab Jauharatu at-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani, kemudian ditulislah syarah (penjelasan) dengan menetapkan matan kitab.

فَكُلُّ مَنْ كَلَّفَ شَرْعًا وَجَبَا  #  عَلَيْهِ أَنْ يَعْرِفَ مَا قَدْ وَجَبَا

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

للهَ وَالْجَائِزَ وَالْمُمْتَنِعَا  #  وَمِثْلُ ذَا لِرُسْلِهِ فَاسْتَمِعَا


“Setiap laki-laki dan perempuan yang telah mukallaf, berumur 15 tahun, sempurna akalnya, telah sampai syi’ar Islam kepadanya, secara syariat wajib mengetahui dan meyakini hal-hal yang wajib, jaiz, dan mustahil bagi Allah Swt dan Rasul Allah. Mengukur pengetahuan terhadap wajib, ja’iz, dan mustahil ini bisa menurut hukum aqli (akal). Dan juga wajib mengetahui sifat wajib, ja’iz, dan mustahil bagi Rasul Allah.”

Hukum

Di dunia ini, hukum hanya ada tiga macam; pertama hukum aqli. Kedua, hukum ‘âdi. Ketiga, hukum syar’i.

Hukum ‘aqli adalah menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain, atau meniadakannya. Tanpa harus berulang-ulang seperti hukum adat, dan tanpa harus ada syarat, sebab, dan tidak ada mani’ (pencegah) seperti hukum syari’at.

Hukum adat adalah menetapkan hubungan antara sesuatu dengan yang lain atau meniadakannya, karena berungkali terjadi dengan adanya kemungkinan berbeda. Hukum adat dibagi menjadi empat. Pertama, hubungan antara wujud (ada) dengan wujud (ada), seperti adanya rasa kenyang karena adanya aktivitas makan. Kedua, antara ‘adam (tiada) dengan ‘adam (tiada), seperti tidak adanya kenyang karena tidak adanya aktivitas makan. Ketiga, antara wujud (ada) dengan ‘adam (tiada), seperti adanya rasa dingin sebab tidak memakai selimut misalnya. Keempat, antara ‘adam (tiada) dengan wujud (ada), seperti tidak terbakar sebab adanya air.

Penetapan hukum adat dengan adanya kejadian yang berulang-ulang. Ketika seorang mengatakan bahwa minum kopi dan makan daging kambing bisa memperbaiki daya pemahaman, hal itu belum bisa dinamakan hukum adat jika belum terjadi secara berulang-ulang.

Adanya rasa kenyang bersamaan dengan aktivitas makan, adanya kebakaran bersamaan dengan persentuhan dengan api, hal itu bukanlah suatu keniscayaan, artinya bukan makan yang menyebabkan kenyang dan juga bukan api yang menyebabkan terbakar, sama sekali bukan.

Hukum syariat adalah batasan-batasan Allah, maksudnya firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf, baik berupa tuntutan maupun penetapan. Hukum syariat ada dua, khitab taklif dan khitab wadh’i.

Khitab taklif ada lima; firman Allah yang menunjukkan hukum wajib, sunah, haram, makruh, mubah. Khitab wadh’I juga ada lima macam; yaitu firman Allah yang menunjukkan bahwa sesuatu itu menjadi; sebab, syarat, mani’, sahih, atau fasid. Lima hal ini selalu menempel di salah satu dari lima hal dari khitab taklif, maka hitungannya adalah 5 hal dikali 5 hal menjadi 25 masalah.

Contoh; wajibnya shalat Zuhur, penyebabnya adanya zawal (matahari condong ke arah Barat), syaratnya harus suci, mani’-nya adalah adanya haid, keabsahannya tergantung pada lengkapnya syarat (shalat), fasid-nya adalah ketika ada syarat yang tidak terpenuhi. Demikian seterusnya, khitab taklif selalu disertai khitab wadh’i.

Obrolan Singkat

Tiga rumusan hukum di atas ditulis dalam rangka memberi kemudahan berpikir, bagi siapa pun yang mau masuk ke dalam dunia ilmu Tauhid. Tapi secara global juga tidak menafikan bahwa tiga rumusan itu juga bisa kita gunakan untuk menilai keseharian kita. Layaknya buah-buahan, ada lapisan luar disebut kulit buah, lapisan tengah itu daging buah, lapisan dalam itu biji. Hukum adat menempati kulit buah, hukum ‘aqli menjadi daging buah, sedang hukum syariat itu biji.

Kita ambil contoh buah durian, itu hukum adatnya kulit luar berduri. Daging buah berhukum ‘aqli, dia bisa mentah, matang, dan busuk. Biji berhukum syariat karena dia sebagai inti sunnatullah sebagai cikal bakal pohon durian dan terus berkembang biak. Ini sekedar qiyas secara struktural saja.

Sebagai pijakan tauhid yang benar, tiga hukum di atas harus dipahami dengan baik. Hukum ‘aqli itu mengacu pada konsep tentang Tuhan yang benar dan tidak dipatahkan menurut akal. Meminjam keterangan dari KH. Bahaudin Nur Salim; ‘bahwa alam dunia punya wajibu al-wujud (Wujud Yang Hakiki) alias Sang Pencipta, Sang Maha Pencipta Langit dan Bumi ini Allah, musabbibu al-asbab’.

Setiap sesuatu itu punya penyebab atau sebab, maka wajib ‘aqli (wajib secara akal) bahwaTuhan itu “ada” sebagai penyebab alam dunia ini. Tidak mungkin kalau hal yang “tiada” itu mengadakan yang “ada”. Semisal, contoh dari wajib ‘aqli bahwa ada sifat qudrah dan iradah bagi Allah, ini dinamakan wajib ‘aqli nazhari (butuh pemikiran dan perenungan), tidak logis bahwa Tuhan tidak punya kuasa dan kehendak. Contoh lain, setiap sesuatu memerlukan ruang kosong untuk bertempat, ini disebut wajib ‘aqli dharuri (tidak butuh pemikiran atau perenungan). Jadi hukum ‘aqli ini tidak hanya masuk dalam kajian tauhid, tapi bisa juga masuk  hukum ‘aql secara global karena tolok ukurnya masuk dalam bingkai akal.

Hukum adat, kaum sufi tidak begitu mengimani dan mengamini hukum adat sebagai keniscayaan. Mengapa? Karena ini terkadang mengelabui kita akan qudrah dan iradah Allah. Semisal al-Ghazali memberi contoh bahwa kertas tidak mesti terbakar disebabkan api. Contoh lain, makan tidak mesti menyebabkan makhluk itu hidup, tapi ada malaikat hidup tanpa makan.

Maka, orientasi berpikir kaum sufi adalah mengesampingkan hukum adat yang ada di dunia. Mereka lebih fokus bahwa semua kejadian di dunia ini adalah qudrah dan iradah Allah Swt. tapi tidak mengatakan bahwa semua terserah kata Tuhan seperti sekte Jabariah. Gampangnya, di satu sisi kaum sufi mencoba mengikis cara kita menuhankan sesuatu selain Allah. Semisal, Zaid shalat sunnah sebanyak 1000 rakaat, kalau sampai muncul di hatinya “Aku beramal.. bla bla”, ini etika kurang baik menurut kaum sufi. Notabene menuhankan Allah tapi alhasil malah menuhankan “amalku”. Karena hakikatnya, kita kuat beribadah toh karena Allah beri kekuatan itu.

Efek lain yang muncul sebab mengesampingkan fokus pada hukum adat adalah tidak cinta dunia, atau tidak mempertahankan hal duniawi mati-matian. Seperti di tahun politik, bagi orang yang paham pola hukum adat pasti akan bersikap biasa saja dalam mendukung pilihan politik, karena itu hal duniawi dan berbatas waktu tahunan saja. Sebenarnya, beberapa karya Imam al-Ghazali seperti Ihya ‘Ulumuddin atau Minhajul ‘Abidin itu berbicara cara untuk mensiasati agar kita terhindar dari hal-hal janggal seperti ini (menuhankan amal tadi), dan mendorong kita untuk lebih beretika dalam beramal.  

Hukum adat sudah menjadi hukum dalam keseharian kita, dan bisa kita elaborasi atau gali dalam banyak hal. Hukum adat ini di awal sudah dijelaskan oleh Kiai Sholeh Darat. Jadi, tugas kita mengolah orientasi kita agar tidak hanya terfokus pada hukum adat, boleh dibilang itu hanya pengulangan yang terus-menerus dan menjadi kebenaran, menurut kita. Meskipun kita sering bersentuhan dengan siklus hukum adat dunia, tapi di balik siklus itu ada Sang Maha Pengatur, yakni Allah Swt. yang mampu Berkehendak melampaui hukum adat tersebut.

Terakhir, hukum syariat merupakan firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf (terkena beban hukum syariat), mulai dari khitab taklif dan khitab wadh’i. Ada aturan syariat yang harus dijalankan oleh seorang muslim. Secara filosofis, aturan syariat bukan untuk Tuhan. Allah tidak butuh untuk dipatuhi, sekalipun orang seluruh dunia tidak ada yang menyembah-Nya. Aturan atau batasan ini diberikan Allah sebagai ‘ukuran ideal’ yang dilaksanakan khalifatullah di dunia. Keterangan hukum syariat yang diberikan Kiai Sholeh Darat bersifat global agar mudah dipahami kaum awam.

Kembali ke poros awal, bahasan tauhid. Setelah mengerti definisi tiga hukum ini, menunjukkan bahwa kewajiban mengetahui sifat-sifat Allah adalah wajib syar’I, bukan wajib ‘aqli, hal ini menurut pendapat mazhab Asy’ariyah. Berbeda dengan mazhab Muktazilah yang menyaakan bahwa kewajiban mengetahui sifat-sifat Allah adalah wajib ‘aqli, bukan wajib syar’I, ini pendapat yang sesat karena meniadakan syariat.

Bisa dibilang, wajib syar’i itu penegasan bahwa kita tidak bisa hanya berpijak pada akal. Karena tidak setiap aturan syariat yang diberikan Allah itu bisa dinalar manusia. Maka disini memperkuat bahwa mengetahui dan mengenal sifat-sifat Allah itu kewajiban yang diatur oleh syariat.

Wallahu a’lam.

Ikuti tulisan menarik M Sutan Alambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler