x

Diejek di Medsos, Empat Ibu Muda Tega Aniaya ABG. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Muamalah Medsosiah di Antara 3 Darurat Negeri

darurat yang membahayakan di negeri ini, yakni soal media sosial (medsos), narkoba dan belakangan ini masalah olah raga

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Istilah “darurat” jika merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, “keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka (dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan segera”. Kata “darurat” jelas terkait dengan kata “adl-dlurru” yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna yang sama, yaitu “kerugian” atau “keadaan bahaya”. Kondisi darurat jelas memerlukan penanggulangan segera, karena jika tidak pasti akan menimbulkan bahaya atau bencana yang lebih besar, bahkan bisa terjadi kematian, baik dalam artian fisik atau non-fisik. Saya meyakini bahwa terdapat tiga hal krusial yang menjadi darurat yang membahayakan di negeri ini, yakni soal media sosial (medsos), narkoba dan belakangan ini masalah olah raga.

Ketiga hal ini, saya kira telah memunculkan potret degradasi nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan sehingga lambat laun memperburuk citra bangsa ini menjadi “bangsa kalah”, terpuruk dalam penderitaan berkepanjangan: konflik sosial-politik, kemiskinan, ketimpangan, pemerintahan yang tidak stabil dan dalam beberapa hal justru gagal mencitrakan dirinya sebagai “bangsa menang” yang –paling tidak—berhasil merebut simpati dari bangsa sendiri. Yang paling menyedihkan, bidang olah raga yang bagi saya cukup telak, dimana event olah raga level Asia Tenggara, bangsa ini “dipecundangi” oleh bangsa lain yang bahkan luas negaranya tak lebih hanya seperempat saja dari Kepulauan Nusantara.

Darurat yang paling mengkhawatirkan dan harus segera diselesaikan adalah jelas narkoba. Kita tahu, Indonesia adalah sorga bagi sindikat internasional yang mengeruk keuntungan ekonomis ditengah hancurnya kondisi bangsa ini sebagai penikmat obat-obat psikotropika. Berton-ton barang haram ini keluar-masuk dengan aman, dijual dan didistribusikan ke seluruh penjuru dunia. Lihat saja presentase pengguna narkoba di Indonesia yang sudah mencapai 5,1 juta jiwa pada 2017 dan mengalami peningkatan serius setiap tahunnya. Anehnya, mereka jelas tahu bahaya dan konsekuensi menggunakan obat terlarang ini, tapi toh penjualan narkoba tetap menjanjikan dan  Indonesia, bahkan sukses menjadi pasar besar bagi produksi dan konsumsi barang haram ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketimpangan sosial yang terjadi, akibat tidak meratanya lahan pekerjaan sedangkan kebutuhan setiap orang semakin meningkat, menempatkan narkoba sebagai “lahan pekerjaan” menjanjikan dengan keuntungan lebih besar. Resiko hukuman yang berat tak akan membuat para konsumen dan produsen obat terlarang ini jera, terbukti dari semakin maraknya mereka yang tersandung kasus ini, dari mulai penikmat, penjual obat, pejabat, artis hingga aparat. Resiko yang besar tampaknya tidak linier dengan ekspektasi mereka para pemuja narkoba untuk tetap mengkonsumsi, menjual dan mendistribusikan obat-obatan terlarang ini dengan keuntungan yang tentu saja berlimpah.    

Medsos merupakan darurat lainnya yang perlu ditanggulangi cepat, agar tidak terjadi bencana yang lebih besar, memporak-porandakan kerukunan, toleransi dan sistem sosial yang telah terbangun secara baik sejauh ini. Kita tak bisa begitu saja menutup mata, efek medsos sedemikian berpengaruh terhadap kondisi kebangsaan dan kenegaraan, yang tidak saja dirasakan langsung dalam dunia maya, tetapi sudah merambah hubungan kemanusiaan di dunia nyata. Ujaran kebencian (hate speech) atau penyebaran berita palsu (hoax) seakan menjadi hal wajar di dunia maya, padahal jelas menggerogoti fondasi bangunan kebangsaan dan kenegaraan. Kasus “Saracen” menjadi bukti nyata tumbuh suburnya kelompok-kelompok sosial pemicu dan penghasut kebencian yang  memutarbalikkan fakta atau memfitnah yang jelas berdampak pada kerukunan masyarakat.

Darurat medsos, bahkan menjadi perhatian utama Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membuat fatwa haram atas “muamalah medsosiah” yang belakangan justru memperlihatkan prilaku membahayakan, dimana mengumbar ghibah (membicarakan aib atau keburukan orang lain), fitnah, namimah (adu domba), perisakan (bullying), dan penyebaran permusuhan telah menjadi semacam industri konten negatif di ranah medsos. Tidak hanya itu, perhatian MUI juga tertuju pada konten negatif lain yang merusak, seperti kemaksiatan dan pornografi yang kian hari kian marak dikonsumsi masyarakat. Posisi fatwa keagamaan MUI ini menjadi sangat penting, karena selain menjadi beban moral yang dipikul menjadi tanggungjawab bersama para tokoh agama, fatwa ini merupakan penegasan sikap keagamaan yang meng-counter para penyebar konten negatif yang meyakini bahwa apa yang dilakukannya sebagai bagian dari perjuangan agama.

Muamalah medsosiah bagi saya memiliki arti penting soal bagaimana kita sebagai pengguna medsos, mengetahui secara jelas demarkasi agama dan sosial. Muamalah jelas terkait dengan hubungan secara sosial yang dijalankan secara baik berdasarkan pada keyakinan-keyakinan agama, sehingga agama bisa menjadi pengaruh yang baik dan bijak dalam pengelolaan hubungan kemasyarakatan termasuk di ranah medsos. Sebab sejauh yang saya tahu, “perang medsos” terkadang membawa-bawa implikasi keagamaan yang justru disalahgunakan untuk membuka aib atau keburukan, menyerang, atau memfitnah pihak lain dengan mengedepankan dalil-dalil agama. Saya dalam hal ini, jelas mendukung peluncuran fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 soal pedoman beraktivitas di medsos yang sedang digodog di Kementrian Komunikasi dan Informasi.

Indonesia juga sedang dirundung darurat olah raga yang cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, target perolehan medali emas 55 di Sea Games Malaysia, harus puas dengan urutan kelima dengan perolehan 33 medali. Mirisnya, Singapura yang luasnya hanya 719 km dan penduduknya  sekitar 6 juta, separuh saja dari penduduk Jakarta, justru berada pada posisi keempat dengan perolehan medali emas jauh melampaui Indonesia. Jelas kita bertanya-tanya, kok bisa Singapura lebih maju olah raganya dari Indonesia yang punya belasan ribu pulau? Konon, katanya dana olah raga dari pemerintah terbatas, wajar saja jika para atlet Indonesia ada yang membiayai diri sendiri selama mengikuti kejuaraan di Sea Games, prihatin memang! Bangsa besar semestinya punya biaya besar, apalagi sekadar olah raga yang tidak memakan dana seberapa, dibanding infrastruktur yang digenjot habis-habisan, walaupun harus ngutang sana-sini.

Darurat olah raga Indonesia bahkan dirasakan jauh sebelum gelaran Sea Games kemarin. Kita tentu tahu, banyak diantara olahragawan legendaris yang pernah mengharumkan nama bangsa di kancah Internasional, justru terpuruk, jangankan menjadi ikon olah raga, mereka justru “dibuang” seperti kacang lupa kulitnya. Petinju IBF fenomenal, Ellyas Pical setelah menggantungkan sarung tinjunya justru mendadak hidup menderita, dari jualan narkoba hingga menjadi office boy sekadar bertahan di tengah darurat olah raga nasional yang memprihatinkan. Lalu, beginikah wajah olah raga kita? Sudah mengharumkan nama bangsa tapi tak pernah dianggap pahlawan. Pical, hanyalah satu diantara deretan olahragawan nasional yang sudah jatuh tertimpa tangga!

Negeri ini memang dalam keadaan darurat, sehingga perlu penyelesaian sesegera mungkin agar tak lebih jatuh terpuruk menjadi “bulan-bulanan” pihak lain. Darurat medsos, narkoba, dan olah raga cukup menjadi potret buram dan warning bagi bangsa ini untuk tetap bangkit dan menata kedepan secara lebih baik. Tidak perlu ada kata “maaf” yang terlontar akibat keterpurukan ini, namun yang jelas, selalu disadarkan bahwa negeri ini dalam keadaan darurat, sehingga para pemangku kepentingan justru dapat lebih aware, menyelesaikan kondisi darurat seperti ini. Prioritaskanlah yang darurat, bukan malah mendahulukan yang tidak darurat, karena ini jelas sesat pikir yang tak mungkin memperbaiki kondisi apapun, selain menambah darurat semakin kronis.   

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler